Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kampus Perlawanan Terakhir

Polisi Hong Kong menyerbu sejumlah kampus yang menjadi basis perlawanan mahasiswa. Hong Kong Polytechnic University jadi kampus perlawanan terakhir.

23 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjuk rasa berjalan di gimnasium yang berfungsi sebagai ruang tidur di kampus Hong Kong Polytechnic University, 21 November 2019./REUTERS/Athit P

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak seorang pun tampak di pelataran muka kampus Hong Kong Polytechnic University yang diduduki mahasiswa selama sepekan. Pada Jumat dinihari, 21 November lalu, di sana hanya tergeletak helm dan baju yang membentuk kata “SOS”.

Kampus yang terletak di kawasan Hung Hom ini menjadi kampus terakhir yang masih diduduki demonstran Hong Kong. Kampus lain, seperti Chinese University dan City University, sudah kosong setelah polisi mengepung lalu merangsek ke dalam maktab pada Sabtu, 16 November lalu.

Serbuan polisi disambut dengan hujan batu, panah, dan bom molotov dari para pembangkang di semua kampus. Sebagian gedung universitas terbakar. Polisi membalas dengan gas air mata, peluru karet, dan pentungan. Sekitar seribu demonstran akhirnya angkat tangan: sebagian menyerah, sebagian lainnya ditangkap ketika mencoba kabur.

Bentrokan ini salah satu puncak unjuk rasa yang pecah sejak lebih dari lima bulan lalu. Pengunjuk rasa, yang sebagian besar pelajar dan mahasiswa, pada mulanya menuntut dicabutnya rancangan UndangUndang Ekstradisi, yang memungkinkan orang Hong Kong diadili di Cina daratan. Mereka menuduh undang-undang ini akan digunakan pemerintah untuk mengirim para aktivis prodemokrasi diadili di Cina.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam kemudian menarik rancangan undang-undang itu setelah unjuk rasa pecah. Tapi demonstrasi terus berlanjut dengan isu yang berkembang menjadi tuntutan untuk kebebasan yang lebih besar buat menghormati “satu negara dua sistem”, prinsip yang menjadi dasar Inggris menyerahkan Hong Kong kepada Cina pada 1997. Dengan prinsip itu, Beijing berjanji memberi Hong Kong otonomi yang lebih besar selama 50 tahun sebelum Cina sepenuhnya berdaulat di kota itu. Tapi para demonstran menilai kemerdekaan itu kini tergerus. Beijing dianggap makin dalam mencampuri kehidupan politik dan sosial mereka.

Bentrokan besar selama beberapa hari di Hong Kong Polytechnic University, yang pada mulanya menjadi markas perlawanan sekitar 33 ribu demonstran, tampak mereda pada Kamis, 21 November lalu. Sekitar 20 demonstran keluar dan menyerah kepada polisi yang masih mengepung salah satu perguruan tinggi tertua di negeri itu, yang cikalnya sudah tegak pada 1937.

Sepuluh pengunjuk rasa lalu digiring ke sebuah pos polisi di luar kampus, tiga lainnya diangkut dengan tandu, dan empat dibawa dengan kursi roda oleh paramedis. Lima pelajar, yang masih di bawah umur, keluar bersama orang tua mereka dan diizinkan pergi setelah polisi mencatat keterangan mereka.

Namun sekitar seratus demonstran diperkirakan masih bertahan di kampus itu. “Saya sendirian, semua kawan saya telah pergi, tapi saya takut keluar,” kata Yan, pemuda 30-an tahun, kepada Reuters. Selama unjuk rasa, Yan bantu-bantu di kantin, tempat pasokan makanan para demonstran selama pengepungan.

Yan tak sempat bercukur dan berjalan tanpa sepatu. Dia mengaku sudah dua hari bersembunyi dan menghindari kontak dengan demonstran lain di dalam kampus karena khawatir akan bertemu dengan polisi yang menyamar. “Saya tak berani berkeliaran. Saya merasa takut dan tak berdaya.”

Seorang demonstran muda lain tampak berpatroli dengan rompi antipeluru dan sebuah kapak. Dia mengaku sedang mengawasi selusinan polisi yang menyamar yang diduga telah masuk kampus.

Unjuk rasa ini terjadi menjelang pemilihan umum dewan distrik, lembaga perwakilan rakyat lokal negeri itu, yang digelar pada Ahad, 24 November. Rakyat akan memilih 452 dari 479 kursi dewan. Sejauh ini, partai-partai pro-Beijing, yang umumnya didukung kalangan bisnis, serikat dagang, dan pemerintah, menguasai dua pertiga kursi.

Pemilihan ini akan dilanjutkan dengan pemilihan umum yang lebih penting pada tahun depan, yakni pemilihan anggota Dewan Legislatif, parlemen de facto Hong Kong. Anggota dewan distrik akan menduduki 6-70 kursi di Dewan Legislatif. Anggota dewan distrik juga akan mengisi 117 dari 1.200 kursi anggota komisi pemilihan yang berwenang memilih Kepala Eksekutif Hong Kong, pemimpin tertinggi di sana. Komisi ini memang didominasi politikus yang ditunjuk Beijing, tapi perwakilan rakyat di komisi diharapkan akan memberikan warna suara kaum demokrat dalam pemilihan.

Meskipun suaranya di legislatif dan komisi sangat kecil untuk dapat mengubah negeri itu, para politikus prodemokrasi berharap dapat bersuara di parlemen. Partai-partai prodemokrasi kini menyiapkan lebih dari 500 kandidat untuk merebut kursi anggota dewan distrik.

Gerakan protes yang melanda Hong Kong juga mengilhami sejumlah orang untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Kinda Li, pekerja sosial 28 tahun, misalnya, maju karena menyaksikan seorang demonstran muda yang berusaha bunuh diri. “Saya mungkin tak bisa berdiri di garis depan perjuangan, tapi saya akan bertarung dalam perang di komunitas lokal,” ujarnya.

Terjun ke politik praktis itu juga yang rencananya ditempuh Joshua Wong, salah satu tokoh dalam Revolusi Payung. Namun langkahnya mencalonkan diri dijegal komisi pemilihan. Wong satu-satunya kandidat yang dilarang oleh komisi. Dia dilarang mendaftar karena dituduh telah bicara tentang referendum kemerdekaan Hong Kong dari Cina, suatu hal yang melanggar konstitusi negeri itu. Wong membantah tuduhan itu sebagai tafsir sepihak komisi.

Bruce Lui Pengkuen, dosen senior di Baptist University, menyebut Wong sebagai pemimpin independen. “Jika Wong diizinkan masuk ke pemerintah kota (Hong Kong), pengaruh internasionalnya akan membuat Beijing sakit kepala,” kata Lui.

Kini kampus-kampus telah sepi. Para mahasiswa pembangkang telah pergi atau ditahan polisi. Kecuali Hong Kong Polytechnic University, yang masih dikepung polisi hingga Jumat, 22 November lalu.

Seorang perempuan demonstran yang akhirnya keluar dari kampus mengaku melihat selusinan pelajar dan mahasiswa masih bertahan di dalam kampus. Kepada NHK, perempuan 22 tahun yang tak disebut namanya itu menuturkan bahwa dia masuk kampus pada Ahad, 7 November, membawa makanan dan air untuk rekan-rekan sekampusnya. Dia terjebak di dalam ketika polisi mengepung kampus itu. Dia akhirnya dievakuasi dengan ambulans setelah jatuh sakit.

Menurut dia, mereka bertahan di dalam kampus karena takut ditangkap dan berusaha kabur tapi tak menemukan jalan keluar. Sebagian di antara mereka mulai panik dan berpikir untuk bunuh diri. Perempuan ini melanjutkan, para demonstran yang bertahan telah memutuskan untuk melawan habis-habisan. Tapi, kata dia, sebagian demonstran berpendapat bahwa mereka harus menahan diri untuk tidak melakukan tindakan ekstrem agar pemerintah tak punya alasan buat membatalkan pemilihan umum dewan distrik.

Cina mulai menghadapi tekanan internasional atas kebijakannya dalam menangani demonstrasi di Hong Kong. Kongres Amerika Serikat telah meloloskan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi dan Demokrasi Hong Kong yang memberi dukungan terhadap unjuk rasa itu. Kongres berharap Presiden Donald Trump segera memberlakukannya. Tapi Beijing meminta Trump memveto draf itu. “Jika Amerika mengambil langkah yang keliru, Cina akan mengambil langkah balasan,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang.

Para analis politik memperingatkan bahwa pemilihan umum tak akan meredakan unjuk rasa kecuali pemerintah memenuhi tuntutan para demonstran. Tuntutan meliputi hak pilih universal untuk pemimpin kota itu, penyelidikan independen atas kekerasan polisi terhadap demonstran, pembebasan bagi semua demonstran yang ditahan, dan penghapusan pasal yang menganggap unjuk rasa sebagai kerusuhan dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara. “Jika kelompok pro-pemerintah menang mayoritas dalam pemilihan, unjuk rasa akan bertambah buruk,” kata Sing Ming, guru besar di Hong Kong University of Science and Technology.

IWAN KURNIAWAN (SOUTH CHINA MORNING POST, REUTERS, AP, AL JAZEERA)

"Ini Pilihan Terakhir"

Zoe, demikian dia minta dipanggil, seorang mahasiwa Hong Kong Polytechnic University yang lolos dari kepungan polisi, menuturkan detik-detik pengepungan kampusnya dan pelariannya kepada Tempo melalui aplikasi pertukaran pesan pada Sabtu, 23 November 2019. Berikut ini penuturannya.

Saya berada di dalam kampus Hong Kong Polytechnic University pada Ahad, 17 November 2019. Pada waktu itu, polisi hanya memblokir semua gerbang di malam hari dan mereka mengatakan bahwa semua orang di dalam universitas adalah perusuh.

Kami tidak percaya mereka akan membiarkan kami pergi dengan aman sehingga sebagian besar orang berusaha untuk membela diri dan menyerang polisi. Bentrokan itu berlangsung begitu lama, sekitar 4-5 jam, dan banyak orang terluka oleh meriam air dan gas air mata. Tapi, kami masih berkeras untuk melawan. Banyak dari kami bahkan terluka. Tapi, kami tetap berdiri di garis depan!

Sekitar pukul 4-5 pagi esoknya, polisi menyerang kami dan mencoba menerobos masuk kampus. Pada saat itu, kami semua merasa ketakutkan. Banyak orang berlarian masuk kampus sambil berteriak-teriak memperingatkan karena sebagian orang masih tidur di kamar kecil.

Banyak yang mencoba menggunakan berbagai cara untuk meninggalkan kampus tetapi tidak banyak yang berhasil. Beberapa dari mereka gagal dan ditangkap oleh polisi. Dan…. semua darah berceceran di lantai dekat ambulans.

Semua orang merasa sangat putus asa tetapi kami tahu bahwa orang-orang di luar kampus akan mencoba menyelamatkan kami. Mereka telah menyerukan protes pada pukul 5.30. Maka, kami katakan kepada diri kami sendiri bahwa kami harus bertahan. Sekitar pukul 7.00 pagi, kami mencoba untuk melawan lagi, tetapi gagal. Kami mencoba sekali lagi tetapi tetap gagal.

Orang-orang merasa sangat lelah karena kami tidak tidur dan makan semalaman. Kami beristirahat dulu dan menunggu waktu yang tepat untuk melawan lagi.

Sekitar pukul 1.45 malam, kita tahu banyak orang berkerumun di kawasan Jordan yang dekat dengan Hong Kong Polytechnic University. Kami pikir ini saat yang tepat untuk melawan lagi. Sebelum kami pergi, semua orang menangis dan kami berkata bahwa "Kita semua harus aman untuk pergi bersama dan ini adalah kesempatan terakhir kita. Kita harus berhasil dan ketika kita berhasil, semua orang di dalam bisa diselamatkan."

Lalu kami pergi keluar bersama-sama tetapi kami tidak memiliki cukup perlengkapan pada waktu itu. Kami mencoba berjalan sangat rapat untuk melindungi satu sama lain tetapi polisi menembakkan gas air mata lagi dan banyak yang terluka karenanya. Kepala, wajah, dan tangan kami penuh darah.

Banyak orang ditangkap pada waktu itu. Beberapa orang menyelamatkan saya, jadi saya tidak ditangkap oleh polisi, tetapi saya juga terluka.

Kami semua menangis karena hal itu sangat menakutkan. Kami pikir kami akan mati pada saat itu.

Senin malam, banyak orang mencoba menggunakan bermacam-macam cara untuk kabur. Saya mencoba melompat turun dari jembatan. Jembatan itu sangat tinggi. Saya bisa melihat banyak yang terluka ketika mereka melompat ke bawah. Patah kaki, tangan, dan lainnya. Dan orang-orang nyaris (ditangkap). Polisi-polisi menggunakan gas air mata untuk menyerang kami ketika kami melarikan diri.

Ya, sebenarnya banyak orang di jembatan juga sangat ketakutan. Jadi tidak banyak orang yang memilih cara ini. Dan, kamu juga bisa melihat itu [Zoe mengirim link video yang merekam demonstran yang meloncat dari jembatan]. Banyak yang mencoba untuk melompat turun dan kaki mereka patah di depanmu. Jadi, kami hanya mencoba mengatakan pada diri kami sendiri: Kami harus bertahan hidup, kami tidak punya pilihan lain, dan ini pilihan terakhir.

IWAN KURNIAWAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus