Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM kering yang melanda Sumatera Barat membuat Junaindra Sumawan mengalami susut produksi getah karet dari kebunnya seluas enam hektare di Kecamatan Koto Baru, Dharmasraya, Sumatera Barat. Dalam kondisi normal, laki-laki 32 tahun itu mampu mengumpulkan lump atau gumpalan karet 2,4 ton per bulan. Kini, akibat banyaknya daun karet berguguran, hanya terkumpul 1,68 ton. "Daun rontok bikin getah menyusut," katanya Senin pekan lalu.
Dengan harga karet Rp 10 ribu per kilogram, alumnus Institut Pertanian Yogyakarta itu meraup pendapatan kotor paling kecil Rp 28 juta dalam kondisi normal. Setelah dikurangi ongkos pupuk dan buruh, laba yang dikantongi Junaindra Rp 9 juta per bulan. Laba bisa menanjak saat rupiah melemah terhadap dolar, seperti yang pernah dinikmatinya akhir tahun lalu.
Sebenarnya mendongkrak pendapatan bisa dengan cara menggandakan produksi karet. Namun cara itu terbilang mustahil karena bibit karet berasal dari biji pohon. Adapun karet dengan produktivitas tinggi berasal dari bibit okulasi. "Kami berharap pemerintah bisa menyediakan bibit unggul," katanya.
Keluhan Junaindra menyuarakan mayoritas petani karet yang menguasai 85 persen lahan karet nasional 3,5 juta hektare-terluas di dunia. Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan rendahnya produktivitas lantaran umur pohon yang rata-rata sudah 25 tahun. "Perlu tanam ulang," katanya Senin dua pekan lalu.
Menurut Gamal, rata-rata produktivitas petani karet di bawah 600 kilogram dari total produksi nasional 3,1 juta ton. Pencapaian ini tergolong rendah dibanding Thailand, yang memiliki luas lahan karet 2,4 juta hektare tapi produksinya lebih dari 4 juta ton.
Persoalan bukan hanya bersumber di perkebunan. Sektor industri, sebagai rantai penghiliran karet, juga kurang bergairah. Akibatnya, sebagian besar karet alam nasional diserap industri di luar negeri. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, dari 3,1 juta ton karet, hanya 17 persen diserap industri dalam negeri. Serapan terbesar karet berasal dari pabrik ban 46 persen, disusul industri sarung tangan 14 persen.
Rendahnya serapan karet alam lantaran industri berbasis karet tak didukung bahan baku campuran. Misalnya industri ban membutuhkan karet sintetis selain karet alam. Untuk membuat ban roda empat dan roda dua, komposisinya karet alam 60 persen, sisanya karet sintetis.
Masalahnya, saat ini pasokan karet sintetis sedang seret. Menurut Panggah, produksi karetnya baru mencapai 200 ribu ton. "Tanpa tambahan pasokan karet sintetis, pengusaha tak bisa meningkatkan serapan karet alam," katanya Senin dua pekan lalu.
Riki Ibrahim, Direktur PT Tuban Petrochemicals Industries, mengatakan masalah utama yang dihadapi dua anak usahanya, PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) dan Polytama Propindo, adalah seretnya bahan baku, seperti kondensat dan nafta.
Tidak adanya kepastian bahan baku akan membuat industri petrokimia mati suri. Seperti terjadi pada Polytama, yang mematikan mesinnya akibat tak mendapat stok propylene. Nasib serupa bakal dialami TPPI, yang jaminan pasokan bahan baku hanya sampai Juni mendatang.
Masalah serupa terjadi pada industri sarung tangan karet. Kendala di industri sarung tangan bukan seretnya karet sintetis, melainkan pasokan gas dan infrastruktur jalan. Industri ini hanya sedikit membutuhkan karet sintetis karena 95 persen bahan bakunya karet alam.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Indonesia Achmad Safiun mengatakan bahan baku sarung tangan berupa karet cair atau lateks. Bahan baku ini melimpah di Sumatera Utara sehingga mendorong berdirinya 12 pabrik sarung tangan di provinsi itu. Pasokan lateks dari perkebunan belakangan ini tersendat karena jalan yang rusak berisiko menumpahkan lateks.
Belum lagi jalan diperbaiki, pasokan gas yang seret membuat industri sarung tangan bak sudah jatuh tertimpa tangga. Pada 2006, belasan pabrik sarung tangan tak mendapat suplai gas yang cukup. Selama delapan tahun, menurut Safiun, pemerintah tak berhenti berjanji menyuplai gas baru. Misalnya janji memasok gas dari floating storage regasification unit (FSRU) di perairan Sumatera Utara dan membangun pipa gas dari lapangan Arun, Aceh. Alih-alih terwujud, sebelum kapal FSRU tiba di Medan, pemerintah mengalihkan kebijakan dengan memindahkan FSRU ke Lampung. "Pupus harapan kami," katanya.
Janji manis kembali diembuskan, yakni pembangunan pipa gas dari Arun. Namun hal itu belum terealisasi karena terhambat pembebasan lahan. Safiun mengatakan pengusaha sudah tak tahan dengan ketidakpastian pasokan gas, sehingga terpaksa beralih ke energi lain meski tak ekonomis.
Situasi bertambah parah ketika aliran listrik di Sumatera Utara byar-pet. Selama beberapa tahun berlangsung pemadaman listrik bergiliran. Akibatnya, dari 12 pabrik, hanya 7 yang bertahan. "Yang enggak kuat tutup atau gulung tikar," ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Daud Husni Bastari mengatakan solusi untuk memaksimalkan penghiliran karet menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan adalah memperbaiki industri petrokimia, kepastian pasokan gas, dan infrastruktur. Tanpa tambahan pasokan karet sintetis, serapan karet alam sulit terdongkrak. "Karet alam akan banyak diekspor mentah," katanya.
Kendati banyak rintangan, Panggah Susanto menilai upaya penghiliran karet terus berjalan karena beberapa daya tarik. Misalnya pasar otomotif yang terus berkembang menambah gairah industri ban. "Ini magnitude-nya," ujarnya.
Panggah menilai pembangunan pabrik ban PT Hankook Tire Indonesia di Cikarang, Jawa Barat, pada September tahun lalu memberi harapan bakal meningkatnya serapan karet alam. Kapasitas pabrik asal Korea Selatan itu mencapai 5 juta ton per tahun.
Angin segar juga datang dari PT Petrokimia Butadiene, yang bekerja sama dengan pabrik ban Prancis, Michelin. Keduanya mendirikan PT Synthetic Rubber Indonesia untuk memproduksi karet sintetis 120 ribu ton mulai November tahun lalu.
Panggah mengatakan Indonesia tidak perlu mempersoalkan rendahnya serapan karena produksi karet alam sangat besar. Produk industri berbasis karet yang mayoritas diekspor memberi bukti kesiapan bersaing menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. "Meski tetap perlu waspada."
Akbar Tri Kurniawan, Galvan Yudistira
Luas dan Produksi Karet | ||
Tahun | Luas (juta hektare) | Produksi (juta ton) |
2008 | 3,42 | 2,75 |
2009 | 3,43 | 2,44 |
2010 | 3,44 | 2,73 |
2011 | 3,45 | 2,99 |
2012 | 3,48 | 3,01 |
2013 | 3,49 | 3,11 |
Perbandingan Produktivitas dan Produksi | ||
Negara | Produktivitas (ton per hektare) | Produksi (persen) |
Thailand | 1,7 | 33 |
Malaysia | 1,4 | 12 |
Indonesia | 0,6 | 30 |
Vietnam | 1,72 | 7 |
Serapan Karet Indonesia
1.Dalam negeri: 17 persen
Terdistribusi ke:
2. Ekspor 83 persen
Kapasitas dan Produksi Total Pabrik Ban (Juta Unit) | ||
Jenis | Kapasitas | Produksi |
Roda empat | 78 | 50 |
Roda dua | 55 | 47 |
Kapasitas sarung tangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo