Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun status yang membawa Sugiyanto menjadi saksi hidup perjalanan republik ini—dari era revolusi fisik, Orde Lama, hingga Orde Baru—ialah prajurit telik sandi. Agen intelijen yang bertarung di balik tabir dan bayang-bayang. Segudang tugas rahasia dia jalankan, dari menggandakan Surat Perintah Sebelas Maret yang kontroversial, menjadi agen Operasi Khusus yang menyusup ke Malaysia sampai Timor Timur, hingga melobi sejumlah pihak untuk melancarkan pendirian Golongan Karya dan ASEAN.
Sebagai intel, tak banyak diketahui gerak-gerik Sugiyanto. Termasuk jejaknya saat merintis pendirian pasukan komando Angkatan Darat, yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dialah yang menemukan Rokus Bernardus Visser alias Mochamad Idjon Djanbi, mantan serdadu Belanda yang menjadi pelatih dan komandan pertama pasukan tersebut.
Dalam dua kali pertemuan pada pengujung Oktober dan awal November lalu, Sugiyanto menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Fery Firmansyah, dan Isma Savitri, di kediamannya di Jalan Bondowoso, Menteng, Jakarta Pusat. Ayah satu anak dan kakek dua cucu itu tinggal bersama istrinya, Elizabeth Sarwitri Sakuntala; seekor Golden Retriever; dan selusin kucing aneka ras. “Dulu pernah ada 40 kucing di rumah ini,” kata Sugiyanto, yang menjabat Ketua Perkumpulan Kinologi Indonesia 1977-2002 dan pendiri Rumah Sakit Hewan Jakarta.
Dengan ingatan fotografis, Sugiyanto, 91 tahun, lancar menceritakan pengalamannya. Saking antusiasnya, sosok bertubuh ramping ini tak menyentuh makanan-minuman saat bercerita dari pagi hingga petang. Kebanggaannya sebagai mantan kombatan terpampang lewat brevet komando di kerah kemeja dan arloji Luminox bergambar lambang korps baret merah di pergelangan tangannya. “Kalau tidak ada saya, mungkin tidak ada Kopassus,” ucapnya.
Sebagai prajurit, Aloysius Sugiyanto menorehkan catatan penting dalam pengembangan TNI Angkatan Darat. Dia perwira generasi pertama yang terlibat dalam pembentukan serta pengembangan satuan parakomando, yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus. Sugiyanto-lah yang mencari dan menemukan Mochamad Idjon Djanbi, pelatih dan komandan pertama pasukan khusus tersebut.
Saat itu, pertengahan 1951, saya mendapat perintah mencari pelatih untuk membentuk pasukan komando, pasukan berkemampuan tempur individual yang tinggi. Pembentukan pasukan semacam itu adalah ide senior sekaligus atasan saya, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, sebelum ia gugur dalam operasi penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Pak Slamet terkesan menghadapi musuh kami saat itu, yang rata-rata bekas pasukan khusus tentara Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/KNIL). Tugas ini pun menjadi tantangan bagi saya selepas lulus dari kursus intelijen tempur atau Combat Intelligence Course pertama yang diselenggarakan Angkatan Darat.
Saya tahu kala itu belum ada perwira pribumi yang menguasai teknik pertempuran komando seperti pasukan yang kami hadapi di Ambon. Karena itu, pencarian kandidat pelatih mengerucut pada para mantan tentara KNIL, yang tersebar di banyak tempat. Di tengah pencarian, muncul informasi yang menyebutkan di Bandung ada bekas tentara Belanda yang menjadi muslim dan menikah dengan perempuan Sunda. Namanya Mochamad Idjon Djanbi.
Markas Besar Angkatan Darat memerintahkan saya mencari dia. Sebelum pergi, saya berusaha memastikan informasi yang ada. Sedikit petunjuk unik muncul, yaitu inisial namanya MID. Saya berpikir itu semacam kode yang merujuk pada Dinas Intelijen Militer Belanda, Militaire Inlichtingen Dienst. Pelacakan kemudian berlanjut dan ada fakta baru bahwa Idjon Djanbi tinggal di kawasan Lembang, Bandung Utara, menjadi petani bunga. Untuk menjadi mualaf, dia bahkan sempat menjalani khitan di sebuah rumah sakit di Cimahi.
Di dataran tinggi Cihideung, di tengah hamparan kebun bunga mawar, kami pun bertemu. Dan benar, Djanbi, yang bernama asli Rokus Bernardus Visser, adalah bekas kapten di satuan Korps Speciale Troe-pen atau pasukan penerjun baret merah KNIL. Dia juga punya pengalaman bertempur di Eropa dan India, cocok menjadi pelatih satuan komando yang kami bayangkan.
Namun mengajak Djanbi bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia bukan perkara mudah karena dia sudah tak mau lagi menjadi tentara. Saya pun menawarinya jabatan pelatih berstatus sipil, yang juga dia tolak. Butuh dua hari dua malam untuk melunakkan hatinya. Saya menginap di rumahnya, ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja, termasuk soal bunga yang sebelumnya saya sengaja pelajari.
Usaha saya tak sia-sia. Akhirnya Djanbi melunak dan bersedia turut melatih peserta kursus intelijen militer gelombang kedua di Cilendek, Bogor. Djanbi mengajarkan materi parakomando hingga perang gunung-hutan, ilmu yang baru untuk prajurit TNI saat itu.
Latihan angkatan pertama Course INTELLIGENCE COURSE di Andir, Bandung, 1951./dok.pribadi
SAYA lahir di Ganjuran, Bantul, Yogyakarta, pada 25 Juni 1928. Ayah saya, Oemar Adikoesoemo, pegawai perusahaan kereta api di Solo. Saya anak keenam dari 15 bersaudara yang tumbuh dalam keluarga penganut Katolik.
Namun, sejak berusia empat tahun, saya mulai jauh dari orang tua demi mengecap pendidikan yang baik. Saat itu saya sempat tinggal bersama kakek di Solo, lalu bersama paman di Purworejo, agar bisa bersekolah di Yayasan Kanisius. Di sekolah berasrama ini, saya punya pengalaman mengesankan: sembuh dari asma. Penyakit pernapasan itu hilang setelah bertahun-tahun saya dipaksa berlari di tengah hujan deras oleh bruder pengasuh asrama. Puji Tuhan, sampai sekarang penyakit itu tak pernah datang lagi.
Hidup saya berubah saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942. Sekolah tutup dan saya pulang ke Yogyakarta. Sempat menganggur beberapa lama, saya kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah teknik peninggalan Belanda di Yogyakarta. Setahun di sana, saya dibawa ke Bandung untuk menjalankan praktik di bengkel pesawat tentara Jepang. Di tempat ini, saya pernah mengalami siksaan tentara Jepang hingga nyaris tewas. Penyebabnya, saya dituduh mencuri onderdil pesawat. Beruntung, saya diselamatkan direktur sekolah, yang menjadi penjamin.
Saya bisa sembuh setelah dibantu kawan-kawan yang biasa bermain biliar di Alun-alun Bandung. Mereka, yang sempat membawa saya berobat ke Garut, ternyata juga aktivis yang terhubung dengan jaringan Sutan Sjahrir. Setelah saya pulih pada akhir Agustus 1945, kelompok ini berubah menjadi gerakan perlawanan yang menyebut diri Koboi Grup. Kelompok ini bernaung di bawah Pasukan Istimewa, orang-orang Indonesia yang menjadi polisi pada zaman Jepang. Saya pun bergabung.
Sebagai anggota gerakan perlawanan, saya pertama kali bertugas di Subang dan Karawang. Saya bertempur melawan Belanda hingga mengawal bantuan beras untuk India. Gelombang perlawanan juga membawa saya menjelajahi Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan sekitarnya. Puncaknya, pada 1946, saat peristiwa Bandung Lautan Api, saya, yang sudah berstatus tentara, ikut bertempur hingga ke Bandung Selatan. Termasuk mengawal Kolonel Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI).
Latihan angkatan pertama Course INTELLIGENCE COURSE di Andir, Bandung, 1951./dok.pribadi
Saat masuk kembali ke Kota Bandung, saya tertangkap Belanda di daerah Cicadas. Dari sana, saya digiring ke penjara Kebon Waru. Beruntung, tak lama kemudian seorang pilot Belanda tertangkap TRI dan akan ditukar dengan para pejuang yang ditahan, termasuk saya. Kami lantas dibawa dengan kereta api ke Purworejo, tempat pertukaran tawanan, dan di situlah saya pertama kali melihat Bung Karno.
Di Purworejo, saya menapaki langkah berikutnya, sebagai bagian dari Divisi Siliwangi. Termasuk menanggung dampak Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yang memutuskan Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Saya bergerak menuju Magelang, Yogyakarta, dan Solo untuk berkonsolidasi dengan pasukan. Juga bertemu dengan para pemimpin, seperti Achmad Wiranatakusumah dan Alex Kawilarang.
Saya kemudian ditugasi menjual gula dan barang-barang lain demi mendapatkan dana perjuangan. Pengalaman mendebarkan saya peroleh saat diperintahkan menyusupkan barang yang ternyata opium atau candu ke Blitar dan Malang, yang saat itu diduduki Belanda. Gara-gara menyusup ke Jawa Timur, saya tertinggal oleh rombongan Siliwangi yang menjalankan perintah “long march” kembali ke Jawa Barat pada Desember 1948, bertepatan dengan agresi militer Belanda kedua.
Lahir dalam keluarga berkecukupan, Aloysius Sugiyanto menapaki karier militer di satuan tentara pelajar. Melawan Belanda dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, memerangi pemberontak hingga ke Maluku. Menjadi saksi wafatnya Slamet Riyadi.
Mau tak mau saya berusaha mengejar induk pasukan. Saya naik kereta api menuju Solo, tapi di sekitar Gunung Lawu kami diserang pesawat musuh. Lokomotif rusak dan saya terpaksa turun dari Gunung Lawu untuk bergabung dengan pasukan yang lebih besar di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto. Beliau, yang ternyata dikawal satu peleton pasukan Siliwangi, menanyakan tujuan saya. Dia kemudian memerintahkan saya memimpin peleton tersebut kembali ke Jawa Barat lewat Solo.
Di Jalan Raya Solo-Madiun, saya bertemu dengan Letnan Kolonel Slamet Riyadi, yang memimpin empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Pak Met—panggilan Slamet—tahu saya orang Solo. Dia lantas meminta saya tinggal untuk menjalankan tugas khusus, sementara peleton Siliwangi yang saya pimpin meneruskan perjalanan ke Jawa Barat. Tugas saya banyak, dari mengambil obat selundupan dari rumah sakit Jebres, mengkonsolidasi pasukan, hingga menjadi ajudan Pak Met.
Sugiyanto bersama Elmo di rumahnya di Jakarta, 28 Oktober 2019./Tempo/Ratih Purnama
Bersama Pak Met, pada Agustus 1949 saya turut menghadapi pasukan Belanda pimpinan Kolonel Van Ohl. Dalam serangan empat hari empat malam itu, kami memukul mundur pasukan Van Ohl sehingga pada 11 Agustus terjadi pembagian wilayah. Pasukan Indonesia di bagian selatan Jalan Raya Solo dan Belanda di utara. Jalan ini kini dinamai Jalan Slamet Riyadi.
Seusai Konferensi Meja Bundar, Belanda mundur dari Solo menuju Semarang. Pada 16 November 1949, Van Ohl menyatakan ingin bertemu dengan Slamet Riyadi. Kami sepakat dan pertemuan itu berlangsung di sebelah selatan Stadion Sriwedari. Van Ohl kaget saat bertemu dengan Slamet Riyadi, yang ternyata berumur sama dengan anaknya di Belanda. Sebelum mundur, dia memeluk Pak Met. Selepas agresi Belanda dan pengakuan kedaulatan, saya dan Pak Met berlibur ke Bali, menghabiskan waktu hingga menjelang Natal.
Takdir membawa saya kembali ke Jawa Barat. Pada Januari 1950, meletus pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung. Pasukan Slamet Riyadi diperintahkan membantu Divisi Siliwangi dan saya bersama dua batalion pasukan berangkat naik kereta api. Beres menghalau gerombolan APRA, kami diperintahkan mengejar pemberontak Darul Islam hingga ke Garut dan Tasikmalaya. Saat bermarkas di Cicalengka, sebelah timur Kota Bandung, saya dan Pak Met sempat berfoto di sebuah studio di Jalan Braga, Bandung. Di sana, beliau baru mengaku saat itu berulang tahun ke-23.
Aloysius Sugiyanto terlibat dalam Peristiwa Kranji 1956. Dia menyeret RPKAD ke konflik dua petinggi Angkatan Darat, Zulkifli Lubis dan A.H. Nasution. Terlempar dari baret merah.
Pada Agustus 1950, kami diperintahkan menghadapi pemberontak Republik Maluku Selatan. Slamet Riyadi diperintahkan memimpin beberapa batalion TNI berangkat ke Makassar. Di Pelabuhan Makassar, saya dan Pak Met bertemu dengan Kolonel Alex Kawilarang dan Letnan Kolonel Soeharto. Soeharto dan brigade yang dia pimpin saat itu baru selesai menumpas pemberontakan Andi Azis. Mereka tampak membawa banyak barang yang diduga rampasan perang. Kami pun mengetahui bahwa Kawilarang sempat marah dan menegur keras Soeharto.
Memasuki medan pertempuran di Maluku, kami menghadapi musuh yang sangat jago: pasukan baret hijau yang dikenal sebagai satuan komando KNIL. Kami nyaris tak bisa bergerak karena pertahanan mereka sedemikian rapat. Di sini, Pak Met kagum saat mengamati manuver tempur pasukan khusus itu. Dia lantas berseloroh kepada Kawilarang akan membentuk satuan semacam itu sehabis menumpas RMS.
Namun Pak Met tak bisa mewujudkan rencananya. Pertempuran di Benteng Nieuw Victoria, Ambon, 4 November 1950, menjadi palagan terakhir perwira muda nan brilian itu. Pak Met terkena peluru penembak jitu saat berjalan di depan panser untuk menyerbu masuk ke benteng tersebut. Dia sempat dibawa mundur ke Pelabuhan Tulehu untuk dirawat di dalam kapal yang saat itu menjadi rumah sakit lapangan. Namun takdir berkata lain. Slamet Riyadi, yang sudah saya anggap kakak sendiri, gugur pada pukul 22.00 WIT. Jasadnya dimakamkan di Tulehu dan beberapa tahun kemudian sebagian tanah kuburannya dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Solo, untuk disemayamkan.
Sugiyanto (kanan) bersama Slamet Riyadi (kiri) di Solo, Jawa Tengah, 1947./ dok.pribadi
GUGURNYA Pak Met mengubah perjalanan karier saya. Ibarat anak ayam kehilangan induknya, di Ambon, nasib saya dan pasukan Slamet Riyadi terkatung-katung. Kolonel Alex Kawilarang, yang saat itu menjabat panglima untuk wilayah Indonesia timur, memerintahkan saya mengikutinya ke markas besar di Jakarta, melaporkan keberhasilan operasi penumpasan Republik Maluku Selatan.
Di Jakarta, saya mendapat perintah baru, yaitu mengikuti pendidikan intelijen militer angkatan pertama. Dalam kursus tersebut, turut pula ajudan Kolonel Kawilarang, Kapten Andi Muhammad Jusuf (kelak menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Pelatih kami seorang veteran Perang Dunia II berjulukan Lancelot. Ini menggelikan karena belakangan kami tahu Lancelot, yang pernah berdinas sebagai intel tentara sekutu di Australia, ternyata orang Wonosobo. Nama aslinya RM Wachjo, ayah aktris Rae Sita.
Puluhan peserta kursus ini berlatih di Situ Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan. Rampung latihan dasar dua bulan, kami berlatih terjun payung. Lepas landas dari Pangkalan Udara Andir (kini La-nud Husein Sastranegara), saya mendarat di sebuah lapangan dekat rumah sakit militer Cimahi. Saya ingat, ada perwira Angkatan Udara bernama Atje Wiriadinata yang ikut dalam latihan tersebut. Beberapa tahun kemudian, dia menjadi komandan pertama Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara.
Setelah latihan itu rampung, Markas Besar Angkatan Darat meminta saya memimpin proyek serupa. Kali ini kursus berlangsung di Cilendek, Bogor. Di sini tercetus ide menambahkan latihan parakomando agar ada nilai lebih dari kursus gelombang pertama. Idjon Djanbi, yang saya rekrut dari Bandung, menjadi pelatih utama menurunkan ilmu perang pasukan komando. Namun Djanbi saat itu menyarankan lokasi latihan dipindahkan ke Batujajar, Bandung Barat, bekas area pendidikan pasukan komando KNIL. Sampai saat ini, Batujajar menjadi basis pendidikan Kopassus.
Namun tak lama kemudian Djanbi mundur. Padahal saya baru saja diserahi tugas memperluas cakupan peserta pendidikan intelijen dan komando, yang semula hanya untuk perwira. Status kursus pun akan dinaikkan menjadi Sekolah Intelijen Angkatan Darat. Djanbi rupanya tak nyaman terhadap rencana Angkatan Darat bekerja sama dengan militer Kerajaan Belanda setelah penyerahan kedaulatan. Dia memutuskan kembali ke kebunnya di Lembang.
Sugiyanto (kiri) bersama Slamet Riyadi (kedua dari kiri) di perahu dari Bali menuju Pulau Jawa, 1949 (bawah)./ dok.pribadi
Persoalan ini beres setelah Alex Kawilarang diangkat menjadi Panglima Teritorium III Siliwangi. Saya pun diminta kembali mengajak Djanbi mengembangkan pasukan khusus seperti yang dicita-citakan Slamet Riyadi. Dia akhirnya mau masuk TNI dan diberi pangkat mayor untuk kemudian melatih dan memimpin pasukan bernama Kesatuan Komando (Kesko) Teritorium III Siliwangi.
Pada 1953, Markas Besar Angkatan Darat mengambil alih Kesko Teritorium III dan mengubah namanya menjadi Korps Komando Angkatan Darat. Djanbi masih menjadi komandan dan saya masih bertugas di satuan tersebut. Dalam dua tahun, jumlah anggota pasukan ini ditingkatkan dan namanya berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Saat itulah saya dan Djanbi merekrut pelatih-pelatih baru. Kebanyakan dari mereka bekas tentara pelajar yang meneruskan pendidikan di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat. Ada 50 orang yang menjadi generasi pertama pasukan khusus ini, di antaranya Benny Moerdani, Soeweno, dan Dading Kalbuadi.
Kami pun digojlok Djanbi, dari berlatih serbuan laut dan pantai di Kepulauan Seribu sampai pertempuran dan penjelajahan jarak jauh dari Cianjur ke Batujajar bolak-balik. Setelah latihan selesai, tim dibagi dua. Sebagian menjadi pelatih dan sisanya masuk pasukan inti. Namun setelah itu Djanbi mundur dari ketentaraan. Posisinya diisi Mayor R.E. Djaelani.
Pada periode ini pula karier saya di satuan khusus tersebut berakhir. Ini buntut kekisruhan dan perebutan posisi pejabat tinggi Angkatan Darat, yang terjadi sejak 1952. Perwira tinggi yang terlibat persaingan antara lain A.H. Nasution, Zulkifli Lubis, dan Bambang Sugeng. Zulkifli Lubis, yang tersingkir dari Markas Besar, mulai kasak-kusuk, termasuk ke jajaran perwira Siliwangi di Bandung. Sebagian dari mereka yang terpengaruh gerakan Zulkifli kemudian menemui Pak Djaelani, komandan saya, di Batujajar. Mereka saling bercerita tentang situasi di Markas Besar, termasuk isu “tentara masuk kandang” yang pada 1952 memicu para prajurit berunjuk rasa dan mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara.
Saya ingat Pak Djaelani saat itu hanya mengatakan, apa pun yang terjadi, RPKAD tetap solider. Tapi RPKAD tidak mau menjadi pelaku atau melaksanakan apa pun yang mereka rencanakan, mengingat sifat pasukan ini sebagai satuan tempur, bukan penguasa wilayah perang. Belakangan, Pak Djaelani memerintahkan saya selaku Asisten Intelijen RPKAD hadir dalam setiap pertemuan tokoh pendukung gerakan Zulkifli Lubis. Di tengah memanasnya hubungan antara politikus dan Angkatan Darat, Zulkifli Lubis dan beberapa perwira dari Sumatera Barat serta Sulawesi Utara merencanakan “tindakan” kepada Nasution, yang saat itu sudah menjabat Panglima Angkatan Perang. Pelaksananya pasukan yang dipimpin Mayor Imam Syafei alias Bang Pi’i, mantan jawara Ibu Kota dan pernah masuk kabinet 100 menteri Bung Karno.
Waktu eksekusi untuk Nasution sudah ditentukan. Pasukan Bang Pi’i sudah siap dan RPKAD menjadi pendukung. Kami rencananya berkeliling Jakarta, unjuk kekuatan atau show of force. Pada 16 November 1956 malam, saya mendapat kabar dari anggota komplotan Zulkifli Lubis bahwa operasi akan dijalankan esok harinya. Dari Jakarta, saya lalu menelepon dan mengabarkan agar RPKAD segera bergerak. Sekitar pukul 22.00 WIB, sebanyak 200 prajurit berjalan kaki dari Batujajar ke Padalarang. Di sana sudah ada truk yang akan membawa mereka ke Jakarta lewat Karawang. Ada pula iring-iringan truk lain berjalan ke arah Bogor, untuk mengalihkan perhatian.
Pagi harinya, saya menjemput pasukan di wilayah Kranji. Dari Kranji, kami bergerak ke arah Jakarta lewat Cipinang. Namun, malam harinya, datang kabar dari bawahan Zulkifli Lubis yang menyebutkan gerakan menindak Nasution batal. Pasukan RPKAD lantas balik badan ke Batujajar dan saya ke Jakarta menemui Zulkifli Lubis. Dia berjanji memberikan kabar sepekan kemudian.
Benar saja, sepekan kemudian, Zulkifli Lubis datang ke rumah, meminta saya ke Jakarta untuk berkoordinasi. Saya pun berangkat dengan kereta. Tiba di Stasiun Jatinegara malam hari, saya melihat keanehan. Peron yang biasanya penuh saat itu tampak kosong dan orang-orang malah berkerumun di lobi stasiun. Tiba di Stasiun Gambir pukul 22.00 WIB, ada anggota Polisi Militer masuk ke gerbong, menuju arah saya dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang ditandatangani Nasution. Saya digelandang ke Rumah Tahanan Militer Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Di sana, saya ditempatkan di sebuah kamar besar, dan makanan sudah tersaji.
Keesokan harinya, saya menjalani pemeriksaan di markas Polisi Militer mengenakan pakaian preman dan senjata sudah dilucuti. Setelah diperiksa, saya dilaporkan ke Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Gatot Soebroto. Ternyata beliau mengenali saya karena sebelum Peristiwa Kranji saya makan malam dan bermain domino di rumahnya. Pak Gatot lantas meminta petugas “membiarkan saya beristirahat” di rumah tahanan. Enam bulan saya mendekam di tempat tersebut. Namun, setelah keluar, saya tidak dipecat dari dinas ketentaraan.
Sebelum masuk tahanan, saya sebenarnya mendengar ada rencana pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi Utara dari Zulkifli Lubis. Ini yang berujung pada peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Di tahanan, saya sempat melaporkan isu ini kepada Gatot Soebroto lewat Polisi Militer. Namun Pak Gatot tak mempercayai informasi saya.
Belakangan, setelah gerakan PRRI/Permesta meletus, saya, yang berstatus tahanan rumah, diperintahkan mencari informasi tentang pertahanan pasukan PRRI di Riau. Saat itu pertahanannya begitu rapat sehingga satu-satunya cara menyelusup ialah melalui kapal tangki minyak. Saya pun berangkat dari Singapura dan menumpang kapal ke Riau. Turun dari kapal, saya berkeliling selama empat hari. Hasil pengamatan saya menjadi bekal pasukan RPKAD untuk menyerang basis PRRI. Termasuk kompi yang dipimpin Benny Moerdani. Setelah itu, saya kembali ke rumah di Bandung.
Sayang, meski saya tak dipecat dari Tentara Nasional Indonesia, Peristiwa Kranji membuat saya terdepak dari RPKAD. Padahal, jika tak ada saya, bisa jadi tak akan ada RPKAD atau Kopassus.
FERY FIRMANSYAH, REZA MAULANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo