Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mintardja, Perpustakaan, dan Perebutan Kekuasaan di Jawa

Sebuah perpustakaan baru didirikan untuk karya-karya monumental kisah silat Jawa karya novelis S.H. Mintardja. 

12 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH tempat tinggal (almarhum) Singgih Hadi Mintardja, penulis cerita silat berlatar Jawa yang tersohor, di Kelurahan Gedongkiwo, Kemantren, Mantrijeron I/801, Yogyakarta, siang itu tampak riuh dikunjungi orang. Mereka satu per satu menyaksikan buku-buku cerita silat berseri yang ditulis S.H. Mintardja. Buku-buku tersebut terpajang di tiga lemari. Api di Bukit Menoreh serta Nagasasra dan Sabuk Inten, dua karya klasik dan fenomenal Mintardja, tampak paling membetot pandangan mata pengunjung. Keduanya menceritakan pergulatan kekuasaan di tanah Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah tempat Mintardja menghabiskan sebagian hidupnya untuk menciptakan lebih dari 400 buku itu pada Januari lalu diresmikan anak dan cucunya menjadi sebuah perpustakaan kecil yang terbuka untuk publik. Untuk sampai ke rumah yang terletak di perkampungan itu, orang harus melewati gang kecil sekitar 100 meter. Foto Mintardja dipajang di beranda rumah, menyambut pengunjung. Selain buku, naskah ketoprak, dua mesin tik tua, dan foto dokumentasi, sejumlah piagam penghargaan dipajang keluarga Mintardja. Forum Komunikasi Ketoprak Jogja, misalnya, pernah menganugerahkan gelar pujangga lakon kepadanya pada 1 Juni 2001. Dokumentasi pemberitaan tentang bapak delapan anak itu di surat kabar juga dipajang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis cerita silat SH Mintardja/Dokumentasi Keluarga

Perpustakaan kecil ini menyimpan ratusan koleksi karya Mintardja hasil pencarian keluarga. “Kami serius berburu ke sejumlah kolektor di Malang, Surabaya, dan Yogyakarta,” kata anak tertua Mintardja, Andang Suprihadi, saat ditemui seusai peresmian perpustakaan. Perpustakaan ini ditujukan bagi orang-orang yang hendak mengkaji atau meriset karya-karya Mintardja. Perpustakaan juga dibangun untuk memenuhi keinginan pencinta karya Mintardja.

Andang bercerita, ia dan adik-adiknya setahun terakhir berusaha mengumpulkan karya sang ayah. Sebagian mereka dapatkan dari penjual buku lawas. Melalui akun Facebook, keluarga mengumumkan sedang berburu karya Mintardja. Pengumuman itu membuat banyak pedagang dan kolektor menawarkan buku-buku lawas karya Mintardja dengan kondisi bermacam-macam. Ada yang rusak, jilidnya tak lengkap, ada pula yang beberapa halamannya hilang. Andang mengatakan mulanya keluarga mengalami kesulitan memperoleh jilid 15 dan 16 seri Api di Bukit Menoreh. Mereka melacaknya ke berbagai penjual buku lawas hingga akhirnya genap terkumpul 396 seri.

Andang Suprihadi, anak sulung SH Mintardja, Andang Suprihadi, saat peresmian perpustakaan SH Mintardja di Yogyakarta, 29 Januari 2023/Tempo/Shinta Maharani

Api di Bukit Menoreh dicetak sejak 1968. Koran tertua di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, menerbitkan naskah yang dikirim Mintardja setiap hari sebagai cerita bersambung yang kemudian dibukukan. Cerita empat seri terlaris itu selalu dinantikan pembacanya. Seri pertama hingga ketiga masing-masing terdiri atas 100 episode. Seri keempat hanya selesai 96 babak karena Mintardja meninggal pada 18 Januari 1999 di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, setelah sebulan dirawat akibat penyakit ginjal dan jantung. Dia meninggal pada usia 66 tahun.

Api di Bukit Menoreh berkisah tentang perebutan kekuasaan antara pendukung Kerajaan Mataram dan penentangnya. Cerita ini mengambil latar tanah perdikan yang dipimpin Ki Gede Menoreh sebagai kepala wilayah setingkat provinsi. Mintardja tidak hanya mengisahkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah, misalnya Sutawijaya yang kemudian menjadi Raja Mataram, tapi juga tokoh rekaan, seperti Agung Sedayu, Kiai Gede Menoreh, dan Kiai Gringsing.

Agung Sedayu adalah tokoh yang paling digemari. Dalam cerita seri pertama, Agung Sedayu diajari jurus silat oleh kakaknya, Untara. Mintardja menggambarkan Agung Sedayu sebagai tokoh yang tidak menyukai kekerasan. Untara sebaliknya, dia prajurit Wira Tamtama Pajang yang tegas dan berani. Menurut Andang, dua karakter itu bertolak dari hubungan dua saudara. Untara adalah kakak kandung Mintardja yang bekerja sebagai tentara. “Agung Sedayu penggambaran orang biasa yang mengabdi kepada negara,” ujarnya.

Suasana Perpustakaan SH Mintardja di Gedongkiwo, Yogyakarta, 29 Januari 2023/Tempo/Shinta Maharani

Karya monumental lain yang menyedot perhatian pencinta sastra lawas adalah Nagasasra dan Sabuk Inten. Karya berisi 30 jilid ini lebih padat ketimbang Api di Bukit Menoreh. Karya ini menggambarkan intrik kekuasaan berlatar Kerajaan Demak. Mintardja secara menarik membingkai latar cerita ini dengan kisah Syekh Siti Jenar yang dibunuh para wali. Melalui cerita bersambung ini, pembaca disuguhi banyak pertarungan tokoh di hutan-hutan yang sunyi.

Dalam kisah ini muncul ajian dan mantra yang sangat terkenal, misalnya rog-rog asem dan bragja geni. Rog-rog asem adalah ilmu pukulan telapak tangan dengan kekuatan seperti angin. Adapun bragja geni digunakan untuk menangkal kekuatan jahat. Mahesa Jenar menjadi tokoh sentral. Dia bekas perwira kesatuan Nara Manggala, pasukan pengawal raja. Mintardja memulai ceritanya melalui Mahesa Jenar yang meninggalkan jabatannya di Demak ketika terjadi konflik berdarah antara para wali dan pengikut Syekh Siti Jenar.

Mahesa menjadi pendekar yang bersusah payah mencari dua keris pusaka kerajaan, yakni Nagasasra dan Sabuk Inten, yang dicuri. Dia berhasil merebut pusaka itu dari para pendekar golongan hitam. Di pengujung cerita, dua keris itu ia persembahkan kepada Sultan Trenggono. Dua keris itu digambarkan memiliki kekuatan mahadahsyat dan punya aura yang kuat, penuh mistis. Samparan, tokoh dalam karya tersebut, melukiskan kepercayaan bahwa siapa pun yang berhasil memiliki dua pusaka itu punya kekuatan hebat. Pemilik pusaka itu punya kekuatan sakti untuk menyusun pemerintahan tandingan Kerajaan Demak.

Tokoh Mahesa Jenar pernah dipentaskan dalam bentuk ludruk di hadapan tentara. Pentas itu berjudul Sapta Mandala Kodam VII Diponegoro. Karakter Mahesa juga kerap dipentaskan grup-grup ketoprak di desa-desa di Yogyakarta. Misalnya grup Ketoprak Mataram Tresno Budaya yang mengambil lakon Nagasasra dan Sabuk Inten. Lakon ini menjadi populer dan disenangi. “Nagasasra dan Sabuk Inten karya puncak,” tutur Andang.

Penulis cerita silat SH Mintardja di Kantor Bidang Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta, 1982/Tempo/Aries Margono

Selain menghasilkan dua kisah paling terkenal itu, Mintardja menciptakan sejumlah karya klasik yang tidak kalah menarik. Di antaranya Pelangi di Langit Singasari, Istana yang Suram, dan Sepasang Ular Naga di Satu Sarang. Mintardja juga menulis banyak naskah ketoprak dan drama yang disiarkan Radio Republik Indonesia. Mintardja memang dikenal aktif dalam kelompok ketoprak di Yogyakarta. Sebagian naskah ketoprak tulisannya hilang karena dipinjam dan tidak kembali.

Naskah ketoprak itu antara lain berjudul Sang Perwira Gajah Mada, Prahara, Kembang Kecubung, dan Kembang Tumelung. Sejumlah cerita rakyat dan naskah ketoprak itu juga dipajang di perpustakaan yang berukuran 3,5 x 4 meter. Cerita rakyat itu misalnya menggambarkan sepasang kekasih yang berpisah karena salah satunya meninggal. Mintardja mengungkapkan hubungan antarmanusia yang sangat mendalam.

Keluarga juga menyertakan sejumlah literatur yang Mintardja gunakan saat menulis semua cerita, misalnya Babad Tanah Jawi dan Babad Kraton. Ada pula dua mesin tik kuno yang ia gunakan untuk memproduksi semua karyanya. Menjelang kematiannya, dalam kondisi sakit, Mintardja bahkan tetap berkarya. Andang ingat, ia kerap membantu sang ayah yang dalam keadaan sakit parah tetap ingin menulis. Foto-foto Mintardja dalam sejumlah seremoni juga ada di sana. Salah satunya saat ia bertemu dengan Presiden Soeharto.

Pakar linguistik yang menyunting Kamus Pepak Basa Jawa, Sudaryanto, menghadiri peresmian perpustakaan itu. Dia salah satu pembaca fanatik Api di Bukit Menoreh serta Nagasasra dan Sabuk Inten. Menurut dia, cerita dalam karya-karya itu relevan dengan situasi sosial hari-hari ini, misalnya peristiwa kekerasan yang terjadi di Yogyakarta . Dalam cerita bersambung Mintardja, banyak adegan tentang pemuda berandal yang mirip kekerasan jalanan atau klitih yang melibatkan remaja saat ini. Yang khas dari cerita-cerita yang ditulis Mintardja, menurut dia, adalah ihwal baik dan buruk. Mintardja menekankan yang baik selalu menang di akhir kisah.

Suasana Perpustakaan SH Mintardja di Gedongkiwo, Yogyakarta, 29 Januari 2023/Tempo/Shinta Maharani

Sudaryanto menambahkan, Mintardja juga menghindari penggambaran tokoh-tokoh jahat dengan kekejaman luar biasa. Mintardja bertolak dari iman kristiani yang mengajarkan pemaafan, misalnya musuh atau tokoh jahat selalu bertobat. “Membawa amanat Gusti Yesus tentang pemaafan,” kata Sudaryanto, yang juga kerabat Mintardja. Adik istri Sudaryanto menikah dengan anak Mintardja. Cerita inspirasi dari nilai-nilai kristiani itu dikuatkan oleh tuturan Andang. Menurut dia, Nagasasra dan Sabuk Inten lahir ketika Mintardja pergi ke gereja. Kepada Andang, Mintardja pernah bercerita bahwa dia percaya semua cerita yang ia tulis adalah berkah dari Tuhan.

Andang menyatakan keluarga belum berencana membukukan karya-karya lain Mintardja, misalnya Ki Demang yang diterbitkan Harian Bernas. Ada juga cerita-cerita bersambung yang diterbitkan Sinar Harapan dan Suara Merdeka. Mintardja, yang lahir di Yogyakarta pada 26 Januari 1933, menulis karya secara otodidaktik. Kegemarannya membaca karya sastra Jawa kuno membuatnya terlatih dan piawai mendongeng. Gambar ilustrasinya menarik. Sebagian menggambarkan pose gerakan silat. Pencipta gambar ilustrasi itu adalah Ken Tardjo, Herry Wibowo, Soediyono, dan Andang Suprihadi.

Perpustakaan S.H. Mintardja yang kecil kini mengundang siapa saja untuk meneliti karya-karyanya. Akan terlihat semua karya Mintardja berlatar perebutan kekuasaan di Jawa. Di situ kita bisa menemukan berbagai karakter, dari yang culas sampai yang jujur. Kisah yang relevan dengan situasi sosial-politik kini. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus