SEORANG penjual rokok di Madura memberikan bingkisan kepada seorang tentara di bulan Ramadan barusan, seperti hadiah berbuka puasa saja. Ini berbuntut panjang. Yang menerima bingkisan aneh itu anak Kopral Marto, anggota Koramil Sumenep, yang sebenarnya tetangga rumahnya. "Cung, . . . kasihkan ayahmu," kata Sanawi, si penjual rokok. Kopral Marto marah besar. Ia mendatangi Sanawi di Pasar Manding, dan langsung menodongkan pistol. "Kamu main sihir, ya? Ayo, sihirlah pistol ini," bentak Marto, tentu saja setelah ditirukan Sanawi. Pengunjung pasar, yang tahu adegan itu, langsung terbirit-birit. Syukurlah, tak ada bunyi dor. Tapi Sanawi dibawa ke kantor Koramil. Diusut: benarkah ia menginginkan si penerima bingkisan segera meninggal. Sanawi terus terang mengakui, ia jengkel kepada Marto: sudah satu tahun Marto punya utang Rp 30.000 dan sulit ditagih. Karena itulah bingkisan dilayangkannya, tapi ia menolak maksud buruk yang dituduhkan itu. "Haram! Buat apa menyihir orang pakai bilang-bilang segala?" katanya. Menurut dia, "Kalau mau main sihir, cukup sembunyi-sembunyi, yang penting orang yang disihir tiba-tiba celaka." Aparat Kodim ikut campur tangan. Apalagi sekarang Sanawi justru menuduh Marto bikin onar. "Dia dengan pistolnya menakut-nakuti saya dan seisi pasar," katanya. Syukur, persoalan diselesaikan dengan damai. Sanawi berhasil meyakinkan tentara di kantor Kodim itu bahwa bingkisan yang ia serahkan itu, yang dalam budaya Madura disebut nyolak, justru ia maksudkan untuk membuat persoalan tuntas. Tuntas apanya? "Itu pertanda utang Pak Marto saya ikhlaskan. Tak usah dibayar, meskipun sampai ke liang kubur." Untuk itulah ia mengirimkan sejumput kembang dan uang logam seratus perak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini