Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Tohari
Pukul sebelas siang hari. Sekali muncul penuh, matahari musim penghujan memang lebih menggigit. Tapi di bawah terik itulah Sarta terbungkuk-bungkuk mendorong gerobak pengusung bata. Di depan menjadi kuda adalah Tiwan, anaknya yang 14 tahun. Keringat keduanya sudah lama membasahi punggung dan kaki. Dan mereka terus berjalan terseok di jalan raya lintas selatan Yogya-Bandung. Jalan raya dibangun bukan untuk melayani kepentingan Sarta dan Tiwan. Maka di sana tidak ada keramahan sedikit pun. Sudah berkali-kali gerobak bata itu harus tergelincir ke bahu jalan yang jeblog karena diusir keluar oleh para sopir dengan suara klakson yang menggila. Atau bentakan kernet bus. Sampai akhirnya Sarta dan Tiwan sementara harus menyerah. Mereka parkir gerobak itu ketika bertemu tempat teduh di bawah pohon mahoni.
Dulu Sarta menanami sawahnya yang hanya seluas fondasi rumah kecil. Tapi usaha pertanian itu harus dihentikan karena Sarta tak mampu beli pupuk. Masalahnya, perut seisi rumah harus tetap diisi. Maka Sarta mengambil tanah sawahnya untuk dibuat bata. Bukankah ada sekam yang boleh diambil gratis sebagai bahan bakarnya? Jadilah Sarta beralih pekerjaan dari petani ke pembuat bata. Lumayan, meskipun dia harus makan tanah dalam arti yang nyaris harfiah. Dan entah apa lagi yang bisa dilakukan bila sawahnya sudah berubah jadi sumur besar karena tanahnya habis untuk dibuat bata.
Sarta minum dari botol plastik aqua bekas. Ya, zaman edan ini bisa juga memberi berkah kepada Sarta berupa wadah air tahan banting dan mudah didapat di pinggir jalan. Tiwan juga minum. Lalu mereka duduk di bawah pohon mahoni. Sekilas mereka tahu ada spanduk melin-tang tepat di atas kepala. Tapi mereka tak acuh. Bahkan mungkin mereka tidak bisa mengerti andaikata tulisan di spanduk itu dibacakan. Padahal isinya benar-benar meng-ancam satu-satunya sumber penghasilan mereka. Karena sejak ada spanduk itu, Sarta sulit mendapat sekam untuk membakar bata. ”Kami Menerima Sekam Padi dalam Jumlah Besar, Dibayar Kontan di Tempat.” Demikian bu-nyi spanduk itu. Pemasangnya agen pemasok sebuah pabrik semen di Cilacap yang baru dijual ke pengusaha Swiss. Untuk menghemat biaya bahan bakar, mereka mengganti batu bara dengan sekam padi. Limbah kilang beras itu memang dapat dibeli di setiap rice huller di wilayah sekitar yang ratusan jumlahnya. Memang ada satu-dua pemilik kilang yang tetap menyisakan sekam bagi para pembuat bata. Kasihan, katanya. Namun, sebagian besar pemilik kilang lebih tergiur uang para pemasok yang berani membayar sekam lebih mahal.
Sangat mungkin manajemen industri semen tahu sekam padi selama ini dimanfaatkan oleh orang seperti Sarta untuk membakar bata. Juga oleh para petani gula kelapa- untuk mengolah nira. Tanpa sekam yang bisa didapat de-ngan gratis, Sarta tak bisa membakar bata. Kayu bakar terlalu mahal. Pembuat gula kelapa sama saja. Sebab, me-reka tak mungkin hanya mengandalkan kayu sebagai bahan bakar karena biaya produksi jadi tak sebanding de-ngan harga jual gula.
Tapi pemilik industri semen memang tak peduli. Mere-ka adalah anak-anak yang lahir dari tatanan yang menga-takan, ”Make money, my son, honestly if you can.” Carilah duit, Nak, dengan jujur bila kamu bisa. Tanya, kalau tidak bisa? Ya, dengan menindas ribuan orang macam Sarta pun tidak apa asal dapat duit.
Dan kekalahan Sarta dalam berebut sekam bukan kekalahan yang pertama. Dulu, ketika masih menggarap secuil sawah, dia juga kalah—saat itu oleh industri jamur. Para agen pemasok pabrik jamur membabat jerami sisa panen. Ironisnya, Sarta, yang tidak merasa sedang dikalahkan, membiarkan jeraminya diangkut ke pabrik jamur. Gratis. Sarta baru merasa dikalahkan setelah diberi tahu pembabatan jerami berakibat buruk bagi kesuburan sawahnya. Apalagi hal itu telah terjadi selama beberapa tahun.
Sudah? O, belum. Industri air kemasan juga sudah lama mengalahkan Sarta yang dulu petani. Mata air di atas sana telah diprivatisasi oleh pemodal besar yang bekerja sama dengan Bapak Bupati. Sarta memang tidak tahu mata air di sana sudah dijual. Masa iya mata air pemberian Tuhan dijual. Dia hanya tahu, bila tidak turun hujan sebentar saja, irigasi alam yang mengaliri sawahnya cepat kering. Tidak seperti tahun-tahun dulu. Ini kekalahan yang sungguh-sungguh tidak disadarinya.
Mungkin kelak para petani kecil seperti Sarta juga tidak sadar dikalahkan bila Undang-Undang Sumber Daya Air diberlakukan. Padahal undang-undang itu memberi peluang luas swastanisasi pengelolaan air. Akan makin banyak mata air atau umbul yang dibeli swasta. Ada pula perusahaan asing mengelola irigasi dengan tarif komersial. Tidak, hidup mereka sudah terlalu payah untuk memahami kekalahan demi kekalahan yang demikian merajam. Kekalahan oleh industri semen, industri jamur, industri air kemasan, bahkan kekalahan oleh para legislator dhewek yang korup yang mengesahkan RUU Sumber Daya Air. Masih bisa ditambah; kekalahan oleh rezim perdagangan pupuk, mafia impor beras, dan obat-obatan pertanian yang sering dipalsukan.
Kini, di bawah sengatan matahari, Sarta dan anak yang akan mewarisi kemiskinannya tersingkir di pinggir jalan raya. Letih dan lapar. Tapi segerobak bata mentah harus- mereka usung ke tempat pembakaran. Lihatlah, ayah-anak itu berdiri lagi dan siap menggerakkan roda-roda gerobak. Keduanya mengerahkan tenaga terakhir. Roda bergulir pelan. Dan pada saat yang sama, klakson sebuah truk raksasa pengangkut semen curah menggertak Sarta dan anaknya. Keduanya terkejut dan tergelincir. Jatuh oleh bentakan industri semen yang telah merebut sekam. Sarta nyata sudah kalah. Tungku bata tanpa sekam tidak lagi bisa memanaskan hidupnya. Entah, masihkah ada tenaga untuk mengalirkan darahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo