Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jarum Pelindung Janin

Rumah sakit ibu hamil dan anak-anak kini dilengkapi teknik pengobatan akupunktur. Masyarakat punya pilihan.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arina, 28 tahun, mengeluh soal bau mulutnya yang dua tahun tak kunjung membaik. Bolak-balik datang ke dokter spesialis penyakit dalam dan telinga-hidung-tenggorokan, aroma mulutnya tak kunjung sedap dicium. Dia pun mulai putus asa dengan pengobatan Barat.

Arina kemudian memutuskan pergi ke klinik akupunktur Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Slipi, Jakarta Barat. ”Tenggorokan saya terasa kering setelah pengobatan pertama,” katanya.

Dokter Melya Warianto, sang akupunkturis, menilai penyakit Arina memang tak bisa sekali dua kali mendapat terapi tusuk jarum. Sebab, sumber masalahnya lama tak diobati, yaitu sembelit. Maklum, Arina cuma bisa tiga hari sekali buang air. Gas busuk di perutnya pun mencari jalan ke atas, melalui mulut.

Di rumah sakit itu, Arina menjalani terapi aku­punktur di muka, lidah, perut, dan bagian pantat. ”Untuk merangsang otot dubur supaya sensitif jika ada kotoran yang akan keluar,” ujar Melya. Setiap bagian dibiarkan selama 20 menit. Hasilnya? Arina kini pede abis. Mulutnya tak lagi bau.

Rumah Sakit Harapan Kita memang terhitung belum lama ”bersahabat” dengan pengobatan akupunktur. Sejak Januari tahun lalu, rumah sakit itu membuka unit alternatif ini. Namun, kendati unit ini relatif baru, Melya punya pasien beragam: dari yang mengeluh sakit kepala, mual karena hamil, sampai bau mulut tadi. Akupunktur bisa me­ngurangi keluhan-keluhan itu. Sebab, jarum-jarum merangsang titik-titik meridian meredam gejala sakit. ”Saat pengobatan modern susah menyembuhkan, akupunktur sebagai pengobatan Timur membantu,” kata Melya.

Dokter di rumah sakit ibu dan anak yang berdiri sejak 1979 ini menyadari efek obat-obat ki­mia kadang tak baik bagi kesehatan janin dan anak. Melya pun sering mendapat rujukan dari dokter-dokter di Rumah Sakit Harapan Kita ketika ia berpraktek di Puskesmas Jatinegara—sebelum bergabung dengan rumah sakit itu.

Begitu bergabung, Melya segera mendapat pasien ibu-ibu hamil dan anak-anak. ”Mereka meminta saya mengobati mual, karena takut janin terganggu kalau diberi obat-obatan,” ucapnya. Saat itu ruang praktek Melya nebeng di ruang yang pagi harinya dipakai untuk memeriksa kehamilan.

Melya belajar akupunktur di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama empat tahun sejak 1988. Pada 1996, Puskesmas Jatinegara memakai jasa­nya. Dari tukang cendol sampai sopir bajaj menjadi pelanggannya. ”Saat itu memang cuma kalangan bawah yang pakai akupunktur, karena lebih murah dibanding pengobatan medis dari Barat.”

Kendati akupunkturis, Melya tidak buta terhadap diagnosis medis. Sebelum belajar akupunktur, dia adalah dokter umum lulusan Universitas Krida Wacana. Gabungan pengetahuan kedokteran ala Barat dan Timur itulah yang sangat membantu kecakapannya kini.

Menurut dia, akupunktur memang lebih seperti pelengkap penyembuh tanpa efek kimiawi. Untuk sakit pinggang yang berulang-ulang, misalnya, pengobatan medis ala Barat memang sebaiknya didahulukan. Bila tak ada keretakan atau pergeseran tulang, barulah ilmu akupunktur bisa membantu. Terapi dengan tusukan jarum di meridian tertentu yang disesuaikan dengan diagnosis dokter bisa menghalau sumber penyakit.

Melya mengatakan keberadaan klinik akupunktur di rumah sakit mewah saat ini, seperti Harapan Kita, sudah menjadi kebutuhan. ”Pasien jadi bisa memilih (pengobatan Barat atau Timur),” ujarnya. Apalagi, menurut dia, saat ini kesadaran para dokter tentang keinginan back to nature semakin tinggi, sehingga rumah sakit perlu melengkapi fasilitasnya dengan pengobatan dari Timur itu.

Awalnya akupunktur dianggap sebagai peng­obatan alternatif, dan kini masyarakat mulai membutuhkan pengobatan ini. Buktinya, Melya kian sibuk melayani pasien dengan tarif belasan ribu rupiah setiap pagi hingga sore hari di Puskesmas Jatinegara, dan malamnya giliran masyarakat kelas menengah ke atas yang merasakan pijatan jarum-jarum mungilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus