Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARENA Fan Fest Piala Dunia 2018 berkapasitas 25 ribu orang di halaman Moscow State University, Rusia, sudah sesak menjelang pertandingan dimulai. Nyaris tak bisa mencari tempat bergerak di tengah lautan manusia yang menatap nanar layar raksasa di hadapan mereka. Sorak-sorai menyebut nama Kroasia bersahutan di udara ketika wasit meniup peluit tanda dimulainya laga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesebelasan Kroasia menghadapi Prancis dalam laga final Piala Dunia, 15 Juli lalu, itu. Sebagian besar penonton yang hadir di Fan Fest adalah suporter Rusia. "Maju, Kroasia!" Teriakan para fan Rusia itu menenggelamkan suara suporter Prancis yang terjepit di tengah kerumunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keriuhan dukungan warga Rusia kepada tim Kroasia ini seperti anomali. Kroasia adalah tim yang menghentikan Rusia pada babak perempat final setelah menang 4-3 lewat adu penalti. Ketegangan antarsuporter meruncing gara-gara video perayaan kemenangan yang diunggah bek Domagoj Vida dan anggota staf pelatih Kroasia, Ognjen Vukojevic.
Dalam video itu, Vida dan Vukojevic mengucapkan kata-kata dukungan kepada Ukraina yang menyinggung warga Rusia. Hubungan Rusia dengan Ukraina renggang akibat konflik di kawasan Crimea yang berlangsung sejak 2014.
Ketegangan mereda setelah Vida dan Vukojevic meminta maaf empat hari sebelum laga final. Suporter Rusia pun luluh. Menurut Yekaterina Yusupova, warga Moskow, banyak suporter Rusia memberikan dukungan bagi Kroasia. "Banyak yang ingin melihat ada juara baru, apalagi tim dari negara kecil itu," katanya kepada Tempo.
Sayangnya, harapan suporter Kroasia pupus ketika Prancis menggilas tim favorit mereka 4-2. Meski demikian, Kroasia dianggap sebagai tim yang sukses di Piala Dunia ini. Dengan populasi tak sampai 5 juta jiwa, Kroasia adalah negara terkecil yang sukses tampil di final setelah Uruguay pada 1950.
Latar belakang Kroasia dan tim sepak bolanya juga mencengangkan. Usia para pemain tim nasional itu lebih tua daripada negara itu. Sebelum 1991, tak ada nama Kroasia di peta dunia. Kroasia adalah bagian dari Yugoslavia. Enam bulan menjelang keruntuhan Uni Soviet, Kroasia menyatakan merdeka dari Yugoslavia. Tapi keputusan itu berdampak tragis.
Pada 1991-1995, terjadi perang antara pendukung kemerdekaan Kroasia dan tentara Serbia yang didukung Yugoslavia. Selama perang, diperkirakan 13-15 ribu orang tewas dan lebih dari 220 ribu warga Kroasia terpaksa mengungsi.
Mayoritas anggota tim nasional Kroasia tumbuh pada masa perang. Luka Modric, kapten tim, bahkan baru berusia enam tahun ketika keluarganya mengungsi. Perang menewaskan kakeknya dan menghancurkan rumahnya di Modrici.
Rekan setimnya, seperti Ivan Rakitic, Mario Mandzukic, dan Dejan Lovren, juga pergi mengungsi. Keluarga Rakitic lebih dulu mengungsi ke Swiss sebelum perang pecah. Rakitic mengaku beruntung bisa tumbuh di lingkungan normal, jauh dari perang.
Menurut dia, keluarganya kembali ke Kroasia saat usianya tujuh tahun atau seusai perang pada 1995. "Itu pertama kalinya kami pulang, hanya untuk menengok kakek dan nenek," ujar pemain Barcelona itu seperti ditulis Players' Tribune.
Adapun Modric dan keluarganya terpaksa tinggal di hotel yang diubah menjadi tempat pengungsian di Zadar, kota di pesisir barat Kroasia. Kota ini juga tak sepenuhnya aman karena kerap dihujani serangan mortar dan tembakan.
Sepak bola menyelamatkan Modric, 32 tahun, dari pahitnya dampak traumatis perang. Dia bergabung dengan klub lokal NK Zadar setelah seorang pegawai hotel menelepon pelatih klub itu. Kariernya terbentuk di Zadar. Bagi dia, perang adalah periode tersulit dalam hidup. "Aku bisa mengingatnya dengan jelas, tapi aku tak mau terus memikirkannya."
Alih-alih hidup damai setelah perang selesai, warga Kroasia justru didera konflik Balkan, yang melibatkan Serbia dan Bosnia. Perang yang juga diikuti aksi genosida terhadap warga Bosnia itu menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa.
Perang mengubah warga Kroasia lain. "Aku sudah banyak melihat hal buruk dalam hidupku," tutur Modric. "Yang terpenting adalah jangan menyerah."
Kegigihan itu yang mereka bawa dalam Piala Dunia. Apalagi sepak bola telah menjadi bagian dari identitas nasional mereka. Sejak merdeka, Kroasia tak pernah absen dalam Piala Dunia. "Kami ingin membuktikan bahwa Kroasia juga bisa sukses," kata Modric.
Pertama kali ikut Piala Dunia pada 1998 di Prancis, Kroasia mengejutkan dunia karena berhasil merebut peringkat ketiga. Modric sendiri sudah tiga kali tampil dalam Piala Dunia. Karier profesionalnya meroket dan menjadi salah satu pemain tersukses di dunia. Modric adalah bagian dari tim Real Madrid yang meraup empat trofi Liga Champions Eropa, tiga di antaranya beruntun sejak 2015.
Gabriel Wahyu Titiyoga (Moskow)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo