Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Pertamina sampai Kartika

Liputan skandal utang Pertamina boleh dikata salah satu tonggak investigasi di era awal Tempo. Berkat lobi rapat dengan narasumber.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari di pengujung November 1975. Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Fikri Jufri tiba di kediaman Siswono Yudhohusodo, pengusaha muda yang sedang naik daun ketika itu. Fikri punya janji wawancara dengan Sis—begitu bekas aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung ini biasa disapa.

Belum lagi dia duduk, sang empunya rumah bergegas keluar. ”Dia minta maaf harus mendadak membatalkan wawancara,” kata Fikri, soal peristiwa 26 tahun silam itu. Naluri jurnalistiknya langsung mencium ada sesuatu. Mengabaikan tujuan wawancaranya semula, Fikri langsung berusaha mengorek informasi. ”Ada apa, Bung?” dia bertanya. Sambil lalu, Siswono menjelaskan dengan nada datar, ”Direktur Utama Pertamina dan lima direkturnya diberhentikan.” Fikri sontak terkesima. ”Saya sadar, saya dapat berita besar,” katanya kemudian.

Jelas berita besar, karena Pertamina pada masa keemasan Orde Baru adalah raksasa yang menyilaukan mata. Tangan-tangan perusahaan minyak nasional itu merambah ke berbagai bidang usaha. Telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, pariwisata, sampai angkutan tanker minyak. ”Sebut saja satu bidang usaha, pasti ada Pertamina-nya,” kata satu pejabat zaman itu, berkelakar.

Kekayaan Pertamina memang menggunung. Di laut, mereka punya 200-an kapal, termasuk puluhan tanker minyak. Di udara, ada puluhan pesawat dan helikopter. Pada akhir 1974, Pertamina bahkan berani membeli model terbaru jet eksekutif Boeing 727 yang dilengkapi ruang rapat dan kamar mandi kecil. Harganya US$ 15 juta (sekitar Rp 135 miliar pada nilai sekarang—Red.).

Pada masa itu, Indonesia sedang menikmati berkah bonanza minyak. Harga per barel minyak bumi terus menanjak, menyediakan sumur dolar yang tak pernah kering buat Orde Baru. Tak mengherankan jika Presiden Soeharto amat percaya kepada Direktur Utama Pertamina waktu itu, Ibnu Sutowo.

Beberapa media Barat bahkan menjuluki Ibnu Sutowo sebagai ”The Second Most Powerful Man in Indonesia”—orang terkuat nomor dua, setelah Soeharto. Buktinya, sejumlah liputan investigasi harian Indonesia Raya pada 1969-1970 tentang berbagai dugaan kongkalikong Ibnu Sutowo di Pertamina tak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah.

Ibnu Sutowo sudah jadi pemimpin perusahaan minyak negara itu sejak masih bernama Permina pada Oktober 1957. Jika berita dari Siswono tentang pergantian pemimpin perusahaan itu benar, pastilah ada krisis besar yang membuat Ibnu harus tersingkir.

l l l 

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Fikri mendatangi kantor Menteri Pertambangan M. Sadli. Sang Menteri belum datang. Fikri langsung mengambil posisi strategis, duduk di kursi dekat tangga naik ke ruang kerja Sadli. Dengan begitu, Sadli pasti melewatinya saat tiba di kantor—Fikri mengancar-ancar.

Begitulah, ketika Sadli lewat, Fikri langsung berseru, ”Jadi betul, Pak?” Sadli, yang tak mengira krisis di Pertamina bisa bocor ke telinga wartawan, hanya menjawab pasrah, ”Betul.” Tentu sepotong konfirmasi itu tak cukup untuk menulis satu laporan panjang. Apalagi Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Goenawan Mohamad, meminta agar peristiwa ini jadi Laporan Utama edisi berikutnya.  

Fikri kembali mengejar Sadli—kali ini di rumahnya. ”Pagi hari, saya sudah sampai ke rumah Sadli lagi. Dia baru mandi, masih pakai celana kolor,” kata Fikri sambil tertawa geli. Kebetulan Sadli adalah dosen Fikri di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Begitu melihat Fikri di teras depan, Pak Menteri langsung cemberut. ”Ada apa lagi? Tidak ada wawancara hari ini,” katanya ketus. Yang disemprot malah tersenyum lebar. ”Saya ke sini mau minum kopi, Pak, belum sarapan,” kata Fikri. Dengan tanggapan ringan itu, suasana langsung cair. Sadli mempersilakan tamunya duduk untuk sarapan bersama.

Di tengah-tengah percakapan, Fikri berusaha memancing, ”Jadi utang Pertamina ini sekian, ya? Utang dagangnya sekian?” katanya sambil memerinci deretan angka. Tak sadar, Sadli terbawa umpan Fikri. ”Bukan segitu, lebih, Bung,” katanya mengoreksi. Wawancara pun berlanjut lancar.

Nah, tokoh terakhir yang harus diwawancarai Tempo sebelum berita menghebohkan ini bisa dimuat tentu Ibnu Sutowo sendiri. Masalahnya, orang ini tak mudah ditemui. Berterang-terangan dia mengaku tak suka bicara kepada jurnalis. Tapi Fikri pantang menyerah. Dia cepat-cepat mendatangi Ibnu Sutowo di kantornya, markas Pertamina, Jalan Perwira, Jakarta Pusat.

Ketika itu, Fikri hanya mengandalkan kedekatannya dengan Marah Junus, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pertamina. ”Saya berusaha bisa cocok ngobrol dengan banyak orang,” kata Fikri membuka rahasia jejaring perkawanannya yang luas. ”Tapi saya terutama bisa ­ngobrol panjang dengan Marah Junus,” katanya. Fikri akhirnya berhasil mendapatkan dua jam penuh wawancara dengan Ibnu Sutowo.

Dalam wawancara itu, Ibnu mengakui telah salah kalkulasi. Akibat mengandalkan komitmen dana pinjaman jangka panjang US$ 1,7 miliar dari Timur Tengah, Pertamina berani menggunakan pinjaman jangka pendek untuk membiayai proyek-proyek mercusuar. Belakangan, komitmen dana itu menguap tak jelas. ”Tiba-tiba saya mendapat kabar, utang jangka panjang itu tidak bisa cair,” kata Ibnu. ”Maka kacaulah kami.”

Sampai sekarang, Fikri masih ingat betul detail wawancara krusial itu. ”Satu pernyataan yang masih saya ingat: Ibnu Sutowo bilang uang dari Timur Tengah itu ternyata fatamorgana,” katanya.

Ketika akhirnya dimuat di edisi November 1975, berita Tempo tentang krisis utang Pertamina menggemparkan banyak orang. Khalayak tak menyangka perusahaan sebesar Pertamina ternyata terbelit pinjaman sampai lebih dari US$ 10,5 miliar. ”Kami yang pertama kali memuat soal krisis ini,” kata Fikri.

Karena skala usahanya yang amat luas, kisruh utang Pertamina segera berdampak pada perekonomian nasional. Apalagi penerimaan negara tahun itu hanya US$ 6 miliar dan cadangan devisa cuma US$ 600 juta.

Ketika menyampaikan pidato kenegaraannya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, awal Januari 1976, Presiden Soeharto mengakui dampak buruk krisis Pertamina pada program pembangunan nasional. ”Kesulitan yang dialami oleh Pertamina tentu saja mempunyai akibat-akibat yang luas, terutama karena menyangkut jumlah-jumlah yang sangat besar,” kata Soeharto di hadapan anggota DPR.

Tiga bulan kemudian, Ibnu Sutowo dicopot dari jabatannya. Piet Haryono diangkat sebagai Direktur Utama Pertamina yang baru. Meski kariernya berakhir tragis, hubungan Ibnu Sutowo dan Fikri Jufri tetap baik. Wawancara ”bersejarah” Fikri bahkan dimuat dalam biografi resmi Ibnu Sutowo yang ditulis Ramadhan K.H., Saatnya Saya Bercerita. Buku itu terbit pada 2008 atas restu putra pertama Ibnu, Pontjo Sutowo.

Jurnalis senior Atmakusumah Astraatmadja mengakui bahwa salah satu kekuatan investigasi Tempo adalah ketaatannya memberikan ruang tanggapan buat tertuduh. ”Tak ada pihak yang terlewat, semua yang diliput diberi ruang untuk merespons,” katanya.

l l l 

EMPAT tahun kemudian, pada Februari 1980, Tempo kembali menurunkan laporan investigasi soal Pertamina. Kali ini soal sengketa perebutan harta antara Kartika Thaher dan anak-anak tirinya di Pengadilan Tinggi Singapura. Mereka berebut hak penguasaan atas rekening bersama Haji Thaher dan Kartika di Bank Sumitomo sebesar US$ 35 juta. Thaher, yang jadi Asisten Umum Ibnu Sutowo saat Ibnu menjadi Direktur Utama Pertamina, sudah meninggal pada Juli 1976.

Informasi awal soal kasus ini didapat Redaktur Tempo Harjoko Trisnadi. ”Karena ­Fikri yang lebih paham isu ekonomi, saya perkenalkan sumber saya itu kepada dia,” kata Harjoko, ketika diundang ke kantor Tempo, Februari lalu. ­Fikri membenarkan. ”Kami makan malam di Restoran Oasis bersama sumber yang dibawa Harjoko,” katanya.  

Berdasarkan data awal itu, Fikri menelusuri asal-muasal dana jutaan dolar yang disimpan Thaher di rekeningnya itu. Belakangan terungkap ada indikasi dana itu adalah suap dari sejumlah rekanan Pertamina, termasuk perusahaan kontraktor Jerman, Klockner, untuk proyek pembangunan pabrik baja Krakatau Steel.

Setelah sengketa harta Kartika Thaher ini dimuat Tempo, hampir semua bank di Indonesia merevisi aturan internalnya. Sejak itu tak ada lagi rekening bersama pasangan suami-istri, yang hanya bisa ditarik salah satu pihak. ”Semua aturan kepemilikan rekening bersama yang multitafsir diperbaiki,” kata Harjoko.  

Selain punya dampak eksternal, laporan investigasi Tempo ternyata punya pengaruh ke dalam. ”Berita-berita soal Pertamina ini membuat oplah kita naik terus,” kata Harjoko sambil tertawa keras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus