Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU anyir mayat masih tercium di kapal motor Sangihe yang bersandar di Pelabuhan Ujungpandang, akhir Januari 30 tahun silam. Di kapal ini sebelumnya digeletakkan jasad sejumlah penumpang kapal motor Tampomas II yang diangkut dari laut. Tanpa rasa jijik atau ngeri, Dahlan Iskan masuk ke kapal. Kepala Biro Tempo Jawa Timur ini mengemban satu misi: mengorek informasi terbakarnya Tampomas II dari awak kapal Sangihe.
Sangihe adalah kapal pertama yang membantu mengevakuasi penumpang Tampomas yang tengah berlayar dari Jakarta menuju Ujungpandang. Ahad, 25 Januari 1981, kapal yang belum setahun dibeli PT Pelayaran Nasional Indonesia itu terbakar di sekitar Kepulauan Masalembo, Jawa Timur. Dua hari terbakar di tengah laut, kapal buatan Mitsubishi Heavy Industries, Jepang, tahun 1971 yang dikemudikan nakhoda Abdul Rivai itu akhirnya karam. Rivai sendiri ditemukan tewas di laut.
Menurut Dahlan—kini Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara—tak ada wartawan yang meliput langsung kebakaran itu karena akses ke lokasi cukup sulit. Dahlan, yang ditugasi kantor pusat Tempo di Jakarta, langsung terbang ke Makassar karena Sangihe berlabuh di sana. ”Saya harus mengumpulkan cerita terperinci untuk merekonstruksi tenggelamnya Tampomas,” katanya pertengahan Februari lalu.
Tiga hari tiga malam dia mewawancarai hampir semua awak kapal. Nyaris tanpa tidur. Dahlan sadar, keterangan satu narasumber harus dicek dengan narasumber lain untuk memastikan kebenaran cerita. Wartawan yang bergabung di Tempo pada 1975 ini mengetahui awak Sangihe sempat memotret kebakaran di Tampomas. Dengan bujuk rayu, rol film berisi foto-foto itu bisa pindah ke kantongnya.
Agar cerita yang diperolehnya tak didahului media harian, Dahlan menjaga agar awak Sangihe sedapat mungkin tak turun ke darat. ”Kalau turun, pasti mereka diwawancarai wartawan lain,” katanya sambil tertawa. Dahlan bahkan mewawancarai para korban selamat yang dirawat di rumah sakit setempat, saat awak Sangihe terlelap.
Setelah cerita lengkap ada di tangan, Dahlan kembali ke kantor Tempo di Pasar Senen, Jakarta. Rajutan ceritanya yang dimuat di edisi 7 Februari 1981 begitu hidup. Membaca tulisan Dahlan laksana berada di lokasi kejadian. Suasana tegang dan cemas begitu terasa. Dalam istilah di kalangan wartawan Tempo, reportase itu begitu ”basah”. Tulisan Dahlan juga mengungkap ketidakmampuan awak kapal menggunakan alat keselamatan di kapal nahas itu.
Dahlan membuka tulisan berjudul ”Neraka 40 Jam di Tengah Laut” dengan penggalan lagu Berita kepada Kawan karya Ebiet G. Ade. Lagu itu kebetulan dinyanyikan penumpang Tampomas sekaligus biduanita Ida Farida sebelum api membakar kapal. Simaklah jeritan para penumpang yang disisipkan Dahlan dalam tulisannya: ”Panas! Panas! Neraka! Cepat kirim air!”
Ada pula penggalan kisah Youce Freddy, penumpang Sangihe asal Manado, yang memberanikan diri mengirim tali ke Tampomas agar bisa ditarik Sangihe. ”Saya terkejut sekali. Begitu sampai di Tampomas, saya lihat 20-an mayat bergeletakan di geladak,” katanya. Mayat itu sudah berwarna hitam. Gosong terbakar api. Di antaranya seorang wanita dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar 3 tahun.
Pemimpin redaksi saat itu, Goenawan Mohamad—yang terkenal lebih sering mengkritik ketimbang memuji—mengakui dahsyatnya reportase Dahlan. ”Dahlan wartawan hebat,” kata Goenawan mengenang tulisan Tampomas itu.
EDISI dengan tajuk ”Tragedi (dan Skandal?) Tampomas II” itu muncul dengan lima tulisan soal Tampomas. Goenawan Mohamad mengatakan redaksi memutuskan terbakarnya kapal itu sebagai cerita sampul. Salah satu alasannya: jumlah korban tewas begitu banyak, lebih dari 400 orang—versi lain mengatakan 666 orang.
Laporan Tempo edisi awal Februari itu mengungkap minimnya fasilitas keselamatan di Tampomas. Salah satunya, tak berfungsinya flare gun atau pistol suar sebagai penanda kondisi kapal sedang gawat. Selain itu, ada tulisan yang mempersoalkan pembelian kapal bekas tersebut. Goenawan mengatakan redaksi Tempo curiga proses pembelian berlangsung secara tak wajar. ”Kami punya hipotesis seperti itu. Buktinya harus dicari,” katanya.
Pekan itu juga Tempo mengerahkan awak redaksi untuk mengejar cerita di balik pembelian kapal yang semula bernama Emerald itu. Salah satunya I Ketut Surajaya, kini guru besar sejarah Universitas Indonesia. Ketut, yang ketika itu sedang berada di Jepang, melaporkan Komodo Marine Company, penjual Emerald, baru membeli Emerald dua bulan setelah menandatangani kontrak dengan PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN).
PT PANN menjadi bagian dari tim pembelian kapal yang ditujukan buat memenuhi kebutuhan transportasi laut. Kontrak senilai US$ 8,3 juta itu ditandatangani pada 23 Februari 1980. Pertanyaannya: bagaimana mungkin pihak Indonesia menandatangani kontrak dengan perusahaan yang belum memiliki kapal?
Tempo juga menemukan Tampomas II rusak enam kali dalam pelayaran perdana. Para teknisi dari Jepang hanya sekali mengikuti pelayaran Tampomas. Karena itu, Penanggung Jawab Rubrik Nasional Tempo Susanto Pudjomartono dan Redaktur Pelaksana Fikri Jufri ditugasi mengejar Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Junus Effendi Habibie—kini Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda—yang menjadi ketua panitia pengarah pengadaan kapal. Saat itu, Fanny, panggilan J.E. Habibie, berkilah teknisi Indonesia sudah bisa menangani Tampomas II.
Saat Susanto dan Fikri menemui Fanny, adik mantan presiden Bacharuddin Jusuf Habibie itu sempat meninggalkan ruangannya. Susanto melihat sejumlah foto Tampomas yang terbakar ada di meja Fanny. ”Saya dan Fikri langsung memilih foto yang paling bagus,” kata Susanto. Diam-diam, foto itu mereka ambil. Muncullah di sampul muka pemandangan mengerikan itu: foto Tampomas II dengan api dan asap membubung tinggi dan para penumpang berpelampung jingga memadati haluan kapal.
TELEPON berdering tengah malam di satu rumah di Rushgrove Avenue, London North West 9, beberapa saat setelah Tempo edisi awal Februari terbit. Bergegas Abdullah Alamudi mengangkatnya. Dari seberang sana terdengar suara redaktur Tempo Yusril Djalinus.
Yusril menugasi koresponden Tempo yang juga wartawan BBC itu mencari informasi Tampomas II dari perusahaan asuransi Lloyd’s of London. Lloyd’s memiliki data lengkap sejarah kapal, dari galangan pembuat, frekuensi berlayar, hingga perpindahan pemilik, serta taksiran harga jual kembali.
Tak mudah sebenarnya mendapat data itu karena Lloyd’s agak menutup akses informasi. Tapi Abdullah berhasil memperolehnya. ”Dari data itu terlihat harga Tampomas II terlalu mahal,” kata wartawan yang menggunakan nama samaran Gabriel Gay jika menulis untuk Tempo itu.
Di Jakarta, Tempo memperoleh informasi serupa. Seorang pejabat di bidang perhubungan mengatakan harga Tampomas II sebenarnya hanya US$ 2,25 juta. Ini jauh lebih murah daripada harga pembelian resmi, US$ 6,4 juta, plus US$ 1,9 juta untuk mengkonversi kapal pengangkut barang ini menjadi kapal penumpang. Uang pembelian itu berasal dari pinjaman Bank Dunia dan hibah pemerintah Norwegia.
Setelah edisi perdana Tampomas, Tempo masih getol menelusuri penyimpangan dalam pembelian kapal itu. Kembali tenaga dikerahkan untuk menelusuri pembelian Tampomas. Salah satunya menugasi pembantu Tempo di Hong Kong, Christina Vertuchi, melacak jejak Komodo Marine yang disebut dalam kontrak beralamat di sana. Hasilnya, di sana tidak ada perusahaan bernama Komodo Marine yang mengubah nama Emerald menjadi Great Emerald.
Komodo malah ditemukan beralamat di Jakarta. Perusahaan itu dimiliki dua warga Indonesia: George Hendra dan Lie Kian Liong alias Santoso Sumarli. Keduanya kukuh mengatakan Tampomas sudah dimiliki sebelum perjanjian jual-beli dengan PT PANN ditandatangani. Kapal itu dibeli Komodo dari Arimura Sangyo Co Ltd, yang bermarkas di Tokyo.
Semua cerita ini dimuat di edisi pekan berikutnya. Sejak itu, Tempo selalu melaporkan perkembangan terbaru ihwal Tampomas II, setidaknya selama dua tahun sejak kapal tenggelam.
George Hendra akhirnya ditangkap enam bulan setelah kapal tenggelam. Ia sempat dibawa ke pengadilan. ”Tapi cuma syahbandar yang dihukum,” kata Goenawan Mohamad. Dia menyimpulkan, hipotesis awal redaksi Tempo bahwa ada penyimpangan dalam pembelian Tampomas tak terbukti.
Toh, wartawan senior yang juga mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, menilai liputan Tempo soal Tampomas II memberikan informasi lengkap kepada masyarakat. Apalagi saat itu berita soal Tampomas dari koran sangat minim. Dia juga memuji, pemberitaan soal Tampomas ”ikut mendorong perbaikan transportasi laut”.
Redaktur Senior Tempo Amarzan Loebis juga mengakui pemberitaan Tampomas tak berpengaruh banyak dalam pengusutan perkara dugaan korupsinya. Amarzan menilai pemberitaan Tampomas sebenarnya bukan investigasi, melainkan reportase mendalam. Namun Goenawan, Amarzan, dan Fikri Jufri berpandangan serupa: liputan soal Tampomas menjadi salah satu akar investigasi ala Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo