Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kabar Burung Penjual Es Dawet

Polisi memeriksa seorang Aremania yang mengunggah video tragedi Kanjuruhan. Para saksi ketakutan.

9 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suporter mengevakuasi seorang pria akibat gas air mata yang ditembakkan polisi usai pertandingan sepak bola Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Provinsi Jawa Timur, 1 Oktober 2022/REUTERS/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Suporter Arema FC merasa diteror setelah polisi memeriksa pengunggah video tragedi Stadion Kanjuruhan.

  • LPSK melindungi sebelas saksi kunci tragedi Kanjuruhan.

  • Suporter ikut terintimidasi kesaksian seorang penjual es dawet.

SEBAGAI Aremania, pendukung klub sepak bola Arema FC, Kelfin tak curiga ketika datang tiga orang tak ia kenal ke asramanya di Kota Malang, Jawa Timur, pada Senin, 3 Oktober lalu, pukul 14.30 WIB. Dua hari sebelumnya, Aremania berduka karena pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, berakhir dengan tewasnya 131 penonton akibat kebrutalan polisi. Kelfin menduga tiga lelaki itu adalah sesama Aremania yang hendak berbagi duka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemuda 21 tahun itu kecele. Tiga orang asing tersebut ternyata polisi. Mereka menggiring Kelfin ke mobil yang terparkir di halaman asrama. Mereka memintanya menyerahkan kartu identitas dan gawai iPhone 11. Tiga polisi tersebut lalu membawanya ke Markas Kepolisian Resor Malang. “Awalnya dia tidak menyangka dijemput polisi,” kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu pada Jumat, 7 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para polisi Malang memburu Kelfin karena ia mengunggah rekaman video ke TikTok momen tewasnya ratusan orang seusai pertandingan yang berdesakan di Pintu 13 Tribun Selatan karena panik tiba-tiba ditembak gas air mata oleh polisi. Kelfin mengunggah video itu di akunnya, @kelpinbotem, seusai pertandingan.

Video tersebut beredar luas di media sosial. Polisi lalu mencari dan memeriksa pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan di asrama itu. Didampingi atasannya, ia diinterogasi selama dua jam. Ia pulang sekitar pukul 18.30. Tapi polisi menyita telepon seluler yang merekam kejadian mengerikan itu.

Selama kekacauan itu, Kelfin merekam tiga kali. Rekaman pertama berisi suasana pertandingan Arema FC versus Persebaya. Video kedua berisi cuplikan pertandingan. Video ketiga merekam momen penonton berdesakan di pintu keluar tersebut. Polisi menyalin semua video di iPhone Kelfin.

Beberapa hari kemudian, Kelfin mengadu ke LPSK. Ia meminta perlindungan. Komisioner LPSK lalu mendampingi Kelfin mengambil kembali ponselnya dari tangan penyidik Polres Malang pada Jumat, 7 Oktober lalu.

Kabar penangkapan Kelfin sempat merebak di media sosial sejak Senin malam. Sejumlah pemilik akun menyebut Kelfin diculik aparat setelah mengunggah video tentang kericuhan di pintu keluar Stadion Kanjuruhan. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan Kelfin dimintai keterangan sebagai saksi atas kerusuhan di Stadion Kanjuruhan. “Bukan karena kepemilikan video atau mengunggahnya di TikTok,” ujarnya.

Edwin juga memastikan video dan akun TikTok Kelfin masih ada, tidak dihapus polisi. Meski begitu, peristiwa penjemputan oleh aparat telah membuat Kelfin mengalami trauma. Ia tidak bersedia diwawancarai awak media, termasuk tim Tempo. Selain melindungi Kelfin, LPSK sudah melindungi sepuluh suporter lain yang ikut menjadi saksi kunci tragedi Kanjuruhan.

Pemeriksaan Kelfin dianggap teror oleh sebagian suporter. Akibatnya sejumlah Aremania enggan secara terbuka menuntut tragedi Kanjuruhan diusut tuntas. “Teman-teman takut diciduk polisi kalau menggelar aksi dan lain-lain,” kata Ahmad Dani Naufal Hilmi, Aremania dari Universitas Brawijaya, Malang.

Tapi sebagian besar Aremania tetap mendesak polisi mencari biang keladi pembantaian Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. Mereka menyalahkan polisi yang secara membabi buta menembakkan gas air mata ke arah tribun yang memicu kematian ratusan penonton.

Alih-alih mendapat dukungan, para korban justru disudutkan di media sosial. Mereka juga memprotes beberapa pemberitaan yang dianggap menelan mentah-mentah keterangan polisi yang menyebutkan penembakan gas air mata sesuai dengan prosedur. Apalagi banyak orang yang tak berada di lapangan termakan disinformasi bahwa kerusuhan terjadi akibat ulah penonton.

Mereka makin tersudut ketika rekaman suara seseorang yang mengaku penjual es dawet di dekat pintu 3 sisi utara Stadion Kanjuruhan beredar di media sosial. Dalam rekaman berdurasi 2 menit 20 detik itu, perempuan ini mengatakan banyak jatuh korban akibat ulah Aremania yang saling berdesakan bahkan melakukan kekerasan saat mencoba keluar dari stadion. Ia juga menepis anggapan bahwa suporter menderita karena gas air mata.

Aremania menganggap rekaman itu menyudutkan para korban. Seorang suporter Arema FC, Gunawan, kemudian menelusuri pemilik suara dalam rekaman itu. Ia mendapati satu-satunya penjual es dawet di stadion bernama Sutikno dengan merek dagang Jepara 88 atau DJ88. Saat peristiwa meletus, gerobak es dawet berada di warung penjual minuman bernama Suprapti.

Gunawan meyakini rekaman suara tersebut berasal dari Suprapti. Bersama lima Aremania lain, ia mendatangi rumah Suprapti yang masih berada satu kecamatan dengan Stadion Kanjuruhan. “Sampai hari ini Malang sedang berduka, kami berharap dengan klarifikasi itu setidaknya bisa mendinginkan suasana,” ucap Gunawan pada Jumat, 7 Oktober lalu.

Mereka kaget saat mendatangi rumah Suprapti. Belasan polisi berjaga di depan gang. Aparat mengawasi rombongan Gunawan saat menuju rumah Suprapti. Seorang perempuan lain muncul dan mengatakan Suprapti tak berada di rumah.

Suprapti ternyata sedang diperiksa di Polres Malang. Saat mereka hendak pulang, seorang polisi mendekat. “Sudahlah Mas, sampeyan percaya kepada kami. Kami ini pertanggungjawabannya langsung kepada presiden,” ujar Gunawan menirukan ucapan polisi itu.

Sutikno, 45 tahun, pemilik gerobak es dawet, mengakui rekaman itu berisi suara Suprapti. Sehari-hari ia memang menitipkan penjualan es dawet sekaligus gerobaknya di warung Suprapti itu. Dari kerja sama ini, mereka berbagi penghasilan penjualan dawet.

Ia sempat kaget mendengar dan mengetahui rekaman suara Suprapti viral di media sosial, apalagi mengaku sebagai penjual es dawet. “Saya tanyakan ke Bu Suprapti: apa betul itu suara njenengan? Kok, viral di TikTok dan membawa nama dawet juga,” kata Sutikno.

Dihubungi lewat akun WhatsApp, Suprapti menjelaskan bahwa rekaman suara itu dikirim ke grup WhatsApp, bukan untuk disebarkan di media sosial. Ia tak menanggapi pertanyaan tentang motif menyebarkan cerita versinya itu grup WhatsApp. “Bukan keinginan saya untuk viral. Bahkan saya tidak tahu,” ujarnya.

Teror juga diduga terjadi di dunia nyata. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang menerima laporan seorang Aremania yang ditahan polisi karena memasang spanduk protes atas tragedi Kanjuruhan. Menurut informasi yang dihimpun LBH, suporter remaja berinisial I tersebut tinggal di Kepanjen, Kabupaten Malang.

Namun suporter muda itu ataupun keluarganya masih belum bersedia ditemui tim LBH. “Sempat ditahan beberapa jam, tapi kabarnya sudah pulang,” tutur perwakilan LBH Surabaya Pos Malang, Zhafir Galang.

Zhafir menyebutkan suporter Arema FC berbondong-bondong memasang poster, banner, ataupun spanduk di penjuru Kota dan Kabupaten Malang sebagai bentuk protes dan solidaritas kepada pendukung Arema FC yang tewas di Kanjuruhan. Spanduk bertulisan “Usut Tuntas”, “Pembantaian Berkedok Pengamanan”, dan “Tribun Bukan Tempat Pembantaian” tampak bertebaran di sejumlah titik.

Kabar penangkapan Aremania yang berseliweran belakangan ini, kata Zhafir, telah membuat para saksi dan keluarga korban berpikir ulang untuk melaporkan ataupun memberikan kesaksian seputar tragedi Kanjuruhan. “Kami mendapat informasi bahwa beberapa suporter yang memasang banner ada yang ditangkap polisi. Kami sedang menelusurinya,” ujarnya.

EKO WIDIANTO (MALANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus