Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merek Lucu Penghancur Produk Lokal

Produk lokal terlibas impor. Biaya logistik tak kunjung turun.

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Produk berkode ML alias merek luar memenuhi rak jualan di pusat belanja Kaisar di tengah Kota Pontianak. Aneka penganan, kosmetik, hingga busana impor dijual di sini. Semua produk itu made in Malaysia. "Harganya memang cukup tinggi, tapi pasarnya ada," kata Kepala Supervisor Kaisar, Novem Rino, akhir Maret lalu.

Kaisar memperoleh dagangan tersebut dari para tenaga penjual di Pontianak. Susu merek Dumex Dugro adalah salah satu produk yang paling laris. Susu dari Singapura ini diproduksi di Malaysia. Para ibu di Kalimantan Barat meyakini kualitas produk susu ini lebih baik ketimbang produk lokal.

Tak semua produk impor diperbolehkan beredar di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia itu. "Dulu ada produk Milo keluaran Malaysia, rasanya lebih gurih. Tapi ternyata masuk kategori barang yang tidak boleh diimpor karena ada pabriknya di Indonesia," ucapnya. Meski jualan utamanya barang impor, kata Novem, Kaisar juga menjual produk lokal. "Seperti sayur, telur, beras, mi olahan, dan produk hasil usaha kecil dan menengah di Kalimantan Barat."

Bukan hanya barang impor legal yang beredar. Utin Yani, 47 tahun, warga Jalan Dokter Wahidin, mengaku kerap membeli "barang kapal" berupa peralatan elektronik. Istilah barang kapal digunakan untuk barang selundupan. "Mereknya tidak ternama, kadang lucu, tapi kualitasnya bagus," kata Yani. Ia pernah mendapatkan kulkas dua pintu seharga Rp 1,5 juta. "Dulu pernah ingin bisnis ini, cuma lama-lama barangnya susah masuk. Banyak pengamanan."

Beberapa produk impor yang dilarang juga rembes ke toko-toko kelontong. Tentu saja dijual secara sembunyi-sembunyi. Milo produksi Malaysia, misalnya, masih bisa didapat di toko-toko kecil seharga Rp 84 ribu. Demikian pula aneka snack murah.

Gula selundupan juga beredar di pasar. Gula itu semula dijual Rp 9.000-10.000 ribu per kilogram. Ketua Apegti Kalimantan Barat Syarif Usman Almuthahar mengatakan produk impor memukul gula lokal yang didistribusikan Apegti. Untung para "importir" yang menyalahgunakan kartu identitas lintas batas (KILB) itu kini semakin besar karena gula dijual Rp 13 ribu, setara dengan gula lokal.

Kepala Kamar Dagang dan Industri Indonesia Kalimantan Barat Santioso Tyo mengatakan salah satu penyebab produk lokal sulit bersaing adalah tingginya biaya logistik. "Ongkos angkut dengan kontainer dari Jakarta ke Pontianak lebih mahal ketimbang dari Jakarta ke Amsterdam," katanya.

Di Cina, menurut Santioso, yang harga solarnya lebih mahal daripada Indonesia, ongkos angkut per ton per kilometer antarprovinsi jauh lebih murah ketimbang ongkos Surabaya-Jakarta. "Karena jalan dan kualitas jalannya bagus, sehingga bisa dilalui kendaraan angkut yang besar," katanya. Di Kalimantan Barat, pembeli solar mesti antre berjam-jam. Jumlahnya pun terbatas. Akibatnya, distribusi barang menjadi lama, harga jadi mahal. Dia mengharapkan pemerintah provinsi mempunyai skala prioritas dalam perbaikan infrastruktur.

Tingginya biaya logistik ini merata di seluruh penjuru Tanah Air. Produsen lokal harus putar otak dalam mengedarkan produknya. Supervisor Fruit Market di Makassar, Pur Sulistyono, membenarkan soal tingginya biaya pengiriman. "Ada banyak 'pajak'. Ada pos polisi, bayar lagi, tilang lagi," katanya.

Khawatir kalah bersaing, beberapa produsen lokal meminta proteksi pemerintah. "Seperti Brasil dengan brand-nya Portivo. Portivo diproteksi oleh negaranya sendiri, sehingga penjualannya bisa nomor satu di Brasil," kata Maksi Totok Kurniawan, Ketua Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) Sulawesi Selatan.

Berbeda dengan para pengusaha lokal, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi tak melihat bakal ada serbuan impor yang signifikan saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diterapkan tahun depan. "Kalau kita bicara tentang tarif, 99,6 persen tarif di ASEAN ini sudah nol. Jadi, kalau tahun 2015, ada apa? Tidak ada apa-apa," ujarnya.

Ia bahkan yakin produk lokal Indonesia berpeluang besar menyerbu pasar ASEAN. Di ASEAN, kata dia, Indonesia unggul dalam makanan, produk pertanian dan perkebunan, kehutanan, serta perikanan. "Produk makanannya yang makan separuh rakyat Indonesia.

Pertanian, menurut studi, yang bisa mengembangkan di masa mendatang hanya dua: "Indonesia dan Myanmar," katanya. Meski begitu, Lutfi menyadari Indonesia punya pekerjaan rumah untuk menjaga lahan pangan tak beralih jadi lahan industri. Indonesia, Lutfi melanjutkan, juga punya 140 juta hektare hutan dan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi.

Lutfi juga optimistis melihat sektor industri Indonesia. Menurut dia, Indonesia berpotensi menjadi basis industri berbagai produk. "Bukan karena upah buruh yang murah, melainkan pertumbuhan kelas menengah." Ia percaya pertumbuhan kelas menengah akan mendorong investasi.

Pertumbuhan investasi diyakininya akan memperbaiki struktur produksi hingga mengefisienkan sektor logistik, misalnya terkait dengan jasa pengiriman barang melalui kapal. "Apakah industri pelayaran dalam negeri dipacu sekuat mungkin atau kita harus melihat industri pelayaran asing untuk masuk ke Indonesia."

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengatakan pemerintah masih terus berfokus membangun konektivitas domestik. Ia berharap hal itu akan bisa menurunkan biaya logistik. "Konektivitas ASEAN belum jadi prioritas. Kalau itu diurus, di dalam belum siap, bagaimana?" ujarnya.

Itu pula sebabnya, Indonesia menolak pembangunan jembatan yang menghubungkan Malaysia dan Indonesia. Indonesia juga tak membuka semua pelabuhan untuk kapal internasional. "Lima pelabuhan besar yang dibuka. Pelabuhan lain seperti Balikpapan, Bitung, bisa juga melayani, tapi terbatas. Ketersediaan infrastrukur untuk kapal besar, ya, di pelabuhan besar," ucapnya. Jika biaya logistik bisa ditekan, produsen lokal tak perlu berteriak minta proteksi.

Martha Thertina, Aseanty Pahlevi, Hasdinar Burhan


Biaya logistik Indonesia tertinggi di antara negara ASEAN (terhadap PDB)

Indonesia
27%

Vietnam
25%

Thailand
20%

Malaysia
13%

Singapura
8%

Sumber: ITB Research Center for Logistic & Supply Chain

Perbandingan Ekspor-Impor Nonmigas Indonesia dengan Negara ASEAN (2013, US$ Miliar)

EksporkeImpor dariSurplus/Defisit
Singapura10,410,20,2
Malaysia7,35,91,4
Thailand5,210,6-5,4
Filipina3,80,83,0
Vietnam2,42,7-0,3
Myanmar0,60,170,5
Brunei Darussalam0,100,1
Kamboja0,300,3

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus