Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Makassar tragedi itu ”berkibar”: Basse, 37 tahun, mati kelaparan bersama janin tujuh bulan di dalam rahimnya. Ibu empat anak itu kemudian disusul Bahir, putranya yang baru berusia lima tahun. Keluarga ini dianiaya kemiskinan: tak berpenghasilan tetap, gagal mencukupi kebutuhan dasar, nyaris tak diurus oleh birokrasi yang seyogianya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.
Tragedi Basse membuka mata kita: negara ini belum mampu melindungi hak paling dasar warganya. Almarhumah meninggalkan kampung halamannya di Bantaeng, bersama Basri, suaminya, tiga tahun lalu. Mereka berharap bisa memperbaiki hidup. Tapi dunia yang lebih baik tak menyisakan tempat buat mereka.
Bahkan ”kekuasaan” selembar kartu tanda penduduk telah menutup hak keluarga itu untuk memperoleh bantuan beras pemerintah. Mereka masih berkartu identitas Bantaeng, walau sudah berbilang tahun tinggal di Makassar. Karena itu para perangkat pemerintah setempat tak memasukkan mereka ke daftar rumah tangga miskin—syarat mendapatkan beras bantuan.
Sayang sekali, Basse hidup di negara dengan birokrat yang hanya taat pada sekat dan definisi. Kemiskinan diukur dengan angka pengeluaran. Penduduk digolongkan miskin jika rata-rata pengeluarannya di bawah 2.100 kalori per kapita per hari. Lalu muncul persentase penduduk miskin, yang dari tahun ke tahun dijadikan dagangan politik. Pemerintah akan menepuk dada jika persentase itu menurun. Para oposan, sebaliknya, akan menuding pemerintah tak becus jika angka itu bergerak naik sedikit saja.
Angka-angka itu tak berarti apa-apa bagi Basse dan penduduk miskin lainnya. Mereka hidup di alam nyata. Yang mereka rasakan: hidup semakin mencekik dengan membubungnya harga beras, melompatnya harga minyak goreng, atau—seperti Basse—tak terjangkaunya biaya pengobatan.
Pemerintah seharusnya mencari terobosan untuk menghancurkan sekat pemisah antara angka dan realita itu. Konsep makro untuk terus menurunkan tingkat kemiskinan mutlak diperlukan. Tapi persoalan administrasi yang menghambat bantuan cepat harus juga disingkirkan. Perbedaan wilayah administrasi tak boleh menutup hak kaum papa seperti Basse memperoleh bantuan, di mana pun mereka bermukim. Jaring-jaring pendukung pemerintahan terkecil, rukun tetangga dan rukun warga, bisa berperan dalam hal ini.
Basse bukan sekadar cerita kemiskinan. Ia juga menunjukkan sikap birokrasi yang tak peka dan kehilangan empati. Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin membantah kelaparan sebagai penyebab kematian Basse dan anaknya dari sebuah kafe di Jakarta. Menggelar konferensi pers, sang wali kota berujar, Basse meninggal karena diare. Mati itu persoalan ajal, katanya.
Semua paham, tak mungkin menghilangkan kemiskinan dengan cepat, terutama di negeri penuh persoalan ini. Tapi apa salahnya berempati dengan menahan diri mengumbar pernyataan yang menyakiti hati rakyat? Apa susahnya berhenti memanipulasi kenyataan pahit menjadi akal-akalan yang menggelikan? Seyogianyalah para pejabat memastikan saja semua fakir di wilayahnya menerima bantuan, dan tak bernasib seperti Basse.
Dari Makassar tragedi itu ”berkibar”: Basse menghadap Khaliknya dengan perut lapar dan nasib telantar. Sebentar lagi kisah dukanya akan lenyap dari ingatan massa. Untuknya, juga janin dan anaknya, mari kita tundukkan kepala. Sembari berharap, tak ada lagi yang mati kelaparan seperti mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo