Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terjungkal Karena Dolar

Pagi itu, sejumlah ”orang asing” tiba-tiba muncul di sekitar rumah Sjamsul Nursalim. Ada yang mengecat pot di tepi jalan, duduk di pos ronda, atau mengobrol di warung. Operasi intelijen KPK itu nyaris bocor. Ada warga yang tahu, tapi ”waktu itu kami menduga, mungkin ada penggerebekan narkoba.”

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Urip Tri Gunawan terlihat letoi dan lusuh. Matanya merah. Turun dari lantai delapan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), digiring sejumlah anggota Brigade Mobil, bekas Ketua Tim Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia itu berjalan gontai.

Baju dan celana hitam yang dipakainya kusut-masai. Pertanyaan puluhan wartawan yang berdesakan mengerubutinya tak terjawab sama sekali. Hingga masuk ke dalam mobil tahanan KPK yang membawanya ke penjara Brimob di kawasan Kepala Dua, Depok, Urip terus mengunci mulut.

Kamis pekan lalu, untuk keempat kalinya pria 42 tahun itu diperiksa. Pemeriksaan pertama, Ahad sebelumnya, dilakukan beberapa jam setelah ia dibekuk di Jalan Terusan Hang Lekir II, Jakarta Selatan, setelah keluar dari rumah Sjamsul Nursalim itu.

Penangkapan ini makin jadi asyik karena dua hal. Pertama, baru dua hari sebelumnya kejaksaan menyatakan menghentikan penyelidikan kasus dana BLBI Sjamsul Nursalim dan Anthoni Salim. Kedua, aparat KPK menemukan segepok uang di mobil Urip. Malam itu juga dia ditetapkan sebagai tersangka.

Kepada para petugas yang menangkapnya, Urip berkeras menyatakan uang miliaran rupiah itu hasil bisnis permatanya. ”Ketika pertama kali melihat saya, belum saya tanya apa-apa dia langsung bilang ’Saya ini jualan permata, Pak’,” kata Antasari Azhar, Ketua KPK.

Dalih permata ini pula yang dipertahankan sang jaksa mati-matian ketika ia diperiksa selama enam jam, Kamis pekan lalu itu. Diberondong berpuluh pertanyaan sejumlah jaksa dari Kejaksaan Agung dan penyidik KPK, Urip teguh bertahan. Uang yang ditemukan di mobilnya itu, katanya, tak ada hubungannya dengan kasus BLBI yang dipegangnya. ”Biar saja dia ngomong begitu,” kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Chandra M. Hamzah. ”Nanti kita lihat siapa yang menyerah.”

l l l

URIP disergap belasan petugas KPK sesaat setelah meninggalkan rumah Sjamsul Nursalim. Petang itu, begitu mobilnya, Toyota Kijang DK-1832-CF, keluar dari halaman rumah Sjamsul, dua mobil KPK sigap mengepung. Satu sedan Toyota Vios di depan dan satu Kijang di belakang, yang langsung menabrak mobil Urip. Tabrakan itu membuat mobil Urip terdorong, menabrak sedan di depannya. ”Bumper Vios itu penyok,” kata Didi, warga setempat yang menyaksikan adegan penangkapan itu.

Dalam tempo beberapa detik, sekitar 10 petugas KPK berhamburan dari kedua mobil, mengerubuti mobil yang terjepit. Mereka memerintahkan Urip keluar. Setelah di luar mobil, dia tak begitu saja menyerah. Jaksa bertubuh kekar dengan tinggi sekitar 175 sentimeter itu meronta, melawan lima petugas KPK yang menyergapnya.

Melihat situasi ini, empat anggota Brimob yang ikut dalam penyergapan datang membantu. Tubuh Urip dipepet ke tembok, dijatuhkan ke tanah, dan tangannya langsung diborgol. Mobilnya kemudian digeledah.

Di atas jok kiri depan, petugas menemukan kardus minuman ringan. Di dalamnya tampak tumpukan amplop tebal berwarna cokelat. ”Saat itu kami yakin, di dalam amplop itulah uangnya,” kata sumber Tempo yang ikut penyergapan.

Namun, amplop itu tak langsung dibuka. Petugas memerintahkan seorang warga memanggil Ketua Rukun Tetangga. ”Saya disuruh membuka amplop itu,” kata Sambiyo, Ketua RT 6. Ketika amplop dibuka, menyembullah gumpalan dolar Amerika Serikat pecahan seratus. ”Banyak sekali...,” Sambiyo bercerita. Jumlahnya, menurut KPK, US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar.

l l l

SEORANG warga bercerita, sejak pagi mereka melihat sejumlah ”orang asing” di wilayah itu. Ada yang mengecat pot bunga di pinggir jalan, duduk di pos ronda, bahkan ada yang nongkrong sembari makan kacang di warung Sambiyo. ”Waktu itu kami hanya menduga, mungkin ada penggerebekan narkoba,” kata Didi. Beberapa warga juga melaporkan munculnya ”orang asing” itu ke Sambiyo. ”Mereka bilang ada orang mondar-mandir di depan rumah Sjamsul,” kata Sambiyo.

Rumah Sjamsul terletak di sudut jalan, di atas lahan sekitar 2.000 meter persegi. Dikelilingi pagar beton setinggi enam meter, halamannya berhias air mancur setinggi tiga meter. Sjamsul sendiri, sejak tahun 2000, ”menyingkir” ke Singapura. Di sebelah kanan rumah Sjamsul adalah rumah The Ning King, pemilik Argo Tunggal dan Bank Dana Hutama, yang juga kena perkara BLBI.

Kendati mengetuai RT 6, yang meliputi 26 rumah dengan luas kapling masing-masing sedikitnya 500 meter persegi, Sambiyo sendiri warga RT 8. ”Di antara mereka nggak ada yang mau jadi Ketua RT,” kata Ny. Sambiyo. Selama mengurus ”RT elite” itu, sejak 1994 Sambiyo tak pernah bertemu Sjamsul atawa The Ning King.

Sambiyo ketawa ketika dikatakan ia mengurus ”RT basah”. ”Minta iuran sampah sebulan Rp 75 ribu saja susahnya setengah mati,” ia bercerita. Bagi sejumlah warga, mobil berpelat DK, yang ternyata milik Urip, itu juga tak asing. ”Kami hafal karena pelat nomornya tidak B seperti mobil lainnya,” ujar seorang warga yang tinggal di belakang rumah Sambiyo.

Satu jam setelah membekuk Urip, petugas KPK menangkap Artalyta Suryani di rumah Sjamsul. Kepada penyidik, perempuan yang dikenal sangat dekat dengan Sjamsul Nursalim itu membantah pemberian uang itu berkaitan dengan keputusan kejaksaan dua hari sebelumnya.

Menurut wanita yang sering ke Gedung Bundar itu, ia meminjamkan uang itu kepada Urip. ”Tapi ngomong-nya gugup, mungkin masih shock,” kata seorang petugas KPK. Seperti halnya Urip, Artalyta yang pernah menjadi Bendahara Umum Partai Kebangkitan Bangsa dan mengenal banyak pejabat itu kini berstatus tersangka.

l l l

MALAM itu, beberapa menit setelah mendapat laporan penangkapan Urip, Antasari Azhar menelepon Jaksa Agung Hendarman Supandji. Di ujung telepon, Hendarman tak bisa menyembunyikan kekecewaan mendengar ulah anak buahnya.

”Ada BB (barang bukti)-nya?” Hendarman bertanya.

”Ada, Pak, uang Rp 6 miliar.”

”Hah?” suara Hendarman tercekat.

”Jaksa Agung menyilakan KPK mengusut kasus itu,” Antasari menjelaskan. Esok malamnya, sekitar 16 petugas KPK menggeledah ruang kerja Urip di lantai tiga Ruang 7, Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Dua dus berisi dokumen, buku, dan sejumlah barang Urip lainnya diangkut ke kantor KPK.

l l l

Jaksa Agung Hendarman Supandji yang memerintahkan pembentukan tim jaksa pengusut dana BLBI yang merugikan negara Rp 650 triliun itu. Tim tersebut meliputi 35 jaksa, hasil seleksi 80 jaksa dari seluruh Indonesia. ”Ini jaksa yang punya integritas dan berani,” kata Hendarman ketika itu.

Tim dibagi dua: rurik (regu pemeriksa) dan rudak (regu penindakan). Sepuluh jaksa masuk rudak, sisanya masuk rurik, yang mendapat tugas membongkar tiga kasus: Bank Bali, Bank Central Asia, dan Bank Dagang Nasional Indonesia.

Tim pertama, yang khusus menelisik kasus BCA, dipimpin Jaksa Sriyono. Tim kedua, yang memegang kasus BDNI, dipimpin Urip Tri Gunawan. Hendarman memberi target: kerja tim harus rampung pada September 2007.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, dari 65 orang yang diperiksa terkait kasus BLBI, baru 16 yang sampai ke pengadilan. Banyak pula ”aset bodong” yang diserahkan para pengemplang dana BLBI ke pemerintah. ”Kalau pemerintah mau mengusut, harus serius,” kata Koordinator ICW Bidang Monitoring Peradilan, Emerson Yuntho. Kasus BDNI diperkirakan telah merugikan negara sekitar Rp 28 triliun.

Belakangan, bukan hanya jadwal kerja tim yang molor. Tim malah menyimpulkan, tak ada masalah dengan kasus Sjamsul dan Salim. ”Kami tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum yang mengarah tindak pidana korupsi,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, ketika mengumumkan penghentian penyelidikan kedua bank itu, Jumat dua pekan lalu.

Sehari setelah Urip ditangkap, Hendarman menyatakan kasus Urip, yang diduga menerima suap, tak ada hubungannya dengan keputusan kejaksaan menghentikan kasus BLBI BCA dan BDNI. ”Tidak mungkin penghentian itu didasarkan pendapat satu anggota,” katanya. Menurut Hendarman, bisa jadi Urip mengambil kesempatan setelah tahu kejaksaan bakal menutup kasus BLBI.

l l l

SUMBER Tempo membantah keterangan Hendarman. Menurut sumber itu, memang ada keterkaitan uang Rp 6 miliar dengan kasus BLBI yang diperiksa kejaksaan. KPK, katanya, sudah memata-matai gerak-gerik Urip sejak empat bulan lalu. Bahkan sumber itu yakin, sudah ada penelusuran aliran uang di luar yang US$ 660 ribu itu. ”Anda lihat, jumlah uang yang diberikan tanggung, kan?” katanya.

Sumber ini yakin, informasi yang diperoleh KPK tak lepas dari kejaksaan. ”Ketua KPK kan punya banyak teman di Gedung Bundar,” katanya. Antasari Azhar memang pernah menjabat Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung. Ketika Tempo menanyakan hal ini kepada Antasari, ia hanya menjawab pendek, ”Laporan itu kami terima dari masyarakat, yang penting kan sudah tertangkap.”

Sumber lain menceritakan, cukup panjang waktu yang diperlukan untuk membuat Urip tertangkap tangan. ”Perlu mengirim tim intelijen, memasang alat penyadap, dan menguntit terus sang target,” katanya. Sumber itu juga memastikan Urip tak bermain sendiri. ”Tak mungkin,” katanya. ”Memang pangkatnya apa?”

Sampai Jumat pekan lalu, Urip dan Artalyta tetap belum mengakui kaitan uang itu dengan Sjamsul Nursalim. Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, menyatakan kliennya tak tahu-menahu soal duit itu. ”Saya sudah menelepon Bu Sjamsul,” kata Maqdir kepada Anton Septian dari Tempo. ”Dia bilang nggak tahu apa-apa.”

Kasus Urip tampaknya akan menyeret korban-korban lain dari Gedung Bundar. Sejumlah anggota DPR sudah mendesak Hendarman menonaktifkan Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan Muhammad Salim. Di depan Komisi Hukum, Rabu pekan lalu, Hendarman menegaskan akan menindak anak buahnya yang terlibat. ”Kalau perlu dipecat,” katanya.

Lantas bagaimana kalau Urip dan Artalyta bertahan melancarkan gerakan tutup mulut? ”Kami tak perlu pengakuan,” ujar Antasari Azhar, tegas. ”Pekan-pekan ini semua akan bergerak cepat,” seorang jaksa menimpali. Ia pun mulai membayangkan nasib jaksa Kemas Yahya Rahman dan Muhammad Salim kini, bisa jadi, bak di tubir jurang. ”Saya serahkan semuanya kepada pimpinan,” ujar Kemas, yang tahun depan memasuki masa pensiun.

L.R. Baskoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus