Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agustinus Gianto
Naskah yang belakangan ini dirujuk sebagai ”Injil Yudas” memuat kumpulan perkataan Yesus dan dialog dengan Yudas. Kenapa tidak termasuk dalam Alkitab? Dari proses terjadinya, cakupan isinya, serta cita rasa yang ditawarkannya, naskah itu sedemikian berbeda dengan kitab-kitab yang mengumumkan Kabar Baik bagi semua orang. Bagaimana penjelasannya?
Setelah Yesus wafat, para murid pertama mulai mengumpulkan ingatan mengenai sang guru. Bahan-bahan itu dibawa ke dalam ibadat, dikisahkan berulang kali, dikumpulkan dan diajarkan kepada generasi berikutnya. Begitulah pada abad pertama mulai dikenal kisah-kisah mengenai Yesus. Juga ada kumpulan perkataannya. Injil Markus, yang selesai disusun menjelang tahun 70, mengisahkan karya Yesus di Galilea dan perjalanannya ke Yerusalem tempat ia wafat disalib. Di dalam untaian kisah ini juga termasuk kata-kata serta pengajarannya. Injil Matius, yang ditulis sepuluhan tahun kemudian, memakai Injil Markus sebagai bahan dasar dan menyuntingnya kembali dengan menyertakan bahan yang kiranya belum sempat dipakai Markus, yakni kumpul-an kata-kata Yesus. Begitu juga yang dilakukan penulis Injil Lukas kurang-lebih pada waktu yang bersamaan. Tetapi ia menyampaikan bahan Markus dalam kerangka yang berbeda dengan yang dipakai Matius. Injil Yohanes baru mulai disusun pada akhir abad ke-1 dengan bahan-bahan yang melengkapi ketiga Injil sebelumnya.
Pada abad ke-2, di samping keempat Injil tersebut, mulai bermunculan pelbagai tulisan lain mengenai Yesus dan para muridnya. Baru pada abad ke-4 terbentuklah kumpul-an yang akhirnya menjadi Perjanjian Baru yang sekarang dikenal. Proses ini berjalan bukan atas dasar perencanaan atau rekayasa, bukan pula digariskan pemimpin Gereja. Da-lam proses itu, macam-macam komunitas memilih kumpul-an kitab keramatnya masing-masing. Namun, lambat laun himpunan itu makin seragam baik dari segi isi maupun co-raknya. Salah satu faktor keseragaman ini ialah adanya saling keterbukaan dan kerja sama di antara komunitas-ko-munitas yang akhirnya menjadi Gereja. Demikianlah ke-satu-an lebih dirasakan daripada perbedaan.
Proses seperti itu ada kemiripannya dengan sebuah pertunjukan di lapangan terbuka. Terbentuk lingkaran penonton, bisa melebar, bisa menciut, atau jadi arena tetap. Semuanya melihat atraksi yang sama. Bayangkan bila satu ketika ada orang yang menyelonong masuk mau ikut bermain. Ia akan disisihkan bahkan oleh para penonton sen-diri. Tapi bisa jadi juga ia diterima dan menjadi bagian dari atraksi. Begitu pula proses terkumpulnya kitab-kitab keramat pada abad-abad awal tadi. Yang ditampilkan dalam teks-teks itu sama, yakni Yesus dan para muridnya (yang kemudian dikenal sebagai Injil-Injil dalam Alkitab) dan surat-surat para pemerhati komunitas (Paulus, dan lain-lain). Bila ada unsur baru, maka akan diserap ke dalam kumpulan atau tetap berada di luar. Setelah empat abad pertama, makin mantaplah kumpulan kitab-kitab Perjanjian Baru. Juga makin jelaslah tulisan-tulisan mana saja yang tidak termasuk di dalamnya.
Sekarang mengenai teks tentang Yudas. Bagaimana me-nafsirkannya? Sekitar tahun 180, Santo Ireneus, seorang Bapa Gereja, menyebutkan dalam Adversus Haereses (”Me-lawan Kaum Bidah”) bahwa ada Injil ”menurut Yudas” di kalangan gnostik yang dikenal sebagai kaum ”Kain” (tokoh pujaan mereka ialah Kain, anak Adam). Mereka beranggap-an bahwa tokoh-tokoh baik dalam Alkitab seperti Nuh dan Musa bukan orang-orang yang sungguh ”benar”, sedangkan para tokoh negatif seperti Kain (pembunuh Habel, adiknya) dan lain-lainnya mereka pandang sebagai orang ”benar”. Orang-orang ini mereka yakini telah mendapat pengetahu-an khusus atau gnosis yang tak terjangkau umum. Menurut kalangan gnostik itu, orang banyak keliru karena t-idak memperoleh pencerahan khusus. Pendapat seperti itu akhir-nya tersingkir karena tidak menjawab kebutuhan batin orang banyak. Sama seperti publik yang bubar karena tidak lagi tertarik.
Pada 1970-an mulai dibicarakan adanya naskah papirus dalam bahasa Kopt (bahasa di kalangan Kristen di Mesir) dan isinya mengingatkan pada amatan Ireneus tadi. Bagian-bagian yang terbaca memuat kumpulan kata-kata Yesus dan beberapa wejangan khusus bagi Yudas. Murid yang menurut Injil-Injil bersikap kemaruk dan tidak setia itu di sini muncul sebagai tokoh yang memperoleh pencerahan khusus dari sang guru. Tindakannya menyerahkan Yesus kepada lawan-lawannya ditampilkan sebagai yang diajarkan guru itu sendiri.
Memang, dalam alam pikiran gnostik, lazim dibedakan dunia kasar dan dunia halus. Badan termasuk kasar, dan pengetahuan batin adalah yang halus tetapi yang terpenjara di badan yang kasar. Maka, pembebasan dari badan itu keselamatan yang sesungguhnya. Itulah anggapan dasar teks tentang Yudas tadi. Maka, bila badan Yesus dihancurkan, yang halus akan terbebas. Karena itu, Yudas ditampilkan sebagai murid yang dikasihi dan berlaku ”benar”. Murid-murid yang lain tidak mencapai pengetahuan khusus se-perti itu.
Sejak awal naskah itu tidak dipakai di kalangan orang ke-banyakan. Bahkan para pendukung naskah itu memaksud-kannya sebagai tulisan yang berisi pengetahuan khusus yang tidak diperuntukkan bagi semua orang. Ajarannya ber-sifat esoterik, untuk sebagian kecil orang-orang pilihan. Amat berbeda dengan Alkitab, yang tampil bagi khalayak umum dan sama sekali tidak dirahasiakan bagi sekelompok kecil. Memang ada tingkat-tingkat kedalamannya, misalnya Injil Markus dimaksudkan bagi para pemula, sedangkan Injil Matius dan Lukas lebih cocok bagi mereka yang sudah mulai masuk, sedangkan Injil Yohanes bagi yang telah matang kerohaniannya, tapi tetap terbuka bagi siapa saja.
Kelompok teks seperti naskah tentang Yudas ini lazimnya disebut tulisan apokrif, artinya, ”dirahasiakan” bagi kalang-an sendiri. Lawannya ialah kitab-kitab yang diwahyukan, yang dibeberkan bagi semua orang. Ironinya, tulisan-tulis-an apokrif itu biasanya tidak mendalam dan isinya hanya berlaku bagi kelompok kecil itu sendiri. Perkara yang digarap di situ biasanya juga tidak menyangkut berbagai pertanyaan mendasar dalam kehidupan manusia, tapi terlalu terpancang pada kebutuhan individu tertentu.
Bila alam pikiran Perjanjian Baru diselami, akan jelas ada-nya tema dasar ”salib dan kebangkitan” Yesus. Tiap tulisan Perjanjian Baru menggarapnya, bukan hanya Injil-Injil. Tulisan yang sifatnya nasihat pun, seperti dalam surat-surat, muncul dari tema itu dan sejalan dengannya. Bandingkan teks-teks yang tidak masuk Alkitab, seperti pelbagai tulisan apokrif, termasuk ”Injil Yudas”. Di sana tema ”salib dan kebangkitan” kabur, tipis, bahkan absen atau tampil absurd. Bila tidak mengolah pengalaman salib dan mendalami misteri kebangkitan, tentu sulit menjadi Kabar Baik bagi orang banyak.
Ada satu segi lain yang tampaknya hanya menyangkut cita rasa, tapi sebetulnya besar peranannya di dalam proses masuk atau tidaknya ke dalam kumpulan Alkitab Perjanjian Baru. Misalnya, dalam ”Injil Yudas” dijumpai beberapa kali Yesus tertawa atau menertawakan suatu anggapan, se-perti terdapat dalam pelbagai tulisan gnostik lain. Perilaku Yesus ini tidak didapati dalam Injil-Injil. Bukan karena Yesus dulu tak pernah tertawa, tapi perilaku ini tidak termasuk ciri-ciri Yesus Injili dan bila ditampilkan malah menjadi alasan untuk menganggap tulisan yang bersangkutan kurang berbobot.
Begitulah ada macam-macam tindakan Yesus dalam pel-bagai tulisan apokrif yang amat manusiawi, tapi tak termasuk perangkat pemahaman orang-orang yang dulu menge-nal-nya dari dekat. Tokoh Yesus dalam teks-teks Alkitab ber-sambut gayung dengan iman kepercayaan nyata dalam diri orang beriman. Tampilan yang tidak mengena akan luput masuk pustaka hidup Gereja dan bukan bagian pusaka iman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo