Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tertipu pak "kiai"

Kiai djumaeri di banaran, semarang, mengaku bisa melipatgandakan uang. hasan rohmat, pegawai depag tamatan iain yang punya utang ratusan juta rp terayu. uangnya yang didapat dari rentenir amblas. (ina)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG kiai didatangi pegawai kantor agama. "Pak Kiai, saya mengalami kesulitan uang. Saya dililit utang ratusan juta. Apa Pak Kiai bisa melipatgandakan uang saya?" Lho -- ini pegawai Departemen Agama. Lulusan IAIN pula. Minta agar hartanya di-"mistik"? Masya Allah. "Oh, bisa, bisa . . . ," jawab Pak Kiai, di rumahnya di Desa Banaran, Semarang. Entah bilang insya Allah entah tidak, Pak Kiai mengajukan syarat: uang harus bernilai lebih dari Rp 5 juta. "Saya bisa melipatgandakannya sampai 15 kali dalam waktu 40 hari," kata Kiai. Masya Allah. Waktu panjang itu akan digunakannya, katanya, untuk berpuasa dan berziarah ke makam-makam para wali. Dan untuk keperluan itu ia minta Rp 650 ribu. Hasan Rohmat, pegawai Kanwil Depag Jawa Tengah itu, setuju. Ia langsung pinjam uang -- dengan borg rumah. Dan esok harinya menemui kiai yang memang dikenal punya "ngelmu" itu, sambil menyerahkan Rp 13.150.000. Perincian: Rp 12,5 juta untuk dilipatgandakan, sisanya untuk "biaya lain-lain". Maklum jugalah, kiranya, bila sarjana kita ini kehilangan akal: bisnisnya memang ambruk. Bisnis apa? Pencetakan kalender dan jual-beli tosan aji alias keris. Masya Allah. Empat puluh hari. Lewat. Dan Hasan mendatangi rumah Kiai. Sudah Anda duga, tak bakalan ada uang yang dijanjikan itu. "Wah, saya gagal. Permohonan saya rupanya tak dikabulkan para sunan," kata Djumari. Masya Allah. Dan, setelah tak dikabulkan, ia lantas membelanjakan uang itu: membeli tiga bidang tanah perumahan, tiga pesawat televisi, tiga untai kalung. Harus tiga-tiga, memang -- ini alam pikiran kiai. Langsung pak doktorandus melaporkan soalnya ke polisi -- dan meminta semua barang yang dibeli dari uangnya itu disita sebagai bukti. Memang, kasus yang terjadi bulan Mei tahun lalu itu menyebabkan Kiai Djumari kemudian duduk sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Semarang. Dan, akhir September lalu, hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk si pesakitan. Semua barang bukti jadi dikembalikan kepada Hasan. Tapi, di mana gerangan Pak IAIN? Ternyata, sudah setahun ini ia tak masuk kantor. "Dia dinyatakan buron," kata Arbain, Sekretaris Kanwil Depag setempat. Masya Allah. Istilah buron ini muncul karena, setidak-tidaknya, yang bersangkutan sudah dicari-cari ke berbagai tempat dan tidak kunjung didapat. Adakah sebab lain pencarian itu, selain soal absen dari kantor, belum disebut. Toh, sebenarnya bisa dipaham: selain ia dikejar utang ratusan juta (seperti dituturkannya kepada Djumari itu), utang baru yang lebih dari sepuluh juta itu jangan dilupakan. Juga jangan dilupakan: utang itu diperolehnya dari . . . rentenir. Riba, riba. Masya Allah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus