Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOFYAN Basir tergopoh-gopoh kembali ke rumahnya di Jalan Bendungan Jatiluhur Nomor 3, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Ahad pekan lalu. Di sana, sepuluh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi telah menanti kedatangan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setengah jam sebelumnya, para penyidik KPK itu datang ke rumah Sofyan dengan tiga mobil Toyota Innova untuk melakukan penggeledahan. Dari petugas keamanan, mereka mendapat informasi bahwa Sofyan bersama istrinya, Vera, tengah berada di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, menghadiri resepsi pernikahan anak koleganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menunggu di halaman rumah, seorang penyidik lantas menelepon Sof¡©yan. Mengetahui keberadaan penyidik KPK di rumahnya, Sofyan dan istrinya bergegas pulang. Setelah sang tuan rumah pulang dan ditunjuki surat penggeledahan, tim penyidik langsung menyisir seluruh rumah lantai dua itu.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan penyidik menggeledah rumah Sofyan karena mendapat informasi mengenai keberadaan fakta kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 di sana. ¡±Kebijakan (penggeledahan) itu diambil penyidik untuk memperjelasnya,¡± ujar Saut, Kamis pekan lalu.
Seorang penegak hukum yang mengetahui penggeledahan itu mengatakan tim KPK memeriksa semua ruangan di rumah Sofyan, termasuk kamar pribadinya di lantai satu. Penyidik memeriksa kamar kerja hingga kamar mandi. "Semua pojok ruangan kami periksa," katanya.
Sumber ini menyebutkan, saat penggeledahan berlangsung, Sofyan terlihat gelisah. Pria kelahiran 1958 ini mondar-mandir dari lantai satu ke lantai dua rumahnya melihat proses penggeledahan. Apalagi penyidik KPK sempat menemukan tumpukan uang rupiah yang tersimpan di lemari kamarnya. Penyidik tidak menyita uang tersebut. "Kami tidak menemukan ada kaitan antara uang itu dan kasus yang sedang diusut," ujar penegak hukum ini.
Dari penggeledahan itu, penyidik menemukan banyak bundelan dokumen, yang kemudian dikumpulkan dalam empat kardus dan tiga koper. Dokumen itu antara lain proposal permohonan konsorsium swasta menggarap PLTU Riau-1 dan dokumen persetujuan menyangkut proyek tersebut. KPK juga menyita kamera pengintai atau closed-circuit television (CCTV).
Seorang sumber yang mengetahui penggeledahan itu mengatakan CCTV tersebut disita karena penyidik memperoleh informasi tentang adanya jejak pertemuan Sofyan dengan Johanes Budisutrisno Kotjo, pemilik BlackGold Asia Resources Pte Ltd, dan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih. Sehari sebelumnya, KPK menetapkan keduanya sebagai tersangka suap proyek PLTU Riau-1.
Esok harinya setelah penggeledahan di rumah bekas Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia itu, penyidik menggeledah ruang kerja Sofyan dan direksi perusahaan pelat merah itu di kantor pusat PLN.
Sofyan mengatakan dokumen yang diambil penyidik KPK dari rumahnya berupa proposal pembangkit listrik, laporan keuangan, serta dokumen proyek PLTU Riau-1. Menurut Sofyan, dokumen-dokumen itu seharusnya dia simpan di kantor. Dokumen itu dibawa ke rumah karena ia belum tuntas membacanya ketika berada di kantor. "Dokumen itu bisa dibuka ke publik, bukan dokumen rahasia," ujarnya.
Ditanyai soal pertemuannya dengan Johanes dan Eni, Sofyan mengatakan keduanya datang ketika ia tengah menggelar acara santunan anak yatim. Sofyan tidak menyebutkan kapan pertemuan itu terjadi. "Saat itu sedang acara santunan anak yatim. Mereka sudah ada di rumah," ujarnya. Ketika ditanyai apakah pertemuan itu membahas PLTU Riau-1, ia menjawab, "Yang bilang siapa? Tanya ke mereka."
PENGGELEDAHAN di rumah dan kantor Sofyan itu buntut dari operasi tangkap tangan KPK dua hari sebelumnya. Tim komisi antikorupsi menangkap 13 orang di beberapa lokasi dalam kasus suap PLTU Riau-1. Tim pertama kali menangkap Tahta Maharaya di parkiran Graha BIP, Jalan Gatot Subroto Kaveling 23, Semanggi, Jakarta Selatan.
Penyidik mencokok anggota staf sekaligus keponakan Eni Saragih, Wakil Ketua Komisi Energi DPR dari Partai Golkar, itu karena ia baru saja menerima duit suap Rp 500 juta dari Audrey Ratna Junianty, sekretaris Johanes. Duit yang terdiri atas pecahan Rp 100 ribu itu disimpan di dalam amplop cokelat dan dibungkus plastik hitam.
Setelah menangkap mereka, tim bergegas naik ke lantai 8 Graha BIP untuk menangkap Audrey dan Johanes di ruang kerja mereka. Di gedung itu, Johanes mengendalikan perusahaan tekstilnya, PT Apac Citra Centertex. PT Samantaka Batubara, anak usaha BlackGold, juga berkantor di sana. Perusahaan inilah yang akan memasok batu bara untuk PLTU Riau-1, yang ditargetkan beroperasi pada 2023.
Sebelum penangkapan, penyidik memantau rencana pemberian suap dari Johanes kepada Eni Saragih melalui Tahta dan Audrey. Hampir dua jam, penyidik belum mengetahui keberadaan Eni, yang menjadi target buruan berikutnya. Menjelang sore, tim KPK mendapat informasi bahwa Eni tengah berada di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan. Saat itu, Idrus tengah menggelar acara ulang tahun pertama anak bontotnya.
Tujuh penyidik langsung menuju rumah Idrus mengendarai dua mobil Toyota Innova. Karena rumah itu tengah ramai oleh acara ulang tahun, penyidik mengendap-endap mencari keberadaan Eni. Beberapa politikus partai beringin juga tengah berada di sana, seperti Bendahara Umum Golkar Robert Joppy Kardinal dan Wakil Sekretaris Jenderal Maman Abdurrahman. Ketika dimintai konfirmasi soal ini, Maman tidak membantah saat itu berada di rumah Idrus. "Tanya saja ke penyidik KPK," ujarnya.
Seseorang yang mengetahui penangkapan ini mengatakan Eni sempat mengelak saat akan ditangkap penyidik. Ia lantas meminta perlindungan kepada Idrus. Saat itu, Idrus mengajak Eni ke ruang kerjanya, diikuti empat penyidik KPK. Mereka berdiskusi beberapa menit sampai akhirnya Eni bersedia dibawa ke kantor KPK. "Saya bilang, 'Anda harus ikut untuk menghargai KPK'," kata Idrus membenarkan cerita itu.
Dari belasan orang yang ditangkap, KPK hanya menetapkan Eni dan Johanes sebagai tersangka. Eni dituduh menerima suap dan Johanes sebagai penyuap. KPK melepaskan Tahta dan Audrey karena keduanya hanya bertugas mengantarkan dan menerima uang tanpa mengetahui maksud pemberian tersebut. KPK juga melepaskan anggota staf dan sopir Eni serta beberapa pegawai Johanes.
Dari gelar perkara sebelum penetapan tersangka di lantai 15 yang dihadiri empat pemimpin KPK, minus Saut Situmorang yang tengah berdinas di luar kota, penyidik mengungkapkan informasi bahwa Eni sudah empat kali menerima duit dari Johanes sejak Desember tahun lalu. Nilainya mencapai Rp 4,8 miliar. "Pemberian uang ini terkait dengan proyek PLTU Riau-1," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Suap itu diduga untuk memuluskan jalan BlackGold menjadi konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-1. Sebelumnya, perusahaan yang terdaftar di bursa Singapura ini sudah menggandeng China Huadian Engineering sebagai bagian konsorsium untuk menjadi mitra PLN membangun dan mengoperasikan proyek PLTU senilai US$ 900 juta atau sekitar Rp 12,78 triliun tersebut.
Tim KPK yang memantau kasus ini sejak Juni lalu memperoleh informasi bahwa duit yang diterima Eni sebagian diduga digunakan untuk membiayai kebutuhan suaminya, Muhammad Al-Khafidz, yang ketika itu tengah berlaga dalam pemilihan Bupati Temanggung, Jawa Tengah. KPK juga menangkap suami Eni itu saat operasi tangkap tangan digelar. Karena belum ada cukup bukti, KPK kemudian melepaskan Al-Khafidz.
Saat keluar dari gedung KPK setelah dilepas KPK, Al-Khafidz menutup rapat mulutnya ketika ditanyai wartawan soal kasus itu. Pengacara Eni, Robinson, mengaku tidak mengetahui penggunaan duit oleh kliennya, termasuk untuk biaya pemilihan kepala daerah suami Eni. "Klien saya tidak menceritakan soal itu," ucapnya. Basaria mengatakan lembaganya tetap menelusuri kemungkinan duit suap itu untuk pemilihan Bupati Temanggung. "Masih kami telusuri," katanya.
Saat gelar perkara, kepada empat pemimpin KPK, penyidik juga mengungkapkan, duit Rp 4,8 miliar untuk Eni itu bagian dari fee 2,5 persen atau sekitar Rp 300 miliar buat memuluskan konsorsium swasta agar dipilih sebagai mitra usaha anak PLN menggarap PLTU Riau-1. Untuk proyek berkapasitas 2 x 300 megawatt ini, PLN menugasi PT Pembangkitan Jawa-Bali dan PT PLN Batubara. Duit commitment fee ini dikelola Johanes dan diduga dibagi-bagikan tidak hanya untuk Eni. "Commitment fee itu terkait dengan kesepakatan kerja sama pembangunan PLTU Riau-1," ujar Basaria.
Informasi lain yang muncul dalam gelar perkara, menurut salah satu peserta rapat itu, adalah temuan adanya komunikasi Sofyan dengan Johanes dan Eni membahas proyek ini. Bukan hanya itu, penyidik juga mengungkapkan, keduanya pernah mendatangi rumah Sofyan membicarakan proyek PLTU Riau-1. Karena adanya temuan ini, tim penyidik langsung meminta persetujuan untuk menggeledah rumah Sofyan dua hari kemudian. "Belum jelas betul waktunya. Tapi pertemuannya lebih dari sekali," kata seorang petinggi KPK.
Pada Jumat pekan lalu, Sofyan memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik KPK. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyebutkan, saat memeriksa bekas Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia itu, penyidik mendalami pertemuannya dengan Johanes dan Eni. Penyidik juga mendalami peran Sofyan dalam skema kerja sama proyek PLTU Riau-1. "Sofyan sebagai Direktur Utama PLN tentu memiliki peran," katanya.
RENCANA pembangunan PLTU Riau-1 muncul setelah Komisi Energi DPR menggelar rapat dengan perwakilan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Menurut risalah rapat pada 24 Januari 2016 yang dihadiri 31 anggota Dewan itu, Komisi Energi meminta pemerintah melalui PLN memprioritaskan pembangunan pembangkit mulut tambang yang berlokasi tak jauh dari area tambang agar biaya logistik dan listriknya murah. Dewan dan pemerintah sudah membahas rencana proyek PLTU tambang sejak Oktober 2015.
Setelah rapat tersebut, PLN memasukkan PLTU Riau-1 ke daftar PLTU mulut tambang di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025. Ketika itu, target operasi komersialnya pada 2019. Belakangan, PLN merevisi target itu menjadi 2023. Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3 Tahun 2015 tentang penunjukan langsung pelaksana proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu megawatt periode 2015-2019. "Tapi proyek itu (PLTU-1) ketika itu belum ada," ujar Sudirman Said, Menteri Energi 2014-2016.
Seorang penegak hukum menyebutkan, sejak 2015, BlackGold diduga sudah mengetahui rencana pembangunan PLTU Riau-1. Informasinya, kata dia, diduga berasal dari Eni, yang merupakan Wakil Ketua Komisi Energi DPR. Pada akhir Desember 2015, jauh sebelum proyek itu masuk RUPTL, BlackGold sudah menggandeng China Huadian Engineering Co Ltd untuk menggarap proyek tersebut.
Tiga orang politikus Golkar menceritakan, Eni mengenal Johanes pada 2016 melalui Setya Novanto, yang saat itu menjabat Ketua DPR. Pertemanan Setya dengan Johanes memang sudah lama. Keduanya berkongsi dalam proyek pembuatan surat izin mengemudi dari Markas Besar Kepolisian RI pada 1992. Pengacara Setya, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya tak pernah bercerita soal kedekatan dengan Johanes.
Seorang petinggi KPK menguatkan cerita ini. Menurut dia, Setya lantas meminta Idrus mengawal proyek ini dan melakukan pendekatan dengan PLN. Gerak-gerik Idrus ini, kata dia, masuk radar KPK sejak tim memantau rencana penyuapan proyek PLTU Riau-1, Juni lalu. Dalam gelar perkara penetapan tersangka, kata dia, ada informasi bahwa Idrus pernah bertemu dengan Eni, Johanes, dan Sofyan membahas proyek itu. Salah satunya di rumah Sofyan. "Ada juga komunikasi empat orang itu," ujarnya.
Celah hukum yang mereka gunakan untuk masuk proyek ini adalah Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Ketentuan ini mengatur penunjukan langsung perusahaan penggarap proyek dengan komposisi saham 51 persen untuk anak usaha PLN dan sisanya swasta. "Anak usaha inilah yang mengajukan mitra ke direktur utama," kata petinggi KPK itu. "Tanpa Sofyan, proyek tidak akan ada."
PT Pembangkitan Jawa-Bali melalui anak usahanya yang bergerak di bidang investasi melakukan komunikasi dengan konsorsium BlackGold pada Juli-Agustus 2017. PLN memang baru mematangkan pembangunan proyek ini pada 2017. Pada periode inilah, kata sumber itu, lobi-lobi memuluskan konsorsium BlackGold dilakukan. Pada September 2017, konsorsium ini meneken perjanjian dengan PLN untuk menggarap PLTU Riau-1.
KPK sudah memeriksa Idrus pada Kamis pekan lalu selama sebelas jam. "Saksi diperiksa untuk mengklarifikasi pertemuan bersama EMS (Eni) yang diketahui atau dihadiri langsung," ujar Febri Diansyah, juru bicara KPK.
Saat diperiksa, Idrus mengaku mengenal Eni dan Johanes seperti saudara. Ia tak membantah ditanyai penyidik seputar rekaman kamera pengintai di rumah Sofyan yang disita KPK. Tapi bekas Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini tidak mau berkomentar soal ia pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Johanes, Eni, dan Sofyan membahas PLTU Riau-1. "Itu sudah materi. Tidak etis saya sampaikan," katanya.
Pengacara Eni, Robinson, menuturkan, kliennya belum pernah menceritakan informasi tersebut kepadanya. Ia mengatakan Eni baru sekali diperiksa penyidik sebagai tersangka dengan 15 pertanyaan. "Belum masuk ke materi perkara," ujar Robinson.
Executive Chairman and Chief Executive Officer BlackGold Philip Cecil Rickard, dalam rilis tertulis, menyatakan perusahaannya tidak bersangkut-paut dengan kasus penyuapan yang menjerat Johanes. Menurut dia, Johanes adalah konsultan perusahaan. Tapi, "Dia sudah berhenti sejak Juni 2018," katanya.
Sofyan tidak membantah pernah bertemu dengan Johanes dan Eni di rumahnya. Tapi ia tidak berkomentar jauh saat ditanyai soal pertemuan yang melibatkan Idrus. "Saya mau diwawancarai kalau semua sudah tenang" ujarnya.
Sekretaris Perusahaan PT Pembangkitan Jawa-Bali Muhammad Bardan mengatakan pemilihan konsorsium BlackGold dan anak usahanya, Samantaka, sebagai mitra proyek PLTU Riau-1 sudah sesuai dengan aturan. "Pemilihan Samantaka sesuai dengan hasildue diligence," ujarnya. Kamis pekan lalu, KPK memeriksa Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa-Bali Gunawan Y. Hariyanto selama tujuh jam. "Semua sudah saya sampaikan ke penyidik," katanya.
Rusman Paraqbueq, Anton Aprianto, Linda Trianita, Indri Maulidar, Syafiul Hadi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo