Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Konsisten Melawan Plastik Sekali Pakai

Tiza Mafira aktif memerangi penggunaan plastik sekali pakai. Mendirikan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik.

12 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tiza Mafira aktif melawan penggunaan plastik sekali pakai.

  • Bersama rekan-rekannya, Tiza mendirikan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik.

  • Tiza berfokus pada perubahan kebijakan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai di Indonesia.

SUDAH hampir satu dekade Tiza Mafira terus berupaya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Langkah aktivis lingkungan 39 tahun ini untuk memerangi sampah plastik dimulai pada 2013 saat dia bersama rekan-rekannya membuat petisi online “Pay for Plastic” dengan tagar pay4plastic di Change.org.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiza menuturkan, dorongan untuk membuat petisi tersebut bermula dari kejadian dirinya yang terjebak di kantor karena hujan dan banjir menutup Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Saat itu Tiza yang bekerja di sebuah kantor firma hukum mendapati banyak sampah kantong kresek menyumbat saluran air dan menjadi pemicu banjir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, pada waktu itu banyak yang menyalahkan pemerintah tidak becus mengurus saluran air yang tersumbat. “Saya tidak tega ikut menyalahkan pemerintah. Dari situ saya pun mulai tergugah, lalu saya bikin petisi tentang plastik itu agar peretail tidak memberikan kantong plastik. Petisi itu ditandatangani 72 ribu orang,” kata Tiza.

Sekitar setahun kemudian, tepatnya pada 14 Agustus 2014, Tiza dan rekan-rekannya mendirikan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Lembaga nonprofit ini berfokus pada perubahan kebijakan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai di Indonesia.

Saat itu Tiza melihat ada kekosongan regulasi dalam pengaturan sampah plastik di Indonesia. Ia membandingkan dengan beberapa negara lain yang telah menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar sejak sekitar 10 tahun lalu. “Saya berpikir bisa atau enggak ya ada kebijakan di Indonesia yang dipakai untuk pencegahan sampah plastik dari hulu?” ujarnya.

Tiza pun bersama lembaganya kemudian melakukan kampanye pengurangan sampah plastik secara bertahap. Awalnya ia ingin langsung mendorong pelarangan kantong plastik sekali pakai. Namun ia khawatir masyarakat panik dan pelaku usaha tidak bisa menyiapkan alternatif penggantinya.

Tiza Mafira dalam Pawai Bebas Plastik, di Jakarta, 24 Juli 2022. Dok. Pribadi

"Waktu itu plastik berbayar jadi pilihan strategis. Walaupun kami dari awal berpikir enaknya dilarang saja, kalau tiba-tiba saya bikin petisi minta pelarangan plastik, pasti resistansinya tinggi sekali,” ucap Tiza.

Keputusan itu mendapat sambutan dari peretail dengan penerapan dan uji coba di beberapa kota pada 2016. Setelah uji coba itu dilakukan, salah satu kota, yakni Banjarmasin, Kalimantan Selatan, langsung menerapkan kebijakan radikal dengan melarang total kantong plastik sekali pakai.

“Setelah Banjarmasin kemudian Bali menjadi provinsi pertama yang melarang kantong plastik pada 2018. Setelah itu, Jakarta menyusul pada 2020,” kata Tiza yang merupakan Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik ini. Kini lebih dari 100 kabupaten dan kota di Tanah Air telah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.

•••

LAHIR di Jakarta pada 21 Januari 1984, Tiza sebetulnya sudah tertarik akan isu lingkungan dan sampah plastik sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2002. Saat kuliah, Tiza berfokus pada hukum lingkungan. Lalu, pada 2010, Tiza mengambil program magister di Harvard Law School, Amerika Serikat, yang juga berfokus pada isu lingkungan.

“Tapi saya enggak mampu menerapkan passion itu di kerjaan saya. Waktu itu saya kerja di law firm selama enam tahun,” ujar Tiza, yang pernah menjadi senior associate di kantor firma hukum Makarim & Taira S.
 
Setelah berhenti dari firma hukum itu, Tiza bersama rekan-rekannya mulai merintis Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Di bawah pimpinannya, lembaga nonprofit ini menjadi organisasi pertama di Indonesia yang berhasil mendorong uji coba nasional “Kantong Plastik Tidak Gratis”. Lembaga ini juga kemudian memberikan pendampingan teknis kepada berbagai pemerintah daerah untuk menyusun regulasi pelarangan kantong plastik. 

Tiza mengatakan kampanye diet plastik yang dilakukan bersama rekan-rekannya telah banyak membantu mengurangi sampah plastik. Lembaganya juga ikut mendorong terbitnya regulasi tingkat nasional dan daerah tentang larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Langkah ini berhasil mendesak gerai peretail besar menerapkannya di seluruh Indonesia.

“Kalau di Jakarta sudah hampir 100 persen supermarket enggak ada lagi yang memberikan kantong kresek,” ucap perempuan yang diganjar penghargaan UN Ocean Hero oleh United Nations Environment pada 2018 ini.

Tiza Mafira berbicara tentang gerakan diet kantong plastik di Conference of Parties 23, UN Framework Convention on Climate Change. Dok. Conference of Parties

Meski berhasil melarang kantong plastik sekali pakai di supermarket dan minimarket, Tiza menjelaskan, pengawasan untuk lokapasar atau toko online masih mengalami kendala. Menurut dia, penggunaan kantong plastik sekali pakai masih tinggi di toko online. Sama halnya di warung kelontong, pedagang kaki lima, dan pasar tradisional. “Itu menjadi tantangan bagi kami," ujar Tiza.

Setelah berhasil mengadvokasi pelarangan kantong kresek, Tiza dan lembaganya akan berupaya melarang penggunaan sedotan, saset, garpu, sendok, piring, dan gelas berbahan plastik. "Itu masih banyak sekali dan belum ada regulasinya di tingkat pemerintah daerah. Sekarang kami sedang menggarap bersama pemda-pemda,” tuturnya.

Tiza pun tengah merumuskan pengganti yang tepat ketika barang-barang sekali pakai itu nanti tidak boleh lagi beredar. Ia berharap penggantinya bukan bahan sekali pakai seperti kertas. "Misalnya kita melarang sendok garpu plastik, gantinya ya balik lagi ke sendok garpu biasa yang dari stainless steel."

Menurut dia, di tempat makan, walaupun makan di tempat tetap saja pengunjung diberikan sendok dan garpu dari plastik. Begitu juga, kata dia, saus tomat dan sambal yang diberikan masih dalam bentuk saset.

“Kalau kita makan di tempat kasih saja sendok dan garpu stainless steel, botol beling buat kecap dan saus untuk guna ulang. Supaya kita tidak banyak sampah karena sampah itu kebanyakan dari bahan plastik sekali pakai,” ucap Tiza.

Regulasi Kantong Plastik

SELAIN mendorong regulasi pelarangan kantong plastik sekali pakai, Tiza menyoroti pengelolaan sampah di tingkat hilir. Ia mengamati penggunaan teknologi seperti refuse-derived fuel (RDF), insinerator, gasifikasi, dan pembangkit listrik tenaga sampah bukan sebagai solusi yang tidak tepat. 

"Teknologi itu semuanya bikin saya deg-degan, karena itu juga menghasilkan emisi. Itu bahkan menghasilkan racun dioksin, toksin, sehingga tetap ada dampak lingkungannya."

Menurut dia, solusi seperti itu bisa saja menjadi jalan terakhir jika tidak ada lagi opsi pengelolaan sampah yang bisa dilakukan. Namun, ucap Tiza, masih banyak solusi lain yang belum pernah betul-betul dijalani, seperti fokus pada pencegahan di hulu, sehingga sampah di hilir atau tempat pembuangan akhir sudah disortir menjadi sampah daur ulang. 

Kebijakan di hulu, Tisa menambahkan, adalah memastikan bahan baku kemasan terbuat dari plastik yang bisa digunakan ulang. "Kalau semua benda bisa digunakan ulang, ketika dikumpulkan oleh pemulung, itu bisa dikasih ke tempat cuci. Terus dikembalikan ke produsen, dipakai lagi," katanya.

Tiza menjelaskan, ketika semua produsen menerapkan kebijakan sirkular ekonomi, sampah kemasan tidak bakal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Ia mengatakan landfill atau lubang sampah yang lebih rendah dalam tanah di TPA hanya akan berisi sampah organik dan mengurangi volume sampah sebanyak 70 persen. "Nanti landfill isinya sampah organik untuk dikomposkan, bukan disimpan di landfill untuk ditumpuk."

Penggunaan teknologi RDF sebagai bahan baku pengganti batu bara, menurut Tiza, hanya bakal memperpanjang usia pemakaian pembangkit listrik tenaga uap yang menjadi pembeli utama hasil pengolahan dari TPA. Padahal pemerintah punya program pensiun dini PLTU pada 2030. 

“Kami menolak RDF sebagai energi terbarukan. Kalau pemerintah ngotot RDF sebagai salah satu solusi, kami enggak setuju,” kata Tiza, yang juga Director Climate Policy Initiative Indonesia.

Dalam keseharian, Tiza mengatakan, masyarakat masih sulit memilah sampah ketika berbelanja online. Menurut dia, e-commerce tidak memberi pilihan untuk menggunakan bahan yang masih bisa dipakai berulang kali. “Kalau kardus masih bisa terpakai. Yang susah itu kalau ada selotip. Jadi terpaksa buang ke sampah residu atau TPA,” tuturnya.

Tiza mengimbuhkan, selama ini pemilahan sampah di Indonesia sulit dilakukan karena konsepnya tidak efektif. Seharusnya pemerintah lebih tegas mengenai konsekuensinya, baik bagi rumah tangga maupun pelaku usaha. Misalnya, kalau tidak dipilah, sampah tidak akan diangkut. Kalau dipilah, akan ada diskon retribusi. Ini bisa jadi opsi kebijakan. “Tapi sampai sekarang masyarakat kita masih banyak yang tidak bisa memilah dan tidak mengerti harus memilah.” 

Selama ini pemerintah menempatkan pemilahan sebagai program edukasi. Padahal edukasi saja tidak cukup. “Pemerintah seharusnya bertindak jadi regulator. Sedangkan edukasi serahkan ke sekolah. Ini belum telat, masih ada peluang mengubah kurikulum, memperketat regulasi, tapi harus cepat,” ucap dosen tamu di Universitas Indonesia ini.

Tiza pun di rumah memilah sampah dengan bantuan asisten rumah tangganya. Ia membuat poster yang menjelaskan instruksi visual. Untuk  kompos, ia memakai tempat berkapasitas 400 liter. Adapun kertas, plastik, dan kaca dikirimkan ke bank sampah. Residunya ke TPA.

Untuk mengurangi sampah harian di kantor, Tiza juga melakukan pemilahan. Paling banyak sampah kertas. “Untuk makanan, biasanya saya sudah bawa tempat, rantang. Paling sekali-sekali membeli makanan via daring. Itu saja teman-teman sudah merasa bersalah."

Tiza menuturkan, sejak mulai mengkampanyekan larangan plastik sekali pakai, teman-temannya menjulukinya "Sang Ratu Plastik". Menurut Tiza, orang-orang di sekitarnya akan menghindar ketika mereka membawa sesuatu yang mengandung plastik sekali pakai. 

Ada juga beberapa pengalaman unik lain yang ditemuinya. “Pernah di restoran, pesan makanan dan minuman dikasih sedotan, saya langsung menolak. Ternyata mereka kasih sedotan kertas. Mereka bilang sedotan plastik sudah tidak zaman,” ujarnya.

Menurut Tiza, kampanye lingkungan memiliki masa depan ketika generasi muda mulai terlibat. Munculnya remaja seperti dalang cilik Madjid Panjalu yang biasanya memainkan lakon dan isu lingkungan menjadi harapan tersendiri dalam perubahan kebijakan sampah di Indonesia. Ia juga menaruh harapan besar pada remaja seperti Aeshnina Azzahra Aqilani yang menginisiasi berdirinya River Warrior, yang merupakan wadah bagi anak muda Jawa Timur dalam melakukan aksi-aksi pro-lingkungan. 

"Sebenarnya kalau kita lihat sejarah perubahan dimulai dari anak muda. Negara Indonesia pun digagas oleh anak muda,” kata Tiza. “Jadi yang punya perspektif, cara baru, sistem baru yang bisa diterapkan itu biasanya anak muda. Karena mereka enggak punya euforia terhadap sistem tertentu."

Apalagi, Tiza menjelaskan, era digital menguntungkan anak muda dan remaja untuk bisa tampil dan bersuara lantang untuk perubahan isu lingkungan. Namun ia berharap generasi muda tidak hanya puas bersuara, tapi juga pintar menargetkan perubahan sistem dan kebijakan. 

“Sebagai contoh, jangan puas mengubah gaya hidup sendiri, banyak berbagi ke yang lain tentang gaya hidup yang berubah. Itu bagus, tapi jangan puas, harus bisa mengajak produsen, meminta pemerintah mengubah regulasi. Jadi semua bisa ikut berubah,” kata Tiza Mafira.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Irsyan Hasyim

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus