Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIEM Koen Hian adalah ironi. Ia berpulang tanpa menyandang status kewarganegaraan Indonesia yang diperjuangkannya mati-matian. Politik, dunia yang digelutinya selain jurnalistik, telanjur membuatnya sakit hati.
Enam belas tahun sebelum Indonesia merdeka, Liem memperkenalkan gagasan Indonesierschap atau kewarganegaraan Indonesia. Ia mengkritik warga Tionghoa di Hindia Belanda yang masih mengagulkan nasionalisme Cina. Bagi Liem, Indonesia adalah tanah air sesungguhnya Tionghoa peranakan, bukan Tiongkok yang jauh di mata. Hanya dengan turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia-lah warga Tionghoa bisa memperbaiki nasibnya—yang waktu itu juga menjadi korban diskriminasi politik apartheid pemerintah Hindia Belanda.
Maka ia pun mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, yang mengusung nasionalisme Indonesia. Ia juga menjadi bagian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan memperjuangkan orang Tionghoa agar menjadi warga negara Indonesia kala kemerdekaan tiba. Indonesia akhirnya merdeka. Tapi nasib tak selalu berpihak kepada Liem.
Pada Agustus 1951, ia ditangkap pemerintah dengan tuduhan menjadi simpatisan komunis, meski bukan anggota Partai Komunis Indonesia. Setelah dua setengah bulan dipenjara, ia dibebaskan. Tapi ia telanjur kecewa ditahan bangsanya sendiri. Dulu sekali, di zaman kolonial, ia merasa bangga bila dijebloskan ke bui oleh pemerintah Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya. Kini, saking emosionalnya, Liem menanggalkan kewarganegaraannya dan memilih menjadi warga negara Cina.
Dalam status itulah ia meninggal setahun kemudian. Dimakamkan di Medan, tempat peristirahatan terakhirnya tak terlacak hingga sekarang.
Hampir 20 tahun setelah Soeharto jatuh, kebencian terhadap etnis Tionghoa tak benar-benar hilang. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2016 menunjukkan sentimen anti-Cina dalam masyarakat berada di kisaran 0,8 persen. Ketidaksukaan terhadap golongan Tionghoa ini memang jauh lebih kecil ketimbang sentimen terhadap kalangan yang berafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS); lesbian, gay, biseksual, dan transgender; serta komunis. Meski begitu, menurut pendiri SMRC, Saiful Mujani, sikap antipati terhadap etnis Tionghoa selalu ada dalam 15 tahun terakhir.
Bagaimanapun, Liem turut mewarnai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi sejarah tak hanya dibentuk oleh cerita orang-orang besar. Di seputar kemerdekaan, ada juga Djiauw Kie Siong, petani yang piawai membuat furnitur dan peti mati. Dialah pemilik rumah di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, yang dipakai para pemuda untuk “menyekap” Sukarno-Hatta pada 16 Agustus 1945. Di rumah ini, para pemuda membujuk—lebih tepatnya mendesak—Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.
Tapi sejarah kadang melupakan kisah orang Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan. Rezim Soeharto menghapus peran mereka dari literatur sejarah resmi. Misalnya, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1975, struktur BPUPKI disebut terdiri atas seorang ketua, dua wakil, dan 60 anggota, termasuk empat perwakilan kelompok etnis Tionghoa, Arab, dan peranakan Belanda. Tapi keberadaan etnis Tionghoa di BPUPKI raib dalam buku cetakan 1993.
Mely G. Tan, doktor lulusan University of California, Berkeley, Amerika Serikat, dalam bunga rampai Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebutkan etnis Tiong-hoa kerap dikaitkan dengan kerusuhan sosial dan menjadi korbannya, dari masa Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka. Misalnya dalam pembantaian ribuan orang Cina di Batavia pada 1740 yang dikenal sebagai Geger Pecinan. Lalu peristiwa 30 September 1965 dan Mei 1998.
Diskriminasi terhadap etnis Cina bukan hanya berupa kekerasan fisik, tapi juga terjadi di ranah budaya. Pemerintah, khususnya di era Orde Baru, turut menjadi aktornya. Selain menghapus peran orang Tionghoa dari buku sejarah resmi, menurut Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, rezim Soeharto melanggengkan diskriminasi itu antara lain dengan memaksa orang -Tionghoa berganti nama menggunakan nama Indonesia dan melarang organisasi, pertunjukan budaya, serta pendidikan Tionghoa.
Hampir 20 tahun setelah Soeharto jatuh, kebencian terhadap etnis Tionghoa tak benar-benar hilang. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2016 menunjukkan sentimen anti-Cina dalam masyarakat berada di kisaran 0,8 persen. Ketidaksukaan terhadap golongan Tionghoa ini memang jauh lebih kecil ketimbang sentimen terhadap kalangan yang berafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS); lesbian, gay, biseksual, dan transgender; serta komunis. Meski begitu, menurut pendiri SMRC, Saiful Mujani, sikap antipati terhadap etnis Tionghoa selalu ada dalam 15 tahun terakhir.
Peneliti Benny Subianto menjelaskan mengapa sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia terus hidup. Menurut riset Benny, sebagaimana dijelaskan Asvi, ketidaksukaan itu muncul karena tiga hal. Pertama, faktor kesenjangan ekonomi. Kedua, etnis Tionghoa dianggap eksklusif. Terakhir, ada anggapan bahwa orang Tionghoa tak ikut dalam perjuangan kemerdekaan.
Dua alasan pertama bisa diperdebatkan, meski sejumlah hasil riset menguatkan temuan Benny. Misalnya, dalam survei ISEAS-Yusof Ishak Institute pada 2017, hampir 60 persen dari 1.620 responden menganggap warga Tionghoa di Indonesia lebih makmur ketimbang non-Tionghoa. Studi yang sama menunjukkan 48,4 persen responden menganggap orang Tionghoa hanya peduli terhadap urusan mereka sendiri. Tapi tidak demikian dengan alasan ketiga.
Jauh sebelum Liem Koen Hian, sejarah mencatat perjuangan orang Tionghoa melawan penjajah. Di Lasem, Jawa Tengah, ribuan orang Tionghoa bergabung dengan laskar Jawa mengobarkan perang melawan serdadu Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) pada 1750. Sepuluh tahun sebelumnya, pembantaian orang Tionghoa di Batavia oleh Belanda diawali perlawanan mereka terhadap kebijakan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier yang diskriminatif. Dua abad kemudian, sejumlah cendekiawan cum politikus dari etnis Tionghoa, termasuk Liem Koen Hian, dengan peran masing-masing turut mengantarkan negeri ini ke gerbang kemerdekaan.
Kenyataan tersebut menjadi latar belakang kami mengangkat peran orang Tiong-hoa dalam perjuangan sebagai tema edisi khusus kemerdekaan tahun ini. Kami berdiskusi dengan Didi Kwartanada, sejarawan yang pernah menjadi peneliti di Institute of Asia-Pacific Studies di Waseda University, Jepang; dan Asvi Warman Adam, profesor LIPI. Kami pun bertanya kepada Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan, Banten.
Dari mereka, kami mendapatkan sejumlah nama yang dengan cara masing-masing berkontribusi dalam persiapan kemerdekaan. Kami menyepakati tokoh yang dipilih tak hanya berasal dari kalangan elite dan terpelajar atau yang tertulis tebal dalam sejarah, tapi juga dari kaum cilik. Sebab, proklamasi itu, mengutip Sukarno, merupakan keringat semua untuk kebahagiaan semua. Proklamasi bukan hanya hasil jerih payah politikus, tapi juga rakyat jelata.
Setelah melalui serangkaian diskusi, kami memutuskan mengangkat kisah Liem Koen Hian, Yap Tjwan Bing, dan -Djiauw Kie Siong. Benang merah yang menghubungkan ketiganya adalah kehadiran dalam detik-detik menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945. Peran Liem dan Djiauw sudah dijelaskan. Adapun Yap adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia termuda sekaligus satu-satunya wakil Tionghoa di komite tersebut. Yap menyerukan kaum Tionghoa berpihak kepada Republik.
Kisah mereka kiranya menjadi pengingat bahwa republik ini sudah majemuk sejak dalam kandungan. Kemerdekaan diraih bukan berkat perjuangan satu kelompok, melainkan banyak pihak dengan beragam latar belakang—etnis, agama, kelas sosial, hingga afiliasi politik. Maka mengklaim Republik untuk golongan sendiri berarti mengingkari fitrah Indonesia.
Selamat membaca.
TIM EDISI KHUSUS KEMERDEKAAN 2019
Penanggung Jawab: Anton Septian
Pemimpin Proyek: Raymundus Rikang
Penulis: Aisha Shaidra, Devy Ernis, Dini Pramita, Gabriel Wahyu Titiyoga, Hussein Abri Dongoran, Khairul Anam, Nur Alfiyah, Mahardika Satria Hadi, Mustafa Silalahi, Prihandoko, Raymundus Rikang
Penyumbang Bahan: Ahmad Rafiq (Solo), Anwar Siswadi, Iqbal Lazuardi (Bandung), Diananta Sumedi (Banjarmasin), Nurhadi (Surabaya), Mei Leandha, Sahat Simatupang (Medan)
Penyunting: Anton Aprianto, Anton Septian, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Kurniawan, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Stefanus Pramono, Yandhrie Arvian
Periset Foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama
Bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi
Kreatif: Djunaedi, Kendra Paramita, Kuswoyo, Wahyu Risyanto
Digital: Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo