Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terapi nonoperasi menjadi harapan baru bagi pasien kelainan tulang belakang atau skoliosis. Terapi nonoperasi itu terdiri dari observasi, terapi, dan latihan fisik, serta penggunaan penunjang atau bracing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terapi alternatif dan komplementer terbukti bermanfaat untuk menghentikan perkembangan tulang pasien, membuat badan lebih seimbang, mengoreksi agar tampilan lebih baik, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel lain:
Penyakit Tulang Belakang Ini Banyak Menyerang Wanita, Apa Itu?
Penjelasan Spesialis Ortopedi Soal Kelainan Tulang Belakang
Skoliosis Rentan Dialami Remaja
Jangan Abaikan Penyakit Tulang Belakang, Ada yang Berujung Maut
Namun, penting untuk diingat bahwa deteksi dini secara akurat merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam perawatan skoliosis. Di samping itu penggunaan penunjang (bracing) yang tepat merupakan terapi yang signifikan untuk pasien skoliosis.
Tahapan diagnosa bracing harus dimulai dengan memindai tubuh secara akurat melalui alat 3 Dimensi menggunakan BraceScan (bukan menduga dengan tangan manusia). BraceScan menggabungkan pemindai laser full body 3D, sinar - X, dan foto postur tubuh.
Setiap brace dirancang khusus untuk individu menggunakan Computer Aided Design(CAD) dan kemudian dibuat dengan Computer Aided Manufacture (CAM).
Ahli fisiologi dan anatomi Labana Simanihuruk mengatakan bahwa brace secara klinis telah terbukti dapat mengurangi lengkung atau kurva pada kasus umum skoliosis dan kifosis, mengurangi sakit, memperbaiki postur tubuh, memperlambat pertumbuhan kurva pada anak, memperbaiki bentuk tubuh dengan mengurangi tonjolan tulang iga serta mensejajarkan bahu dan pinggang.
“Brace sangat berperan mengoreksi kurva, terutama bagi pasien yang memiliki kurva lebih dari 30 derajat dan ditambah melakukan exercise sesuai bentuk kurva, bukan exercise konvensional,” ujarnya.
skoliosis
Dr. dr. Ninis Sri Prasetyowati, Sp. KFR, konsultan ahli dari Klinik Scoliosis Care mengatakan masyarakat masih kurang menyadari tentang pentingnya edukasi scoliosis. Padahal prevalensi skoliosis makin meningkat yaitu sekitar 3 persen di dunia dan 4 persen hingga 5 persen di Indonesia.
Skoliosis dapat terjadi sejak balita dan anak-anak, yaitu usia 0-3 tahun (infantile), 4-9 tahun (juvenile), 10-19 tahun (adolescent), dan lebih dari 19 tahun (adult).
“Progresivitas skoliosis terjadi pada umur 10 hingga 18 tahun. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, skoliosis lebih banyak terjadi pada perempuan. Dari keseluruhan skoliosis yang terjadi, sebanyak 80 persen merupakan skoliosis idiopatik,” ujarnya.
Skoliosis merupakan kelainan pada rangka tubuh yang berupa kelengkungan tulang belakang. Skoliosis dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. Pada anak-anak, skoliosis dapat berubah menjadi kondisi yang serius seiring dengan pertumbuhannya.
Skoliosis juga dapat terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki sejarah kondisi ini, dikarenakan degenerasi pada tulang belakang dan faktor usia yang bertambah tua. Jika skoliosis dapat terdeteksi atau ditemukan lebih awal, pasien dapat menghindari gejala-gejala kondisi yang lebih parah.
Bila dibiarkan saja tanpa penanganan atau perawatan, skoliosis terkadang perlu tindakan pembedahan.