Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tragedi Stadion Kanjuruhan dipicu lontaran gas air mata ke arah tribun.
Komando polisi berantakan saat kepanikan penonton pecah.
Sebagian korban tewas akibat berdesakan di pintu keluar Tribun Selatan.
SEBANYAK 35 tiket di tangan Simon Zakaria ludes terjual sepekan sebelum laga sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya digelar di Satdion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Sebagai koordinator Aremania—sebutan suporter Arema FC—untuk wilayah Gadingsari, Kecamatan Klojen, Malang, dia menjual tiket seharga Rp 50 ribu itu hanya kepada konco dekat. “Kami hanya ambil untung Rp 3.000 per tiket,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan riang gembira, mereka mendatangi stadion pada Sabtu sore, 1 Oktober lalu. Simon, 38 tahun, turut memboyong istrinya. Mereka menonton dari Tribun Timur. Tak ada suporter Persebaya yang ikut menonton di stadion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertandingan “Derby Jawa Timur” di kompetisi BRI Liga 1 itu berlangsung alot. Setelah sempat ketinggalan, Arema FC menyamakan kedudukan di babak kedua. Sebanyak 42 ribu penonton tak henti bersorak-sorai.
Sekitar pukul 21.39 WIB, wasit meniup peluit panjang. Pertandingan berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Pemain Persebaya langsung menuju ruang ganti di bawah tribun VIP di sisi barat stadion. Sementara itu, pemain dan ofisial Arema bertahan di lapangan. Setelah 23 tahun, ini pertama kalinya Arema kalah di kandang kala melawan Persebaya.
Lima menit kemudian, seorang penonton dari kursi tribun melompati pagar dan berlari ke lapangan hijau. Tingkahnya diikuti satu suporter lain. “Mereka bermaksud menyemangati pemain, bukan untuk bikin rusuh,” kata salah seorang penonton di tribun VIP yang melihat kejadian itu, Totok Prasetyo. Detik-detik suporter memeluk pemain Arema direkam, lalu beredar luas di media sosial.
Ratusan polisi yang berjaga di dalam stadion menganggap tindakan Aremania tersebut ancaman. Apalagi jumlah suporter yang turun ke lapangan makin banyak. Sebagian polisi langsung menggiring para pemain Arema ke ruang ganti. Ratusan personel lain menghalau penonton menjauh ke pinggir lapangan.
Tembakan gas air mata usai pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Indonesia, 1 Oktober 2022/REUTERS/REUTERS TV
Beberapa polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah suporter yang berserak di lapangan. Mereka pontang-panting berlarian menuju tribun. Kekacauan memuncak saat polisi melontarkan gas air mata ke arah Tribun Selatan. “Suaranya seperti petasan,” ujar Yona Arianto, salah seorang penghuni tribun VIP di sisi barat stadion.
Simon Zakaria bersama istrinya ikut panik. Ia mengatakan peluru gas air mata memang hanya ditembakkan ke Tribun Selatan. Tapi asap gas turut berembus arah penonton di Tribun Timur. Simon dan teman-temannya ikut panik. “Ayo metuo, rek (Ayo, keluar)!” kata Simon ke arah ratusan suporter di dekatnya.
Sebagian besar polisi dan personel Tentara Nasional Indonesia yang berada di sisi tenggara ikut merangsek ke lapangan. Mereka membubarkan kerumunan massa menggunakan tongkat pemukul.
Pada hari itu Stadion Kanjuruhan dijaga 2.034 personel gabungan polisi, anggota TNI, dan petugas keamanan stadion. Mereka berasal dari berbagai satuan di Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Komando Daerah Militer Brawijaya.
Simon melihat sendiri kepanikan ribuan suporter yang berupaya melarikan diri karena kepungan gas air mata. Jika terhirup, gas air mata akan membuat dada terasa sesak hingga tersedak. Mata juga terkena iritasi hingga perih. “Banyak penonton yang ambruk lalu terinjak-injak,” tuturnya.
Tembakan gas air mata itu berujung nahas. Hingga Jumat, 7 Oktober lalu, Dinas Kesehatan Kabupaten Malang mencatat korban jiwa tragedi Kanjuruhan mencapai 131 orang. Sekitar 500 korban menderita luka ringan hingga sedang.
Korban terbanyak ditemukan di Pintu 9 hingga 14 di Tribun Selatan. Mereka diduga tewas berdesakan saat berupaya keluar dari stadion. Sebagian pintu terkunci. Sementara itu, pintu lain hanya terbuka tak sampai satu meter akibat terganjal besi. Video rekaman para penonton yang terjebak di pintu yang tertutup turut beredar di media sosial.
Eko Arianto adalah salah seorang penonton yang menonton dari luar lapangan karena kehabisan tiket. Dari luar stadion, ia sempat membantu mendobrak Pintu 10 agar terbuka. Pintu itu terkunci dari dalam. Ia tak melihat satu pun petugas di sana.
Eko kemudian mencari adik dan saudaranya yang menonton tak jauh dari Pintu 14 di Tribun Selatan. Ia berlari menuju Pintu 13. Pintu lagi-lagi terkunci. Ia mencoba masuk dari Pintu 14, tapi ratusan suporter sudah menumpuk di sana.
Sejumlah penonton mengamankan rekannya yang meninggal dalam kericuhan usai pertandingan BRI Liga 1 Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022/Tempo/STR/Rizki Dwi Putra
Akhirnya Eko berhasil masuk setelah arus keluar stadion mereda di semua pintu. Adik dan saudaranya selamat. Tapi mentalnya terguncang melihat puluhan tubuh tak bernyawa yang sebagian besar anak-anak dan perempuan di sekitar Pintu 13. “Seperti kuburan massal,” katanya.
Peristiwa ini membuat sejumlah lembaga negara beramai-ramai menginvestigasi tragedi Stadion Kanjuruhan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ombudsman RI, Tim Investigasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, serta tim gabungan independen pencari fakta bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ikut turun ke Malang. “Tragedi terjadi karena ketidakjelasan garis komando,” ujar Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam.
•••
PERSAINGAN antara Arema FC dan Persebaya Surabaya melegenda sejak puluhan tahun silam. Pertandingan kerap berlangsung panas. Kedua tim memiliki ribuan suporter loyal yang siap melakukan banyak hal untuk mendukung tim kesayangan mereka. Riwayat ini menjadi alasan utama panitia menggelar pertandingan Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan tanpa kehadiran Bonek—sebutan bagi suporter Persebaya.
Namun potensi kerusuhan bisa tetap meletus. Kepolisian Resor Malang menyurati PT Liga Indonesia Baru, pengelola BRI Liga 1. Surat bernomor B/2151/IX/PAM.3.3/2022 itu meminta panitia penyelenggara memajukan jadwal pertandingan yang akan berlangsung malam menjadi sore hari.
PT Liga Indonesia Baru menolak saran polisi. Mereka beralasan pengunduran jadwal tanding akan berdampak pada penayangan pertandingan di stasiun televisi Indosiar sebagai pemegang lisensi hak siar.
Pada sore di hari yang sama berlangsung pertandingan antara Borneo FC dan Madura United. “Ada sanksi penalti yang harus mereka hadapi,” kata Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Kamis, 6 Oktober lalu.
Gagal membujuk perubahan jadwal tayang, Polres Malang menyarankan panitia menjual tiket maksimal 75 persen dari total kapasitas stadion. Dalam kondisi normal, kapasitas maksimal Stadion Kanjuruhan sebanyak 38 ribu penonton. Panitia kembali menolak permintaan ini.
Hasil investigasi Komisi Disiplin PSSI menyatakan saran itu tak bisa dilaksanakan karena tiket pertandingan telanjur ludes terjual. Untuk mengatasinya, gabungan personel keamanan yang semula direncanakan berjumlah seribuan orang ditambah menjadi 2.034 personel. “Dalam rapat koordinasi akhirnya disepakati jumlah personel keamanan ditambah,” ujar anggota tim investigasi PSSI, Ahmad Riyadh.
Ketua panitia pelaksana Arema FC-Persebaya, Abdul Haris, menolak anggapan bahwa penjualan tiket melebihi kapasitas bangku penonton. Ia mengklaim Stadion Kanjuruhan mampu menampung 45 ribu orang karena tidak didesain dengan kursi tunggal. Semua kursi penonton tribun berbentuk bangku datar dari beton yang memanjang. “Masih layak,” katanya.
Keputusan penunjukan Haris sebagai ketua panitia juga menjadi kontroversi. Komisi Disiplin PSSI pernah menghukum Haris pada 2010. Ia dianggap bertanggung jawab atas kericuhan antarpemain dalam pertandingan Arema FC versus Persema Malang.
Haris mengklaim sanksi itu dianulir saat ia mengajukan permohonan banding. Namun klaim Haris dibantah Ketua Komisi Disiplin ketika itu, Hinca Panjaitan. “Saya tidak pernah memutihkan putusan sanksi untuk dia,” ujarnya.
Polisi meyakini panitia pertandingan Arema vs Persebaya bersalah. Sebagai ketua panitia, Haris dianggap bertanggung jawab atas tragedi Stadion Kanjuruhan. “Dia mengabaikan saran polisi serta tidak membuat dokumen keselamatan dan keamanan sebelum penyelenggaraan pertandingan,” ucap Jenderal Listyo.
Haris kini menyandang status tersangka tragedi Kanjuruhan bersama lima orang lain. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita, Kepala Pengamanan Stadion Suko Sutrisno, Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo, Komandan Kompi 3 Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur Ajun Komisaris Has Darman, dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Affandi.
Akhmad Hadian Lukita dianggap lalai menjalankan audit standar kelayakan stadion. Sementara itu, Suko bertanggung jawab karena memerintahkan petugas keamanan meninggalkan pintu gerbang saat insiden terjadi.
Tiga perwira menengah yang ikut terseret dianggap bertanggung jawab atas penggunaan gas air mata. Sebab, kata Listyo, mereka mengetahui Pasal 19b Statuta Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) yang melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.
Temuan paling telak mengarah kepada Bambang Sidik dan Has Darman. Keduanya diduga memerintahkan anak buah mereka menembakkan gas air mata ke arah tribun dengan alasan mengendalikan suporter. “Tak tertutup kemungkinan jumlah tersangka bakal bertambah,” tutur Listyo.
Sebanyak 20 polisi diduga melanggar kode etik. Sebelas di antaranya personel yang melepaskan tembakan gas air mata. Penyidik polisi menyebutkan petugas melepaskan sebelas tembakan gas air mata. Tujuh tembakan mengarah ke Tribun Selatan, satu tembakan ke arah Tribun Utara, dan tiga lainnya saat menghalau suporter di lapangan.
Manajer Aremania FC, Ali Fikri, menyesalkan tindakan berlebihan aparat keamanan. Menurut dia, kehadiran para suporter semestinya bisa ditangani tanpa kekerasan. Lagi pula turunnya suporter ke lapangan bukan untuk melukai para pemain Arema.
Mereka memeluk sejumlah pemain, seperti Sergio Silva dan Johan Alfarisi, sebagai bentuk memberikan dukungan atas kekalahan dari Persebaya. “Saya sempat melihat mereka memberikan motivasi: satu hati, satu jiwa. Terus semangat,” kata Ali menirukan ucapan seorang suporter yang mendatangi pemain.
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menilai tragedi Stadion Kanjuruhan makin tak terkendali lantaran komando yang centang perenang. Ia menyoroti keberadaan Kepala Polres Malang Ajun Komisaris Ferli Hidayat saat kerusuhan pecah.
Mantan personel Staf Pribadi Pimpinan Kapolri itu tak berada di lapangan. Sebelumnya, ia berada di bangku tribun VIP. Seusai pertandingan, ia mendampingi pemain dan ofisial Persebaya keluar dari stadion menggunakan kendaraan taktis baja milik Polri. “Akibatnya setiap pimpinan lapangan mengambil diskresi masing-masing,” ujar Anam.
Dihubungi lewat akun WhatsApp, Ferli Hidayat enggan mengomentari tudingan ini. “Silakan tanyakan Mabes Polri,” ucapnya. Dua hari seusai pertandingan, Jenderal Listyo Sigit mencopot Ferli. Kini ia bertugas sebagai perwira menengah Sumber Daya Manusia Mabes Polri.
Komnas HAM juga menganggap kericuhan di Stadion Kanjuruhan dipicu kesalahan dalam perencanaan pengamanan. Sebab, surat permohonan bantuan pengamanan yang diajukan kepada Kepolisian Daerah Jawa Timur meminta bantuan personel Pasukan Anti Huru-hara (PHH).
Dalam menjalankan tugas, PHH selalu dipersenjatai dengan amunisi dan pelontar gas air mata. Problem lain muncul saat gas air mata tersebut tak sesuai dengan standar. “Di lapangan kami menemukan selongsong gas air mata yang tidak layak. Dibuat tahun 2016 dan seharusnya kedaluwarsa pada 2019,” katanya.
Jejak akibat terpapar gas air mata dapat terlihat dari tubuh korban Kanjuruhan yang meninggal ataupun yang masih dirawat. Umumnya wajah para korban terlihat membiru. Bola mata mereka menghitam akibat paparan radiasi berlebih.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan Kepanjen, Bobi Prabowo, mengatakan banyak korban meninggal karena sesak napas setelah menghirup asap gas, kekurangan oksigen, mengalami benturan, dan terinjak-injak. “Ini kompilasi dari banyak faktor. Perlu didalami lagi,” ucapnya.
Pintu keluar sektor 13 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 5 Oktober 2022/Tempo/STR/ Rizki Dwi Putra
Tim investigasi lain juga masih bekerja. Tim gabungan independen pencari fakta dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan masih menggali informasi. Terdiri atas 13 tokoh lintas profesi, tim ini diketuai Menteri Mohammad Mahfud Md. “Kami ditargetkan selesai dalam waktu tiga pekan,” ujar salah seorang anggota tim, Akmal Marhali.
Komisi Disiplin PSSI sudah menjatuhkan sanksi kepada Abdul Haris, Suko Sutrisno, dan manajemen Arema FC. Haris dan Suko dilarang mengurus sepak bola di Indonesia seumur hidup. Manajemen Arema FC didenda Rp 250 juta.
Selama setahun ke depan, pertandingan Arema dilarang dihadiri suporter. Mereka hanya boleh menggelar pertandingan paling dekat 250 kilometer dari Malang. “Jika tak dilaksanakan, hukuman akan diperberat,” kata Ketua Komisi Disiplin PSSI Erwin Tobing.
IRSYAN HASYIM, EKO WIDIANTO (MALANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo