Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Perginya sang peneliti

Sejarahwan slametmulyana meninggal. ia dikenal sebagai peneliti sejarah majapahit yang banyak menghasilkan karya kontroversial, disamping pengamat bahasa indonesia. penelitian majapahit belum final. (ilt)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Perginya sang peneliti
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TAK ada lagi Prof. Dr. Slametmulyana. Peneliti sejarah Majapahit yang gigih itu - belum ada bandingannya sesudah Almarhum Prof. R.M. Ng. Poerbatjaraka dan Almarhum Prof. H. Muhammad Yamin wafat Senin dua pekan lalu. Ia pergi meninggalkan seorang istri, tujuh anak, enam cucu, serta sedikitnya sembilan buku - sebuah di antaranya dilarang beredar oleh pemerintah. Ia memang ilmuwan yang unik. Bekas Dekan Fakultas Sastra UI (1966-1969) ini bergelar doktor untuk bidang Bahasa dan Sastra Timur dengan disertasi Poezie in Indonesie, yang diraihnya dari Universitas Katolik Leuven Belgia, 1954. "Ia dikirim ke universitas itu oleh Profesor Prijono, Menteri P & K waktu itu. Yang mengejutkan, disertasinya diselesaikan hanya dalam waktu setahun," kata Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Seperti disertasinya itu, pada mulanya Slametmulyana memang lebih banyak menulis ihwal bahasa Indonesia. Dalam kurun 1954-1965, ia menghasilkan berbagai karya seperti Kaidah Bahasa Indonesia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Politik Bahasa Indonesia serta Semantik Indonesia "Ia memang terdidik dalam bidang bahasa, khususnya filologi dan sastra," ujar Sartono. Di masa muda Slametmulyana belajar di Seminari Yogya, "seperti gymnasium dalam pendidikan klasik, sehingga ia betul-betul menguasai bahasa dan sastra kuno," tambah Sartono. Slametmulyana muda juga gemar menulis sajak. Kemudian, meski menyebut diri lebih sebagai filolog, kenyataannya ia lebih dikenal sebagai seorang peneliti sejarah Majapahit. Ia fasih sekali menyebut nama raja-raja Jawa zaman Majapahit dan sebelumnya lengkap dengan tahun pemerintahannya. "Sejak kecil saya mengagumi Majapahit," katanya pada TEMPO enam tahun silam. "Bukan sebagai suatu negara besar, tapi sebagai salah satu negara nasional yang mempersatukan Indonesia." Dalam hal sejarah Majapahit inilah ia menghasilkan karya-karya yang mengagetkan, dan kontroversial. Dalam buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), misalnya, ia berupaya merobohkan pendapat beberapa sarjana, terutama Prof. C.C. Berg. Tak percaya pada karya sastra Jawa kuno sebagai sumber sejarah, Berg berpendapat bahwa penaklukan Kediri oleh Ken Arok seperti dipaparkan dalam Nagarakretagama hanyalah dongeng belaka. Tapi Slametmulyana menggugurkan teori Berg itu, melalui prasasti Mula-Malurung yang ditemukan di daerah sekitar Kediri pada 1975. Kini, prasasti itu disimpan di Museum Pusat Jakarta. Dalam buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya itu pula Slametmulyana kembali mempercayai Tuanku Rao karangan Ir. M.O. Parlindungan, dengan melampirkan silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit. Disebutkan bahwa adalah Nyoo Lay Wa yang memerintah Majapahit pada 1478-1486. Bahwa seorang etnis Cina pernah berkuasa di Majapahit, "Ini kemudian menjadi isu besar, padahal dasar teorinya lemah," kata Sartono. Slametmulyana sendiri semasa hidup mengatakar bahwa ia tidak mengutip buku Tuanku Rao itu, tetapi ia sendiri pernah berhubungan langsung dengan sang pengarang. Parlindungan menunjukkan silsilah raja-raja Majapahit itu yang, katanya, diperoleh dari seorang Belanda bernama Poortman. Poortman sendiri mendapatkannya dari Kelenten Sam Po Kon di Semarang. Jauh hari sebelum buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya terbit, Slametmulyana telah melansir ihwal naskah-naskah Sam Po Kong itu lewat buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam. Diterbitkan oleh Bhratara, Jakarta, 1968, buku ini kemudian dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung. Sebab, ia dinilai memutarbalikkan fakta sejarah, karena menganggap Wali Sanga adalah orang-orang keturunan Cina. Nia Kurnia Sholihat, sejarawati lulusan IKIP Bandung, yang telah beberapa kali meresensi dengan kritis buku Slametmulyana, menyebut naskah kelenteng itu fiktif. "Pak Slamet kadang-kadang tidak selektif menggunakan sumber-sumber sejarah," kata Nia. Kritik lain, Slametmulyana jarang mencantumkan catatan kaki dalam karya-karyanya. Akibatnya, sulit bagi pembaca untuk mengecek dan meneliti langsung buku sumber yang dipergunakan. Namun, bagi Nia, Slametmulyana adalah seorang peneliti sejarah kuno yang tekun. "Penelitiannya tak terbatas pada aspek politik dan kenegaraan saja, melainkan juga mencakup penelitian tentang sosial budaya aman Majapahit," katanya. Lahir di Pakem, Yogya, 20 Maret 1921, Slametmulyana tak pernah nenyebut dirinya sebagai sejarawan. "Saya bukan sejarawan, karena saya tidak belajar khusus ilmu sejarah," katanya suatu ketika. Ia tertarik pada sejarah, sebagai kebetulan saja. "Buat saya sejarah itu teladan: ibu yang mengajarkan ilmu," ujarnya. Gemar sepak bola di masa muda, dan bilyar di kala tua Raden Benecditus Slametmulyana berpedoman "tidak mau membohongi orang, apalagi korupsi." Ia mengaku, secara ekonomis buku-bukunya tak ada artinya. Karena itulah, setelah tak lagi menjadi Dekan FS UI, ia lalu mengajar di Universitas Nan Yang, Singapura, 1966-1977. Slametmulyana pertama kali menulis tentang Majapahit pada 1952. Yakni sebuah artikel berjudul "Adakah Prapantja sungguh pudjangga keraton?" Ihwal Prapanca ini juga diungkapkannya kembali dalam bukunya Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. "Penyelidikan lebih laniut ternyata menyatakan nama sebenarnya bukan Kanakamuni," ujar Slametmulyana. Kanakamuni adalah nama ayah Prapanca. Nama yang benar ialah Nadendra. "Ia memang penulis yang produktif," kata Sartono Kartodirdjo. Lepas dari kontroversi mutu akademis karya-karyanya, "Ia bisa dijadikan model tentang produktivitas berkarya," tambah guru besar sejarah UGM itu. Prof. Dr. Slametmulyana dimakamkan ai Tanah Kusir, Jakarta. Tapi, "Penelitian Majapahit belumlah final. Masih banyak mitos dan asumsi palsu yang menyelimutinya," kata Nia Kurnia. Dan itu tentulah tantangan bagi peneliti muda yang ditinggalkan Slametmulyana. Saur Hutabarat Laporan Syahril Chili (Yogya) & Ida Farida (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus