Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari enam anak Soeharto, garis hidup Hutomo Mandala Putra alias Tommy boleh dibilang paling berliku. Keluar-masuk ruang pengadilan, diburu polisi ke mana-mana, mendekam di penjara Nusakambangan, dan kini masih terus ”berkelahi” dengan pemerintah dalam sejumlah kasus di pengadilan.
Tommy ditangkap pada November 2001 dengan tuduhan menjadi otak pembunuhan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita. Sang hakim menyambut ajal di ujung peluru, Juli 2001. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memvonis Tommy 15 tahun penjara. Dia terbukti melakukan empat tindak pidana: kepemilikan senjata api, kepemilikan amunisi, pembunuhan Syafiudin, serta melarikan diri.
Putra kesayangan Soeharto itu dihukum kurung di Cipinang, Jakarta Timur. Berbeda dengan narapidana pembunuhan lain, Tommy punya ruang pribadi berfasilitas komplet. Ada kamar mandi dalam dan mesin pengatur suhu. Hampir setiap hari istri, anak, kawan, dan kerabat datang membesuk ke penjara.
Dari Cipinang dia dipindahkan ke Nusakambangan, 16 Agustus 2002. Di sana dia menghuni salah satu sel Admisi dan Orientasi bersama ”Paman Bob” alias Mohammad Hasan, kawan bapaknya. Di ruang tersebut ada televisi dan koran baru setiap pagi. Setumpuk buku, dari soal wirid dan tahlil hingga agroindustri melengkapi isi kamar. Perkakas untuk aneka keperluan juga tersedia.
Saat berada di Nusakambangan, Tommy beberapa kali ke Jakarta menjenguk sang ayah yang ketika itu sedang sakit maupun untuk berobat. Narapidana lain belum tentu beroleh izin bahkan bila ada kerabat yang meninggal. Pada Juni 2005, Mahkamah Agung mengkorting hukumannya dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Tommy datang lagi ke Jakarta menjelang ulang tahunnya yang ke-43, Juli 2005. Kali ini untuk mengobati kepalanya yang sakit. Tapi sejumlah media memberitakan Tommy terlihat di sebuah vila di Puncak. Seorang kerabat dekat keluarga Cendana membisikkan kepada Tempo: ”Ulang tahun Mas Tommy dirayakan di Puncak. Bapak sepuh dan seluruh keluarga, kecuali Mas Bambang Tri, turut hadir.”
Sementara itu, menurut dokter, Tommy menderita vertigo. Di belakang mata kirinya ada benjolan tumor. Karena itu, ia memerlukan perawatan rutin. ”Pemeriksaan sebulan sekali. Bila ada masalah mendadak, kami langsung diberi tahu,” kata Robert Hutauruk, koordinator pemeriksa kesehatan Tommy di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, ketika itu.
Pria yang gemar balap mobil ini tetap mampu mengendalikan bisnis dari penjara saat menjalani hukuman bui. Tatkala Tempo mengunjunginya di Nusakambangan pada pertengahan 2005, serombongan pengusaha dipandu bekas Sekretaris Jenderal Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh—lembaga yang dulu dipimpin Tommy—Yance Woworican, antre di luar selnya menunggu giliran sowan. ”Semua masih saya pantau dan arahkan,” kata Tommy kepada Tempo ketika itu.
Salah satu sisi kehidupan mantan pembalap ini adalah dia seolah tak pernah jauh dari perempuan. Sewaktu buron, dia ditemani perempuan muda asal Aceh bernama Lany Banjaranti. Seorang bocah laki-laki lahir dari hubungan mereka. Lalu mantan model Sandy Harun yang mengaku di sejumlah media bahwa dia sering bertandang ke sana. Sandy juga mengatakan memiliki anak perempuan dari Tommy.
Pada Oktober 2006, Tommy dihadiahi remisi 31 bulan. Remisi besar itu diprotes sejumlah kalangan tapi Tommy tetap melenggang ke dunia bebas. Dia kembali bertempur dengan pemerintah dalam sejumlah kasus, di antaranya perebutan duit Rp 650 miliar di Bank Paribas Cabang Guernsey, Inggris. Dana jumbo itu dibekukan atas perintah dinas intelijen ekonomi Inggris. Lembaga itu menduga uang tersebut ”terkait dengan Soeharto” dan hasil money laundering.
Tommy kemudian menggugat Paribas ke Pengadilan Guernsey, tapi bank itu meminta pemerintah Indonesia ikut serta dalam kasus ini. Pemerintah mengklaim berhak atas dana itu karena ”diduga diperoleh dari bisnis tidak halal di Indonesia”.
Otto Cornelis Kaligis, kuasa hukum Tommy, membantah keras. Uang itu, katanya, ”Hasil bisnis Pak Tommy di luar negeri.” Selain kekayaan di Guernsey, Tommy dan pemerintah kini tengah memperebutkan duit Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri. Hingga ayahnya berpulang dua pekan lalu, perseteruan Tommy dengan pemerintah di pengadilan belum juga usai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo