Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian korban tragedi Kanjuruhan adalah anak-anak yang dibawa orang tua.
Mereka meninggal karena lemas setelah terkena gas air mata dan berdesakan keluar dari stadion.
Awalnya mengira pertandingan berlangsung aman.
SEHARI sebelum tragedi Stadion Kanjuruhan terjadi, Jumat, 30 September lalu, Anggara Putra Pratama menggambar sketsa wajah hingga separuh badannya. Anak 13 tahun siswa kelas II sebuah sekolah menengah pertama ini sebetulnya tak punya hobi menggambar. Tapi hari itu ia tekun membuat sketsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharian ia menggambar di rumah. Ia tak beringsut hingga sketsa itu selesai. Angga—sapaan Anggara Putra Pratama—menuliskan nama dan tanda tangan di sketsa itu. Kertas itu ia selipkan di bingkai plastik berdebu yang sudah pecah kacanya. Bingkai foto itu menampung wajah ayahnya, Imam Sofi’i. Angga membalik foto ayahnya untuk ruang sketsanya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sketsa itu terpacak di bufet ruang tengah rumah mereka di Desa Blayu, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Esoknya Angga pamit hendak menonton pertandingan sepak bola antara Arema FC, klub kesayangannya, dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. “Waktu pamit, dia terlihat senang dan bersemangat,” kata Sholehatun Romla, 33 tahun, ibu Angga, pada Jumat, 7 Oktober lalu.
Romla tak kuasa menahan tangis ketika ditanyai tentang anak sulungnya itu. Ia ingat suaminya sempat melarang Angga menonton pertandingan sepak bola. Imam khawatir terhadap keselamatan anaknya. Soalnya, Angga sebelumnya tak pernah menonton pertandingan sepak bola di stadion. Imam luluh ketika anaknya memprotes. “Nonton-nya kan sama teman-teman mengaji,” ujar Imam menirukan anaknya. “Aku wes nabung lho, Yah, untuk beli tiket. Nanti berangkat dijemput Mas Mukhlis.”
Makam Anggara Putra Pratama pelajar yang meninggal dunia dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, di Wajak, Malang, Jawa Timur 7 Oktober 2022. TEMPO/Abdi Purmono
Imam, Romla, dan adik perempuan Angga yang berusia 4 tahun sudah tertidur ketika kekacauan di Stadion Kanjuruhan meletus sekitar pukul 10 malam. Mereka baru mendengar ratusan penonton tewas akibat terjepit saat berebut hendak keluar dari stadion untuk menghindari tembakan gas air mata polisi pada esok hari.
Sewaktu kabar itu sampai ke telinga mereka, Imam dan Romla berharap Angga tidur di pondok pengajian desa karena ia berangkat bersama guru mengaji dan tiga temannya. Air mata buruh tani dan peternak sapi ini tumpah ketika sebuah ambulans berhenti di depan rumah mereka dan menurunkan jenazah Angga.
Anggara Putra Pratama adalah salah satu korban kesewenang-wenangan polisi dan tentara menangani pertandingan sepak bola. Ada 131 nyawa melayang, 39 di antaranya anak-anak—termasuk Angga. Petugas ambulans dari Rumah Sakit Wava Husada mengatakan jenazah Angga ditemukan di rumah sakit itu. Muhammad Ali Mukhtar, 17 tahun, teman pengajian Angga yang berangkat bersama, juga kembali tak bernyawa. Jasadnya ditemukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan.
Saat membuka jenazah anaknya, Imam melihat tubuh Angga terlihat menghitam. Menurut petugas RS Wava Husada itu, Angga ada kemungkinan tewas karena terlalu banyak menghirup gas air mata dan terinjak-injak ribuan penonton di pintu keluar stadion. “Jasad anak saya gelap setengah badan, persis warna gambar hitam-putih yang dibuatnya,” tutur Imam dengan suara lirih.
•••
PERTANDINGAN Arema FC melawan Persebaya Surabaya malam itu ditonton 42 ribu Aremania—sebutan untuk pendukung klub sepak bola Malang ini. Bagi Aremania, pertandingan melawan Persebaya adalah hajat besar. Kedua klub sudah lama bersaing menjadi juara. Mereka menyebut pertandingan malam itu sebagai “Super Derby Jawa Timur”.
Arema kalah 2-3 malam itu. Pertandingan berjalan seru. Menjelang peluit panjang, Arema punya banyak peluang, tapi tak kunjung menyamakan kedudukan. Aremania yang geregetan di bangku penonton bersorak-sorai memberi dukungan. Hingga pertandingan selesai, mereka patuh di tribun. Sampai polisi menembakkan gas air mata sebanyak 40 kali ke arah mereka dengan dalih mencegah kerusuhan setelah melihat satu-dua penonton turun ke lapangan hendak memberikan semangat kepada para pemain Arema.
Gas air mata itu yang membuat mereka panik. Yona Arianto, seorang jurnalis media daring yang menonton dari tribun VIP, bersaksi, pukul 10 malam itu lapangan Kanjuruhan penuh dengan penonton yang turun. Polisi dan tentara tampak beringas menghalau mereka. “Saya kaget sekali polisi berkali-kali menembakkan gas air mata ke tribun,” katanya.
Sepatu bayi dan sandal yang tertinggal di depan Pintu C, Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 7 Oktober 2022. TEMPO/Abdi Purmono
Ribuan suporter, khususnya di Tribun Selatan, berhamburan. Yona melihat hampir semua suporter yang melarikan diri terlihat lemas dan mengalami sesak napas. Sebagian berlari menuju tribun VIP yang bersebelahan dengan Tribun Selatan. Puluhan orang terlihat ambruk. Suasana makin mencekam ketika lampu-lampu stadion tiba-tiba padam.
Bersama belasan wartawan lain, Yona berupaya membantu penonton yang kolaps ke ruang Media Centre di bawah tribun VIP. Di tengah kekacauan itu, ia melihat seorang laki-laki berjalan sempoyongan menyeret putranya yang berusia sekitar 10 tahun. Si anak sudah pingsan. “Bapak itu berteriak dengan suara serak: tolong anak saya, tolong anak saya,” ucap Yona.
Media Centre pun berubah menjadi ruang evakuasi darurat. Yona bersama rekan-rekannya mencoba menolong mereka dengan napas buatan. Banyaknya orang yang kolaps karena menghirup gas air mata membuat para wartawan tak kuasa menolong mereka. Yona melihat banyak yang pingsan meregang nyawa di ruang Media Centre.
Yona tak ingat berapa orang yang meregang nyawa di depan matanya. Selain membantu ayah yang menyeret anaknya itu, Yona menolong seorang laki-laki yang membawa dua anaknya yang berusia di bawah 10 tahun. Salah satu anaknya meninggal dalam keadaan lemas. “Anak yang satu selamat setelah ada bantuan medis,” katanya.
Satu keluarga yang menonton di Tribun Selatan dan lari ke ruang VIP adalah keluarga Rudi Hartono. Laki-laki 34 tahun ini datang ke Kanjuruhan bersama Elmiati, istrinya, dan Virdy Prayoga, anak mereka yang berumur 3 tahun. “Saya ajak mereka menonton Arema supaya senang,” ujar Elmiati. “Saya pikir karena tak ada penonton Persebaya jadi akan aman.”
Ketika polisi menembakkan gas air mata ke Tribun Selatan, Rudi segera menggendong Virdy dan menyeret istrinya ke Pintu 13. Di sana ratusan orang berdesakan dan berebut keluar dari stadion. Gelap, sesak napas, dan panik membuat mereka saling tiban menuju lubang pintu yang hanya bisa muat satu-dua orang. “Saya terdorong ke belakang dan terpisah dari anak dan suami,” kata Elmiati, terisak.
Elmiati mengira suami dan anaknya berhasil keluar dari stadion. Ia sendiri ditarik seorang penonton lain dan dievakuasi kembali ke kursi di tribun. Setelah kesadarannya kembali dan tenaganya lumayan pulih, Elmiati melihat belasan tubuh bergelimpangan di Pintu 13. Saat hendak turun, ia bertemu dengan adik Rudi.
Keduanya pun tersaruk-saruk mencari mereka. Rudi dan Virdy tak ada di seluruh stadion yang dipenuhi orang dengan tangisan histeris. Elmiati mendengar para korban dilarikan ke RSUD Kanjuruhan. Bersama adik iparnya, ia naik sepeda motor ke sana. “Suami dan anak saya ada di kamar jenazah.” Tangis lalu Elmiati meledak.
Gambar hitam putih ini dibuat Anggara Putra Pratama (Angga) satu-dua hari sebelum tragedi Kanjuruhan terjadi, di Malang, Jawa Timur, 7 Oktober 2022/Tempo/Abdi Purnomo
Kekacauan di Stadion Kanjuruhan masih menyisakan trauma bagi Ari Bowo Sucipto. Pewarta foto ini menyarungkan lensa kameranya ketika melihat banyak penonton kolaps di depan matanya. Ia membopong salah satunya ke ruang instalasi gawat darurat stadion. Saat menggotong seorang penonton, Ari masih merasakan napas remaja itu di wajahnya. “Sampai di ruang instalasi napasnya sudah tak ada,” tuturnya. “Saya syok sekali.”
Dendy Ganda Kusuma, fotografer lain, juga masih syok dengan apa yang dilihatnya di Stadion Kanjuruhan. Di Pintu 13 Tribun Selatan, Dendy melihat seorang laki-laki membopong jenazah bayi yang meninggal karena terinjak. Menurut laki-laki itu, bayi tersebut terpisah dari ayahnya yang belakangan juga ditemukan meninggal. “Aku terguncang,” kata Dendy. “Bayi itu mirip anakku.”
ABDI PURMONO, EKO WIDIANTO (MALANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo