Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bagai Menunggu Jam Pasir

Bisnis anak ketiga Soeharto ini melejit karena perlakuan istimewa. Kini ia bertahan walau usahanya susut.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari 10 tahun namanya tenggelam bak ditelan bumi, pada akhir tahun lalu ia kembali menjulang. Nama Bambang Trihatmodjo mendadak masuk jajaran superkaya versi Forbes Asia edisi 13 Desember. Berada di urutan ke-33, ia menjadi satu-satunya anak Soeharto di deretan orang tajir di Indonesia. Lulusan Polytechnic Institute of Virginia, Amerika Serikat, 1979 ini memiliki kekayaan US$ 200 juta atau Rp 1,9 triliun. Sebagian besar berasal dari hampir 13 persen saham Asriland di Global Mediacom—nama baru Bimantara—konglomerasi yang dirintisnya sejak ia masih berusia 28 tahun.

Sejarah Bimantara memang fenomenal. Awalnya, grup bisnis ini hanya bergerak di bidang perdagangan, tapi dengan cepat mereka menggurita. Asuransi, rumah mewah, konstruksi, televisi, perhotelan, transportasi, perkebunan, perikanan, otomotif, makanan, kimia, dan pariwisata dirambah dengan mudah. Di puncak kejayaan, ada 56 perusahaan yang bernaung di bawah beberapa induk perusahaan dengan Bimantara sebagai bintangnya.

Analis GSH Consulting, Goei Siaw Hong, mengatakan bisnis Bimantara melejit karena mendapat banyak perlakuan istimewa. Mereka yang pertama mendapat lisensi jaringan seluler GSM melalui Satelindo, kemudian dijual ke Indosat. Mereka juga yang paling dulu mendapat izin mendirikan stasiun televisi swasta di Indonesia, RCTI.

Bambang pernah memonopoli perdagangan jeruk di Kalimantan melalui PT Bima Citra miliknya. Pada 1993, dia melepasnya setelah dikritik keras karena merugikan petani. ”Memang keistimewaannya tak sebanyak yang didapat Tutut dan Tommy,” kata Hong.

Mendapat banyak kesempatan, kemudahan, dan pinjaman bank, membuat bisnis mereka melaju tanpa hambatan. Boleh dikatakan, tak ada saingan berarti. Itu membuat untung datang berlipat-lipat. Rezekinya terus melimpah bagai menunggu jam pasir. ”Ini sebenarnya tipikal konglomerat di Indonesia, bukan hanya Bambang,” kata Hong.

Gerakan melambat ketika krisis ekonomi terjadi pada 1997. Turunnya Soeharto setahun kemudian membuat sejumlah perusahaan mereka mulai limbung. Bisnis tanpa fondasi kuat itu satu per satu ambruk. Utang yang menumpuk akibat ekspansi tanpa perhitungan matang makin membuat jalannya terseret-seret.

Catatan BPPN pada 1999 menunjukkan Bambang Trihatmodjo menjadi peminjam terbesar Bank Mandiri di antara 50 debitor kakap lainnya. Utangnya di atas Rp 20 triliun. Tempat kedua diduduki adiknya, Hutomo Mandala Putra, dengan kredit hampir Rp 5 triliun. Uang itu sebagian besar disalurkan Bambang ke Chandra Asri, yang dirancang dengan investasi US$ 2,25 miliar. Kredit kedua terbesar dikucurkan ke Apac Centertex sebesar Rp 865,4 miliar.

Contoh keistimewaan lainnya adalah ketika Bank Andromeda miliknya dilikuidasi pada 1997. Dua minggu kemudian, ia mendapat izin membeli 99 persen saham Bank Alfa. Izin turun karena dia lolos dari daftar orang tercela Bank Indonesia. Memang, tak semua pemilik dan direksi bank likuidasi menjadi orang tercela. Bambang beruntung, tak termasuk salah satu di antaranya.

Suami artis Mayangsari ini juga satu-satunya yang dibolehkan membayar sendiri deposannya. Bankir lain, yang banknya dilikuidasi bersamaan, tidak mendapat kesempatan itu. Pembayaran deposan mereka dialihkan ke bank yang ditunjuk pemerintah.

Angin bisnis berbalik arah. Chandra Asri sudah lama dilepas kepada Prajogo Pangestu, sebagai bagian dari restrukturisasi utang. Peter Gontha mengatakan Bambang memang menjual saham di sebagian perusahaan. ”Kita tidak tahu strategi apa yang ia jalankan,” kata Peter, yang masih sering bertemu sobat lamanya itu. Peter tak mau bicara soal geliat bisnis di masa lalu.

Lewat Global Mediacom, pria 53 tahun ini, kini masih memiliki belasan perusahaan, seperti televisi, radio, koran, telekomunikasi hingga Plaza Indonesia. Meski tak sampai habis-habisan dan masih kaya raya, kehilangan mayoritas saham Bimantara, cikal-bakal bisnisnya yang sudah berusia setengah abad itu, mengundang tanda tanya. Apa yang tengah dipikirkan pecandu olahraga menembak ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus