Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG penari dengan hiasan di kaki yang mengeluarkan bebunyian duduk bersila seperti tengah berdoa. Tangannya menjulur ke atas dan diukel ke udara. Ia lantas mengentak-entakkan kakinya, mendekati seorang penari lain yang bertubuh agak gemuk di antara sekelompok kecil penari yang roboh. Ia seperti tengah mencabut jiwa penari itu. Penari yang agak gemuk ini seperti bergetar, hidup. Ia pun dengan lincah menyusul menari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarian itu memadukan unsur gerak tari Jawa, balet, dan silat. Delapan penari menampilkan gerak seperti ikan dengan tangan kadang di atas ditangkupkan, badan meliuk, melompat, membuka tangan, dan mengangkat kaki. Berdiri berjajar membentuk segitiga, mereka melingkar rapat saling mengait, kadang tampak rebah bersandar pada bahu sesama penari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menampilkan koreografi berjudul La Sirène karya Junadry Leocaria, koreografer Belanda berdarah Karibia yang sukses tampil dalam festival tari di Negeri Kincir Angin. Koreografi ini ditampilkan di Erasmus Huis pada Rabu, 8 Februari lalu, dan Ahad, 12 Februari, di Salihara, Jakarta. Mereka menafsirkan ulang sosok roh penjaga kearifan laut yang dimanifestasikan sebagai perempuan berbadan separuh ikan.
Tarian menampilkan ragam formasi dalam kelompok-kelompok kecil berisi satu-dua dan dua-tiga penari. Ada yang bergerak solo, ada pula yang bersama-sama dalam kelompok besar delapan orang. Mereka bergerak pelan di awal dengan suara gemuruh ombak lautan menyertai. Namun kemudian suasana hening penonton yang menyimak koreografi berubah menjadi riuh dan ceria. Beberapa penonton berseru dan bertepuk tangan dengan iringan musik yang menggugah ketika para penari menyajikan gerak yang lebih ringan. Pertunjukan dipenuhi penonton yang antusias. Delapan penari yang tampil malam itu adalah Brisbania Ayu Saraswati Bhakti, Danu Anggada Bimantara, Kathrine Permatasari, Kezia Alyssa Sandy, Mimi Korompis, Rajendra Amira Leila, Shakira Diva Dovendra Maretazanetti, dan Vito Prasasta Adipurwanto.
Pertunjukan malam itu adalah bagian dari pentas kolaborasi belasan seniman multidisipliner Indonesia, Belanda, dan Karibia. Unsur di panggung tak bisa dilepaskan dari pameran sejumlah instalasi dan karya desainer, video, serta foto yang dipajang di ruang pamer Erasmus Huis. Pameran seni rupa itu dikurasi oleh seniman Afro-Belanda, Richard Kofi, dan Junadry Leocaria. Seniman visual Indonesia yang terlibat adalah Tiara Alifa P. Pratomoaji, Liesna S. Subianto, Kelvin Djunaidi, dan Tison Baim. Adapun dari Belanda ada Jesus Codeno dan Richard Kofi sendiri. Mereka menggarap seni instalasi yang berkaitan dengan dewi laut. Wujudnya lukisan yang ditempel pada dua bidang dinding, foto, video proyeksi digital, dan instalasi semacam buntut ikan duyung atau naga yang bersisik, juga selembar kain cetakan desainer untuk kostum para penari. Leocaria sendiri tampil dalam video yang disorotkan ke kain pembatas masuk ruang pamer.
Pentas La Sirene di Erasmus Huis, Jakarta, 8 Februari 2023. Dok. Erasmus Huis
Selembar kain berwarna putih dipasang sebagai pintu masuk ke ruang pameran. Pada kain itu disorotkan video yang menggambarkan gunung api yang kemudian bersilih menjadi panorama laut dan panggung. Di bagian bawah tampak air laut yang menghijau dengan beraneka ikan dan penghuni laut lain, sementara di atasnya seperti panggung dalam air yang memperlihatkan Leocaria dan beberapa penari. Suara deru lava berganti menjadi suara gemuruh lautan. Tison Baim merancang konsep videografi panggung pertunjukan itu. Bagian ini mengisahkan mitologi dari Karibia tentang duyung yang dikejar-kejar manusia. Leocaria juga menjadi model fotografi ikan duyung yang berada di laut menanti pancaran sinar matahari.
Begitu masuk ke ruang pameran, pengunjung akan disambut mural-mural yang penuh imaji. Satu bidang dinding di sebelah kiri bergambar ombak lautan dengan siluet garis hijau. Sebuah mata tampak seperti mengawasi. Mural ini dicetak dari lukisan cat air karya Tiara Alifa. Seniman muda dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menjelaskan konsep karyanya adalah perwujudan lautan lepas Samudra Indonesia. “Warna hijau menyimbolkan atau merujuk pada mitos Nyai Roro Kidul, penguasa laut selatan,” ujarnya.
Ruang pameran visual kolaborasi seniman Indonesia, Belanda dan Karibia di Erasmus Huis. Erasmus Huis
Adapun pada bidang dinding di seberangnya terlihat lukisan yang lebih figuratif. Tampak sesosok ular raksasa bermahkota dengan mata bulat dan lidah menyembur dalam mitologi Jawa yang berhadapan dengan dua ular besar seperti ular hutan pedalaman Amerika Selatan. Di antara dua ular ini terdapat gambar perempuan Bali yang menyunggi gebogan atau sesaji buah yang digunakan pada saat upacara Melasti. Ada pula sosok-sosok perempuan Afrika yang tengah berkumpul. Juga figur siluet seperti sosok perempuan yang tengah menari. Seperti Nyai Roro Kidul, di Karibia ada sosok spiritual pelindung laut berwujud ikan duyung. Gambar-gambar mitologi pelindung laut digunakan bersama sebagai refleksi keprihatinan atas eksploitasi laut.
Uniknya, di sisi kanan bidang itu tampak lukisan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Ada juga sosok yang diklaim sebagai Soe Hok Gie yang lebih mirip seorang pemuda Afrika serta wajah yang disebut sebagai Usmar Ismail dan beberapa sosok lain di bawah lukisan tokoh itu. Pada bidang itu tampak tulisan "Silencio Silencio, Amada, Boca, Alrededor, Tu Amada, De Mi, Bien, Nama, Dulcemente"—bagian dari puisi karya sastrawan Argentina, Alfonsina Storni.
Apa hubungan antara Nyai Roro Kidul, putri duyung, Munir, Hok Gie, dan puisi-puisi perlawanan Storni? Richard Kofi menjelaskan, La Sirène bukan hanya refleksi atas penjaga alam dan kebenaran supernatural, tapi juga atas kebenaran dari mereka yang termarginalkan, dibungkam. “Kesamaan Karibia dan Indonesia dipertemukan kolonialisme,” tutur Kofi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo