Di antara flat-flat jangkung di jalan D'amelio, salah satu sudut kota Palermo, seorang lelaki berkumis tebal ke abu-abuan ke luar dari Fiat 126. Tubuhnya yang tinggi, dengan perut sedikit menonjol dibungkus jas gelap. Lima petugas berseragam biru-biru -- satu di antaranya wanita muda. dengan mata yang terus awas dan cermat berusaha menangkap setiap kelebat gerak di sekitar lelaki itu. Mereka menjaganya dengan ketat. Hari itu hari libur, Minggu 19 Juli. Cuaca Palermo ibukota Sisilia -- pulau di selatan Italia, disiram matahari musim panas. Lelaki itu, Paolo Borsellino, 52 tahun, mencuri sedikit waktu bersantai di sela hari-harinya yang tegang sebagai hakim. Pagi itu Borsellino mampir ke D'amelio untuk makan siang di flat ibunya. Ketika ia sedang mengetuk pintu, terdengar ledakan maha dahsyat. Borsellino terkapar dan pengawal-pengawalnya rubuh. Tembok-tembok flat rontok, seketika dan lusinan mobil yang diparkir di depannnya ringsek. "Saya melihat api dan asap di mana-mana, puing-puing berterbangan, " kata seorang petugas polisi yang patroli di kawasan D'amelio dan ikut terluka. Sumber ledakan Fiat 126 yang tadi ditumpangi Borsellino. Sebuah bom plastik disusupkan di bawah mobil anti peluru itu. Musuh Borsellino ingin meyakinkan sasarannya mati dan mereka menempelkan 80 kilogram bahan peledak Semtex buatan Ceko. Jumlah yang lebih dari cukup untuk menerbangkan lima nyawa, termasuk Borsellino, penyidik garis depan yang berusaha mengurai jaringan gangster Itali, Cosa Nostra. Mudah menebak siapa di balik pembunuhan Borsellino. Berita kematian hakim anti mafia itu menimbulkan ledakan baru di seantero Palermo. Ribuan penduduk turun ke jalan mengunjuk kemarahannya pada kebiadaban Cosa Nostra. Polisi-polisi, yang ditugaskan untuk mengawal para hakim dan jaksa yang tengah mengusut kejahatan mafia -- jumlahnya sekitar 400, juga unjuk gigi. Tugas mereka, katanya, terbukti sama dengan kontrak untuk mati. Ratusan polisi, anggota masyrakat kemudian melancarkan demontrasi ke kantor gubernur Palermo. Mereka melempari gubernuran dengan batu, meludah sambil mencaci maki kepala polisi Palermo yang tak bisa menjamin keamanan Borsellino dan para pengawalnya. Sebagian demonstran berkumpul di muka rumah janda Borsellino. Mendukung keputuan keluarga hakim itu, menolak pemakaman negara. Aktivis-aktivis anti mafia berkampanye, dan para pakar kriminal membahas pengeboman itu. Mereka membaca pesan di balik pembunuhan itu. "Kami bisa membunuh siapa saja, di mana saja, kalau diintimidasi." Ini "pesan" kedua Cosa Nostra. Kurang dari delapan minggu sebelum kematian Borsellino, 23 Mei lalu, pasangan kerja Borsellino, Jaksa Giovanni Falcone, 53 tahun dibantai. Ketika itu Giovanni dan istrinya, Francesca Falcone baru kembali ke Palermo dari sebuah perjalanan. Seperti biasa, Falcone, si rambut putih bertampang kebapakan itu, lebih suka menyetir sendiri sedan Fiat Croma putihnya. Pengawal-pengawalnya mengiringinya dalam dua mobil, di depan dan di belakang kendaraan Falcone. Iringan tiga mobil itu ke luar dari airport sekitar pukul enam sore dan memasuki jalan tol. Baru sepuluh menit melaju, terdengarlah ledakan itu. Setengah ton TNT yang ditanam di saluran angin di perut jalan menyemburkan ledakan. Mobil paling depan terlempar dan jatuh ke ladang zaitun, 200 meter dari jalan. Tiga polisi di dalamnya mati seketika. Fiat Croma Falcone berguling ke pinggir jalan dan terpuruk di lubang sedalam 10 meter. Hanya penumpang mobil ketiga yang selamat. Falcone mati di perjalanan menuju rumah sakit. Istrinya menyusul lima jam kemudian. Pertunjukan horor semacam itu, membangkitkan emosi penduduk Palermo. Bandit-bandit itu bukan cuma membunuh, tapi mengeksekusi para pejabat dengan cara sadistis, membuat tubuh korbannya hancur berkeping-keping. Ini mengubah citra mafia di kalangan penduduk Sisilia. Di Sisilia, kawasan selatan Italia itu, Cosa Nostra membangun organisasi dengan cara-cara modern sekitar 1957. Mafia Itali mulai go internasional, bekerja sama dengan mafia Amerika. Pentolan keluarga-keluarga terkemuka di kedua belah fihak mengadakan pertemuan beberapa kali di Palermo dan New York. Hasil pertemuan mereka masuk ke bisnis narkotik. Gangster AS punya duit, mafia Itali punya jaringan. Dengan merjer, masing-masing bisa mengeruk keuntungan maksimal. Sisilia, dianggap pos ideal secara georgafis, karena berada di tengah kawasan produksi di sebelah timur -- Asia Kecil, dan pasar -- di Eropa dan Amerika. Pada mulanya mafioso-mafioso dipandang sebagai orang terhormat di Sisilia. Kelompoknya dianggap " organisasi kemasyarakatan", tempat orang meminta tolong -- meski pun tidak gratis. Dan mereka punya semacam kode etik untuk tidak menyakiti wanita, anak-anak, dan menghormati gereja. Dengan bersatunya kelompok bandit itu dengan dunia bandit internasional, mafia menjadi besar. Orang Itali menyebutnya La Piovra (gurita), karena kelihaiannya menyamar dan memulihkan lengannya yang putus. Pada dekade terakhir, mafia mulai dianggap komplotan penjahat, karena prestasinya dalam menciptakan kecanduan narkotika. Mafia pizza masa kini juga tak rikuh merekrut anak-anak tanggung untuk pekerjaan membunuh. Membunuhi wanita atau memperkosa kerabat musuh, tidak diharamkan lagi. Salah satu wanita korban pemerkosaan menuturkan, ia telah ditelanjangi dan diperkosa di muka anaknya yang berumur sekitar 2 tahun. Bajingan-bajingan itu juga berani mengancam pendeta dan tokoh agama. Pembunuhan oleh mafia menempatkan Itali dalam rangking pertama tingkat pembunuhan di kelompok masyarakat Eropa. Tahun lalu, misalnya ada lebih dari 700 kali pembantaian. Sementara praktek-praktek kejahatan tradisional seperti memeras, merampok, menguasai perjudian dan penyelundupan jangan ditanya. Maka bertumbuhan gerakan-gerakan anti mafia di Itali. Aksi-aksi itu tak pernah kehabisan bensin. Umpamanya ketika pengusaha tekstil Libero Grassi dibunuh akhir tahun lalu karena menolak membayar pizzo, uang perlindungan. Akibat pembunuhan itu sekelompok pengusaha pria dan wanita dari berbagai kota di Itali mengangkat sumpah. Tak sudi diganggu bandit-bandit pemeras. "Mereka tidak bisa membunuh kami semua bila kita bersatu mengatakan 'Tidak', " kata Gabriella Sicuro yang bergabung dalam persatuan anti pemerasan itu. Partai yang program utamanya menumpas mafia, mendapat sambutan. Seperti partai La Rete, yang didirikan bekas walikota Palermo, Orlando. Meski pun baru berdiri setahun, La Rete mengumpulkan suara terbanyak kedua di kursi parlemen April lalu. Seorang wanita Palermo, yang dua saudaranya mati di tangan mafia, rela menjadi saksi polisi, kendati ibu dan tujuh saudaranya yang masih hidup memusuhinya, dan usaha kafetarianya terpaksa tutup karena tetangga-tetangganya menghasut tamu-tamu dengan menjuluki tempat makan itu sebagai "kafe pengkhianat". Sebenarnya bendera perang sudah pernah dikibarkan pemerintah pada tahun 80an. Para penegak hukum yang tidak bisa dibeli, seperti Falcone dan Borsellino berdiri di garis depan. Falcone sejak tahun 1982, ditunjuk untuk memimpin gugus tugas anti mafia yang dibentuk tak lama setelah seorang pejabat Palermo dibantai mafia. Ia berpasangan dengan Borsellino yang sejak lulus sebagai hakim banyak ditugasi menyelesaiakan kejahatan bandit terorganisir itu. Dengan kedudukannya itu, Falcone yang bertubuh besar, mengais pengakuan anggota Cosa Nostra dengan keringanan hukum sebagai imbalannya. Bukan tugas ringan memang. Tim anti mafia ini sehari-hari dilindungi 58 pengawal. Kerja duet Falcone dan Borsellino ini mendapat titik terang , setelah seorang bandit papan atas membelot ke polisi pada 1984 karena tak tahan teman dan keluarganya menjadi korban pembunuhan antar gang. Ialah Don Masino alias Tommaso Buscetta yang dikenal sebagai "bos dari dua dunia", karena duduk sebagai pengawas operasi penyelundupan narkotika di Itali dan Brazil. Buscetta mengungkap bukti-bukti baru tentang operasi "pemerintah"nya. "Nyanyian" Don Masino ini kemudian disambung pengakuan beberapa perwira menengah mafia lainnya menyerhakan diri ke polisi. Maka, tahun 1986, petugas hukum, dimotori penuntut umum Falcone dan hakim Borsellino, bisa menggiring 338 anggota Cosa Nostra ke muka pengadilan Palermo. Mulai dari bos dari segala bos, Luciano Liggio sampai picciotti serdadu, dari perancang, pembunuh, sampai tukang copet. Karena jumlahnya yang kolosal peristiwa ini dinamakan "pengadilan maksi". Begitu berbisanya gangster-gangster ini, pemerintah Itali tak berani menyidangkan mereka dalam ruang terbuka. Ruang pengadilan untuk bandit-bandit ini dibangun secara khusus, di bawah tanah penjara L'ucciardone, dengan biaya US $ 19 juta. Para pesakitan dibawa ke deretan "kandang" kaca dilapisi jeruji untuk mendengar tuduhan-tuduhan, melalui sebuah lorong yang menghubungkan barak penjara dengan pengadilan bungker itu. Di luar, pintu penjara diganjal tank dan sedikitnya 25 petugas. Lewat pengadilan selama setahun, 338 terdakwa ini dijatuhkan hukuman yang kalau ditotal menjadi 2700 tahun penjara. Pengadilan itu membuat banyak orang Itali angkat topi untuk Falcone. Ia dipandang sebagai pahlawan nasional. Namun kemenangan Falcone berumur pendek. Banyak dari tahanan mendapat keringanan hukuman atau masa hukumannya diubah. Kini, hanya tinggal 50 kepala mafioso di balik penjara Palermo. Falcone geleng-geleng kepala. Ia, seperti kebanyakan orang Itali, menuding birokrat-birokrat korup di balik pembebasan tahanan yang susah payah dijegalnya. Duet Falcone dan Borsellino bangkit kembali. Mereka merancang strategi baru yang lebih sistematis untuk tim anti mafianya. Yaitu mencari data-data untuk menombak kepala gurita dan menggulung kaki tangannya di "palatzo" , gedung pemerintah. Sadar bahaya mengintai setiap saat, dua tahun lebih Falcone dan istrinya yang juga hakim -- mereka tak punya anak, tinggal di bungker yang dijaga puluhan polisi. Sementara agenda kehidupan keluarga Borsellino serba tak pasti. Anak-anak Borsellino, tiga orang, faham bahwa mereka bukan orang-orang bebas lagi. Kemana-mana dikawal. " Ayah saya juga dikenal umum sebagai orang yang tidak suka bicara ditelepon, " kata Fiameta yang ketika ayahnya terbunuh sedang berlibur di Bali. Borsellino, yang dikenang anak-anaknya sebagai ayah yang penuh perhatian itu, tampaknya kuatir pembicaraan lewat kabel itu bocor ke tangan mafia. Menurut rekan-rekan dekat keduanya, duet Borsellino dan Falcone, sudah mendapat kepastian bahwa Salvatore Rina yang kini bermukim di sebuah bukit di kota Corleone, selatan Palermo adalah godfather Sisilia sejak 1962. Borsellino juga sudah mengantungi nama tokoh-tokoh dan pejabat pemerintah yang "dibeli" mafia. Hebatnya lagi, Borsellino sudah merangkul saksi kunci yang bersedia menggunting bosnya. Koran Roma II Messaggero menulis bahwa saksi penting itu Gaspare Mutolo. Mutolo adalah pembunuh yang menyerahkan diri. Ia dulu pernah bertugas sebagai pedagang narkotika dan menjadi tangan kanan Riina merangkap supir gembong mafia Riina itu. "Mutolo sudah memberikan lima nama politikus, beberapa jaksa, hakim, pengacara dan polisi yang punya hubungan erat dengan Mafia," begitu kata koran II Messaggero. Namun bukti-bukti itu terbang bersama kematian Falcone dan Borsellino secara berturut-turut. Di samping kesedihan, rekan-rekan kerjanya menapak jalan buntu untuk melanjutkan kerja rekannya. Masalahnya, duet itu lebih senang menyimpan data-data dalam otaknya. Guisseppe Alaya, bekas hakim pool anti mafia Palermo yang kini bertugas di Roma, menggambarkan kedua rekannya seperti komputer berjalan. "Mereka mencatat semua info penting di kepala. Kata mereka di situ lebih aman," kata Ajala. Borsellino menganggap berapa lapispun pengaman data-data itu, mafia gampang sekali menembusnya.Ada pun saksi Mutolo, menurut II Messaggero, " hanya mau bicara dengan Borsellino." Maka ketika dua pendekar yang begitu diharap tamat riwayatnya, Palermo bergolak. "Apa yang bisa kami lakukan, kalau pemerintah tak berbuat apa-apa ?" teriak seorang wanita di antara sekitar 8000 massa di muka gereja Santa Lucia -- tempat misa pemakaman Borsellino dilangsungkan. Aksi-aksi protes berlangsung terus selama seminggu. Ada aksi mogok makan oleh 60 wanita di taman tengah kota Palermo. Tuntutan mereka perangi kekejaman mafia. warga Palermo benar-benar merasa tak aman lagi. Mereka bahkan kuatir dekat-dekat mobil berpelat pemerintah. Jangan-jangan penumpangnya sasaran mafia, siapa tahu mobilnya sudah dipasangi bom. Akhirnya Sabtu dua pekan lalu, pemerintah Itali memobilisasi 7000 tentara. Berseragam lengkap dan memanggul senjata. Mereka dikirim ke Sisilia, dengan tugas mencari mafiosi di tiap jengkal tanah Sisilia, menyita senjata-senjata gelap dan mencegah aksi-aksi kekerasan sang gurita, La Piovra. Suasana ibukota Palermo tak ubahnya dalam keadaan darurat perang. Helikopter mengerung-gerung menyisir tempat-tempat yang diduga sebagai penampungan pelarian mafia. Tapi sehari setelah "pengumuman perang" itu, jatuh satu korban lagi. Kali ini inspektur kepala Giovanni Lizzio, kepala pasukan anti pemerasan di Catania -- kota kedua di Sisilia. Dua pengendara motor berhelm, memuntahkan peluru ke tubuh Lizzio di tengah jalan. Lizzio tiga tahun lalu meringkus mafia yang mencoba memeras pemilik pabrik plastik. Pembunuhan terakhir itu, kata aktivis anti mafia terkenal di Catania, adalah sebuah pernyataan untuk menggoyang pemerintah PM Giuliano Amato. "Kami tak gentar," begitu kira-kira bunyinya. Memang, kata pemimpin partai La Rete, Leoluca Orlando, " Tentara dengan senjata di tangannya tak pernah tahu berapa banyak uang mafia yang beredar atau siapa-siapa teman-teman politikus mereka yang duduk di pemerintahan." Bunga Surawijaya (Jakarta) dan Lisa Salusto (Napoli)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini