Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM satu bulan terakhir, empat kali Jasrul menerima kabar yang membuatnya waswas. Pensiunan Tentara Nasional Indonesia itu mendengar bahwa mesin pesawat Hercules C-130B yang ditumpangi putra sulungnya sering rusak. Kabar itu ia peroleh dari Kapten Riri Setiawan, anak Jasrul yang menjadi navigator Hercules C-130B. Tak hanya ke Jasrul, Riri mengabarkan hal serupa ke dua adiknya.
Salah satu peristiwa yang masih lekat di ingatan Jasrul adalah tatkala Riri hendak terbang dari Pangkalan Udara Iskandar Muda, Banda Aceh, menuju Pangkalan Udara Tabing, Padang, tiga pekan lalu. Jadwal penerbangan itu molor satu hari karena mesin Hercules tiba-tiba ngadat. "Dia bilang ada yang rusak," kata Jasrul, Kamis pekan lalu.
Akibatnya, 12 kru pesawat tidak bisa langsung memperbaiki kerusakan karena harus menunggu suku cadang yang dikirim dari Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh di Malang. Pesawat itu baru bisa terbang keesokan harinya. Setelah tiba di Tabing, burung besi dengan nomor penerbangan A-1310 itu kembali bermasalah.
Karena penerbangannya kembali ditunda, Riri yang sudah satu tahun menjadi navigator Hercules di Skuadron Udara 32 Abdulrachman Saleh itu mengajak ayahnya bertemu di Padang. Menurut Jasrul, Riri selalu memberi kabar setiap kali ada rute penerbangan ke Padang.
Dari Batusangkar, Jasrul pergi ke Padang. Pria yang pernah bertugas di Komando Distrik Militer 307 Tanah Datar dengan pangkat terakhir kopral kepala itu pergi bersama menantu dan cucunya. "Riri ingin melihat putrinya," ujar Jasrul, 58 tahun. Istri Riri, Mega Senja, kebetulan tengah mengambil program studi dokter spesialis di Universitas Andalas, Padang. Perjumpaan malam itu rupanya yang terakhir kali buat mereka.
Selasa pekan lalu, Riri menjadi salah satu korban Hercules yang jatuh di Jalan Jamin Ginting Kilometer 10, Medan. Tragedi nahas itu terjadi dua menit setelah pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Soewondo, Medan.
Menurut Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna, pesawat itu mengangkut 110 penumpang dan 12 awak, yang terdiri atas 3 pilot, 1 navigator, serta 8 teknisi. Tragedi ini menewaskan semua penumpang. Mereka dimasukkan ke 142 kantong karena ada beberapa yang berupa potongan tubuh. Agus mengatakan 98 korban sudah diidentifikasi hingga akhir pekan lalu.
Sebelum pesawat menumbuk permukiman, pilot Kapten Sandy Permana sempat menghubungi menara agar pesawat itu diizinkan kembali ke landasan. Belum sempat lulusan Akademi Militer 2006 itu menerima balasan, pesawat oleng ke kanan, menabrak menara radio Joy FM yang terpancang di atas gedung Sekolah Bethany. Menurut Agus Supriatna, menara itu berada dalam rentang 15 derajat dari ujung landasan Pangkalan Udara Soewondo.
Pesawat yang hendak menuju Pangkalan Udara Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, itu kemudian menimpa sejumlah bangunan. Salah satunya panti pijat tradisional BS Oukup. Lokasi jatuhnya pesawat hanya lima kilometer dari Pangkalan Udara Soewondo. Di lokasi kejadian, pesawat buatan 1964 itu nyungsep dalam keadaan terbalik.
Temuan awal tim yang dibentuk TNI Angkatan Udara menunjukkan mesin pesawat bongsor itu mengalami gangguan. "Permintaan pilot kembali ke landasan pacu menjadi salah satu buktinya," kata Agus Supriatna, Jumat pekan lalu.
Bukti lainnya, mesin nomor empat yang terletak di bawah sayap kanan Hercules C-130B ditengarai tidak beroperasi saat pesawat lepas landas. "Dugaan ini menguat karena baling-baling yang berada pada mesin keempat mati," ujarnya.
Agus menambahkan, kerusakan mesin nomor empat di bawah sayap kanan itu mengakibatkan pesawat sulit menambah ketinggian dan daya dorong saat lepas landas. "Untuk menahan pesawat agar tidak oleng ke kiri atau kanan saja beratnya bukan main," ujarnya. Pesawat tersebut, kata Agus, cuma bisa menjaga kecepatan agar tak jatuh.
Matinya mesin itu juga mengakibatkan pesawat cenderung bergerak ke kanan. Saat itulah sayap pesawat menabrak menara, tepat setelah terbang 3.200 meter dari landasan. Tumbukan itu membuat menara tersebut tumbang. Ketika Hercules itu menghunjam permukiman, dua mesin baling-baling di bawah sayap kiri terpental. "Keduanya keriting dan terbakar," ujar Agus.
Menurut dia, kecelakaan di Medan mirip dengan tragedi Hercules A-1324 di Condet, Jakarta Timur, pada 1991. Ketika itu, pesawat Skuadron 31 TNI Angkatan Udara tersebut kepayahan saat lepas landas di ujung landasan pacu Halim Perdanakusuma. Tak lama kemudian, pesawat yang hendak menuju Bandung itu terempas setelah menabrak gedung Balai Latihan Kerja di Condet. Burung besi yang mengantar empat peleton Pasukan Khas (Paskhas) itu jatuh dan terbakar. Peristiwa itu menewaskan 133 prajurit dan 2 penduduk sipil. Bedanya dengan kecelakaan di Medan, tragedi di Condet itu terjadi setelah mesin pertama Hercules tidak berfungsi.
Soal penyebab tidak beroperasinya mesin nomor empat saat lepas landas di Pangkalan Udara Soewondo, tim TNI Angkatan Udara belum bisa memastikan. Menurut Agus, hal itu masih dalam tahap penyelidikan. Agus membenarkan, pesawat yang jatuh di Medan itu pernah mengalami beberapa kali kerusakan dalam satu tahun terakhir.
Hercules C-130B ini, misalnya, pernah terbang hanya dengan tiga mesin saat menuju Palembang. Menurut Agus, pesawat masih bisa mendarat karena mesin mati bukan saat lepas landas, melainkan ketika pesawat sudah mengudara. Setelah mesin diperbaiki, pesawat kembali ke Malang.
Meski mengakui pesawat itu punya sederet masalah, Agus membantah pernyataan Jasrul yang menyebutkan Hercules C-130B ini empat kali rusak dalam satu bulan ke belakang.
SEBELUM pesawat Hercules itu menghantam permukiman, Darwin Sebayang melihatnya oleng tidak keruan. Mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Kristen Neumann ini mengira pesawat itu akan mengarah ke tempat ia nongkrong di tempat parkir. Karena itu, ia bersama teman-temannya lari berhamburan. Lokasi kampus tersebut di Jalan Jamin Ginting Kilometer 10,5, Medan.
Tak lama kemudian, Darwin mendengar suara dua ledakan hebat. Ledakan pertama terjadi tatkala pesawat menubruk rumah toko. Ledakan kedua terdengar ketika pesawat menghantam bumi. "Suara ledakan itu keras sekali," ujarnya. Darwin masih mendengar beberapa ledakan susulan setelah pesawat menumbuk permukiman. Sisa bagian pesawat itu, kata Darwin, ada yang jatuh di samping tempat parkir motor Neumann.
Adanya ledakan susulan itu dibenarkan oleh Piher Tarigan. Mahasiswa semester terakhir di Neumann itu sempat merekam selama tiga menit setelah pesawat jatuh. Dalam video itu, suasana Jalan Jamin Ginting lintang-pukang setelah Hercules menghunjam perumahan. Anggota Sabhara Kepolisian Daerah Sumatera Utara, yang markasnya cuma berjarak 500 meter dari lokasi jatuhnya pesawat, lari berdatangan.
Menurut Chacha, anggota staf administrasi di Neumann, suara ledakan yang keras itu membuat gedung tempat ia berkantor bergetar seperti terjadi gempa. Saat keluar, ia mencium bau menyengat dari pesawat. "Ternyata itu avtur yang tumpah," ujarnya. Di lokasi jatuhnya pesawat, semua sisi bangunan ruko tiga lantai yang dihantam Hercules itu hitam akibat kebakaran.
Kecelakaan ini menambah panjang daftar kecelakaan Hercules. Sejak dimiliki Indonesia pada 1960-an, burung besi buatan Lockheed Martin Corporation ini telah delapan kali mengalami kecelakaan. Tubagus Hasanuddin, anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, mengatakan faktor usia pesawat menjadi salah satu pemicu utama kecelakaan. Perawatan secanggih apa pun, kata dia, tidak bisa melawan usia. "Seperti manusia yang diberi gizi, semakin tua pasti punya keterbatasan," ujarnya.
Agus Supriatna tidak begitu sepakat dengan sinyalemen bahwa usia menjadi faktor utama terjadinya kecelakaan. Menurut dia, Hercules yang sudah berusia 50-an tahun tetap layak beroperasi asalkan pemeliharaannya sesuai dengan buku petunjuk pabrikan. "Terhadap pesawat tua itu juga sudah dilakukan double-check," katanya.
Marsekal Muda Purnawirawan Tarigan Sibero menyebutkan perawatan mesin pesawat Hercules dilakukan berkala. Itu sebabnya overhaul mesin dilakukan saat jam terbang pesawat mencapai maksimum. "Setelah di-overhaul, mesin akan kembali ke zero hour," ujar penulis buku 50 Tahun Hercules ini. Menurut Tarigan, pesawat A-1310 yang jatuh di Medan bahkan telah menjalani dua kali service life extension program.
Upaya meremajakan suku cadang dan mesin Hercules juga telah dilakukan berkali-kali. Salah satunya dengan meneken kontrak senilai US$ 51 juta dengan Singapore Technologies Aerospace. Kerja sama itu dilakukan buat meremajakan empat unit Hercules C-130B. Namun, menurut Asisten Logistik KSAU Marsekal Madya M. Nurullah, salah satu Hercules yang diremajakan itu mengalami kecelakaan di Wamena pada 2009.
BILA tidak jatuh di Medan, Hercules C-130B itu akan terbang menuju Pangkalan Udara Tanjung Pinang. Rencananya, dari Tanjung Pinang, pesawat melanjutkan misi ke Pangkalan Udara Ranai, Natuna, sebelum mengakhiri penerbangan di Pangkalan Udara Supadio, Pontianak.
Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Dwi Badarmanto, pesawat nahas itu tengah menjalankan misi Penerbangan Angkutan Udara Militer. Di antaranya mengangkut prajurit yang pindah dinas dan mengirim logistik antar-pangkalan udara. Pesawat itu berbekal surat tugas tanggal 29 Juni-2 Juli 2015.
Sehari sebelum kecelakaan terjadi, pesawat itu diterbangkan dari Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, menuju Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Transit sebentar di Adisutjipto, pesawat melanjutkan perjalanan ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pagi hari sebelum terjadi kecelakaan, burung besi itu terbang dari Halim Perdanakusuma menuju Pekanbaru dan Dumai.
Kepala Penerangan dan Perpustakaan Pangkalan Udara Adisutjipto Mayor Khusus Hamdi Lodong mengatakan tidak ada keluhan terhadap pesawat C-130B saat mendarat di sana. "Pengecekan mesin sudah dilakukan di Malang," ujarnya.
Informasi serupa disampaikan Kepala Penerangan dan Perpustakaan Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Kapten Khusus Rizwar. Menurut dia, Hercules C-130B juga telah menjalani pemeriksaan mesin, kabin, baling-baling, serta kokpit saat singgah di Pekanbaru dan Dumai. Hasilnya, tidak ada kejanggalan. "Buktinya, pesawat sampai di Dumai dan Medan dengan selamat," kata Rizwar.
Selama di Pekanbaru, pesawat itu menurunkan dan menaikkan logistik dan penumpang. Di antaranya membawa 20 prajurit Batalion Paskhas 462 Pulanggeni, Pekanbaru. Mereka hendak menggantikan prajurit operasi satuan radar di Dumai dan Tanjung Pinang. Sebanyak 38 penumpang sipil ikut naik di Pekanbaru. "Ada keluarga prajurit dan juga mahasiswa," ujar Rizwar. Beberapa di antara mereka hendak pulang kampung ke Tanjung Pinang dan Ranai, Natuna.
Dari Pekanbaru dan Dumai, pesawat menuju Medan. Saat lepas landas di Medan, cuaca cerah dan jarak pandang aman hingga lima kilometer ke depan. Menurut Kepala Penerangan dan Perpustakaan Pangkalan Udara Soewondo Mayor Khusus Jhoni Tarigan, pengecekan mesin sudah dilakukan saat pesawat mendarat di Medan. "Semua tahap sudah kami lakukan," katanya.
Pengecekan itu gagal mendeteksi tak bekerjanya mesin nomor empat pesawat. Itu sebabnya, sambil menunggu hasil investigasi, Agus melarang semua Hercules tipe B terbang. "Jangan sampai kecelakaan pesawat sejenis terjadi di kemudian hari," ujarnya.
Yandhrie Arvian (jakarta), Andri El Faruqi (padang), Salomon Pandia (medan), Riyan Nofitra (pekanbaru), Muh Syaifullah (yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo