SEBUAH diskusi hangat terjadi tanpa direncanakan di kala sarapan pada suatu pagi bulan November lalu. Masalahnya benar-benar serius: kebebasan beragama. Di sela-sela berbagai acara dalam Persidangan Agama-Agama Dunia di McAfee, New Jersey, Amerika Serikat, pertengahan November 1985 itu, terjadi berbagai diskusi dan dialog informal. Terutama di meja makan. Suatu pagi, kami berlima duduk mengelilingi meja makan di sebuah pojok ruang makan Hotel Great Americana. Seperti biasa, mula-mula kami berkenalan, dan tentu saja diikuti oleh tukar-menukar kartu nama. Setelah itu, tahulah saya bahwa di meja makan itu duduk Dr. Rossi, Sekjen Perserikatan Internasional untuk Mempertahankan Kemerdekaan Beragama, yang berkedudukan di Jenewa seorang kawan dari Sudan dan dua kawan berkebangsaan Pakistan. Ketika saya tahu bahwa salah seorang di antara kami itu ada perutusan dari Sudan, saya lalu teringat sebuah nama: Mahmud Muhammad Taha. Ia terkenal karena sikapnya yang secara terbuka menentang politik "re-Islamisasi" Presiden (kini: bekas) Jafar Numein. Sikap Mahmud Taha itu beranjak dari pendirian bahwa negara Islam Medinah di masa Nabi tidak bisa dijadikan model bagi umat Islam yang hidup pada abad ke-20 ini. Sekalipun menegaskan bahwa seluruh Quran berasal dari Tuhan, Mahmud Taha menekankan perbedaan antara ayat-ayat yang turun di Mekkah dan di Medinah. Prioritas, menurut Mahmud Taha, hendaknya diberikan pada ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah, karena dasar-dasar etik yang terdapat dalam ayat-ayat Mekkah, dalam pemahaman Mahmud Taha bersifat abadi. Sedangkan pada ayat-ayat Medinah terikat oleh waktu - ayat-ayat Medinah terutama ditujukan untuk umat Islam pada masa permulaan, dan bukan untuk mereka yang hidup pada abad ke-15 Hijriah ini. Adalah tugas umat masa kini untuk mengembangkan syariat "baru", yang didasarkan pada etik yang diwahyukan di Mekkah, yang seirama dengan pengetahuan ilmiah dan tuntutan masyarakat industri. Mahmud Taha memang melawan arus. Dan, untuk itu, ia terpaksa mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Tertarik untuk tahu lebih banyak tentang Mahmud Taha, saya ajukan pertanyaan mengenai kasus penggantungan itu kepada kawan dari Sudan tersebut. "Dia adalah seorang bidaah," katanya. "Mengapa ia harus digantung?" "Ia telah menyeleweng dari ajaran yang benar," jawabnya. "Apakah, kalau begitu, ia lalu tidak berhak hidup di bumi Tuhan ini?" tanya saya lagi. "Saudara harus tahu," katanya, "Sudan adalah negara Islam." Saya jadi penasaran, dan bertanya lebih bersemangat kepadanya: "Bukankah Tuhan sendiri, sebagaimana tertera dalam Quran, memberikan hak sepenuhnya kepada manusia untuk beriman atau kafir terhadap agama yang Ia turunkan? Kalau Dia, yang berkuasa menghidupkan, mematikan, dan berbuat sekehendak-Nya toh bersikap toleran kepada orang-orang kafir terhadap-Nya, membiarkan mereka hidup dan menghuni bumi-Nya, menghirup udara-Nya, makan dan minum dari rezeki yang diberikan-Nya, bersikap toleran, lalu apa hak kita memaksa orang lain meninggalkan keyakinannya dan mengikuti keyakinan kita?" Kawan dari Sudan itu terdiam. Tiba-tiba saya pun sadar: mengapa saya begitu bersemangat membela Mahmud Taha? Suasana menjadi hangat ketika Dr. Rossi melibatkan diri. Ia mengemukakan adanya resolusi Komisi Hak-Hak Asasi Manusia PBB yang memprihatinkan nasib orang-orang Ahmadiyah di Pakistan. Diskusi itu menjadi panas, karena salah seorang dari kawan yang berkebangsaan Pakistan itu adalah mubalig Ahmadiyah Qadyan di London. Dengan cepat ia manfaatkan forum kecil itu untuk mengeluarkan unek-uneknya. Sejak masa pemerintahan Ali Bhutto, orang-orang Ahmadiyah, katanya, menurut undang-undang Pakistan, dianggap minoritas non-Muslim - alias kafir. Ordonansi yang dikeluarkan pengganti Bhutto, Zia ul-Haq, mempertegas undang-undang itu. Berdasarkan ordonansi Zia, kata mubalig Qadyan itu, orang-orang Ahmadi tidak boleh mengaku diri mereka muslim, tidak boleh mengumandangkan azan, tidak boleh menamakan ibadat mereka masjid. Bahkan mengucapkan assalamu 'alaikum saja, jika saja ada yang melaporkan kepada polisi, mereka bisa ditahan, dan diancam hukuman tiga tahun penjara. Anehnya, kata kawan pemeluk Ahmadiyah itu, ancaman tersebut tidak berlaku untuk Wakil Presiden Amerika George Bush yang juga mengucapkan assalamu 'alaikum begitu turun dari tangga pesawat terbang dan menjabat tangan Presiden Zia, yang menyambutnya dengan hangat. Tentu saja kawan dari Pakistan yang satu lagi tak tinggal diam. Dengan bersemangat ia bela keputusan pemerintahnya. Kesesatan Ahmadiyah menjadi pokok soalnya. Fatwa berbagai ulama, keputusan Rabithah Alam Islami, jadi dasar kritiknya. Rossi, yang tentu saja tak paham perkara ajaran Islam, cepat-cepat memotong perdebatan itu. Masalah kita, kata Rossi, bukan masalah teologis. Masalah kita adalah masalah kebebasan seseorang, atau suatu kelompok, untuk menganut dan mengamalkan suatu keyakinan menurut kesadaran hati nuraninya sendiri. Kita bisa saja menganggap keyakinan atau agama orang lain itu salah atau sesat. Tapi kita tidak boleh mengurangi hak mereka menganut keyakinan sendiri sebagai kebenaran sebagaimana kita meyakini kebenaran anutan kita sendiri. Sementara kami terdiam, Rossi, yang secara tak disengaja bertindak sebagai moderator, mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kepada saya, "Bagaimana dengan Indonesia? Kami dengar kerukunan hidup beragama di Indonesia cukup baik." Nah, saya pikir, ini kesempatan untuk memperlihatkan kebolehan negara kita dalam perkara kebebasan beragama ini. "Di Indonesia semua agama, semua sekte, dan semua paham keagamaan beroleh jaminan kebebasan dari Undang-Undang Dasar negara kami. MPR kami menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hal yang paling asasi. Ia bukan pemberian negara atau pemerintah. Ia berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan, pemerintah kami sama sekali tidak mencampuri masalah interkeagamaan, apakah itu masalah penafsiran teologis, masalah pengamalan ibadat, ataukah masalah bentuk pelembagaan." Bagaimana dalam kenyataannya? tanya Rossi. Dalam berpikir-pikir untuk menjawab pertanyaan itu, saya teringat kasus Islam Jamaah, Ingkarus Sunnah, dan Nazwar Syamsu. Sayangnya, belum lagi saya sempat menjawab, lonceng, tanda sidang resmi akan segera dimulai, berbunyi. Diskusi serentak terhenti. "Untung, lonceng berbunyi," kata hati kecil saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini