BENCANA nuklir Chernobyl melanda Semarang. Yang terkena radiasi - seperti yang pernah diduga seorang ahli burung-burung eks impor yang memenuhi pasar burung Karimata. "Beberapa penggemar burung datang ke sini. Pilih-pilih, kemudian batal membeli. Katanya sudah kena radiasi," kata Dul Rochim, penjual burung. Menanggapi kabar burung itu, "Saya juga cemas. Lha, kabar itu cepat sekali meluas," kata Suwarno. Suwarno sendiri berkali-kali memelototi burung-burungnya: kok tak melihat perubahan apa-apa. Toh, dibanding rugi, harga burung dibanting. Gelatik putih dari Belanda dijual Rp 15.000. Padahal, harga sebelum Chernobyl bisa Rp 30.000. Kenari dari Inggris, yang biasanya laku Rp 50.000, dihargakan Rp 35.000. Pembeli tetap saja sepi. Masya Allah. Kira-kira seminggu kemudian, 12 Mei, datanglah lelaki bertubuh tinggi, perlente, mengendarai sedan Charade. Ia melihat-lihat burung eks impor. "Wah, betul. Betul, betul. Kena radiasi nuklir. Padahal, saya berminat. Sungguh," kata si perlente. Pedagang Pasar Karimata pun mengerumuninya. Lalu, dengan alasan membantu pedagang kecil, lelaki bermobil itu membeli juga sejumlah burung - 20 ekor. Tentu saja, dengan harga Chernobyl. Tiga hari setelah peristiwa itu, eh, muncul tulisan di koran Jakarta. Radiasi Chernobyl tak akan dibawa burung-burung Rusia yang suka beremigrasi ke selatan, kata seorang ahli. Dul Rochim pun berkomentar, "Betul. Burung yang masih di sini tetap saja berkicau. Kalau kena radiasi, 'kan mati?" Tiba-tiba ia merasa tertipu - rugi Rp 60.000 setelah menjual lima burung kepada si perlente itu. Suwarno juga mengaku rugi, puluhan ribu. Juga para pedagang lain. Si perlente itu pun tak muncul lagi. Nah, siapakah orang-orang yang datang melihat-lihat burung, kemudian menyatakan hewan-hewan itu terkena radiasi, beberapa hari sebelum kedatangan si sedan Charade?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini