Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wartawan Yang Berpolitik

Liem Koen Hian jatuh-bangun membangun reputasinya sebagai wartawan dan tokoh pergerakan. Mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, lalu keluar.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Liem Koen Hian (tengah belakang) sebagai Ketua Partai Tionghoa Indonesia di antara para Indonesier, di Surabaya, sekitar 1933. Koleksi Ravando Lie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tua Pek Koen Hian berulang kali ditangkap.”

“Kenapa?”

“Karena tulisan-tulisannya mengkritik Belanda.”

KISAH itu berulang kali diceritakan Liem Koen To kepada empat anaknya saat membicarakan abang sepupunya, Liem Koen Hian, yang berprofesi sebagai wartawan. Bila lama tak memberi kabar atau tak muncul di rumah Liem Koen To di Sawah Besar, Jakarta, yang waktu itu bernama Batavia, Liem Koen Hian ditebak seisi rumah ditangkap pemerintah Hindia Belanda.

Dijebloskan ke penjara tak membuat Liem si wartawan jera. Menurut Liem Sioe Lian, anak kedua Liem Koen To, pamannya justru merasa bangga. “Dia puas karena tulisannya mengenai sasaran,” ujar perempuan kelahiran 1932 ini pada akhir Juli lalu.

Kebanggaan tersebut diam-diam menyembul di dada keluarganya. Sebab, anggota keluarga yang lain tak ada yang seberani Liem Koen Hian dalam mengkritik Belanda secara terang-terangan. Pada era itu, meski kedudukan orang Tionghoa lebih baik daripada kaum pribumi dalam struktur sosial yang diciptakan Belanda, tetap saja keduanya warga kelas dua. “Kritik kami diwakilkan Tua Pek Koen Hian saja,” ucap Liem Hway Liong, putra bungsu Liem Koen To.

Liem Koen Hian dipanggil tua pek, yang berarti uak, oleh keponakannya karena lahir lebih dulu daripada Liem Koen To. Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin pada 3 November 1897, sedangkan Liem Koen To pada 1903.

 


 


 

Menurut sejarawan lulusan Universitas Gadjah Mada, Ravando Lie, Liem Koen Hian antara lain pernah ditangkap Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda pada 14 Mei 1932. Lewat tulisannya di surat kabar Sin Tit Po, dia mengajak warga Surabaya memboikot turnamen sepak bola yang diselenggarakan Nederlandsch-Indische Voetbal Bond atau Perserikatan Sepak Bola Hindia-Belanda. Tulisan tersebut merespons artikel jurnalis bernama Bekker di D’Orient yang menyatakan sepak bola adalah hak istimewa warga Eropa. “Tuduhannya penghasutan,” kata Ravando.

Hidup Liem Koen Hian tak pernah jauh dari jurnalistik dan politik, meskipun ketertarikannya pada jurnalisme datang agak belakangan. Tak menyelesaikan sekolahnya di Hollandsch-Chineesche School Banjarmasin, dia merantau ke Balikpapan untuk bekerja sebagai juru tulis di perusahaan minyak Shell. Lantaran tak betah, ia kembali ke kota kelahirannya. Di sinilah kemudian minatnya terhadap jurnalisme tumbuh. Pada usia yang masih remaja, ia menjadi wartawan di surat kabar yang dikelola orang Tionghoa, Penimbangan.

Sejumlah literatur menyebutkan, Liem pindah ke Surabaya menjelang meletusnya Perang Dunia I pada 1914. Di kota itu, ia melanjutkan kariernya sebagai wartawan di majalah Tjhoen Tjhioe. Bekerja di sini memberikan kesempatan kepada Liem untuk belajar menjadi wartawan sesungguhnya dari Tjan Kiem Bie, jurnalis senior. “Liem Koen Hian mendapat pelajaran jurnalistik,” ucap sejarawan alumnus Universitas Gadjah Mada, Didi Kwartanada.

Pada awal 1917, Liem mundur dari Tjhoen Tjhioe. Ia kemudian mendirikan majalah mingguan Soe Liem Poo. Belakangan, majalah ini bangkrut sehingga ia pindah ke Aceh untuk berdagang. Menurut Leo Suryadinata, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, yang juga penulis biografi Liem Koen Hian, usaha di Aceh itu tak bertahan lama. Ia pindah ke Padang dan kembali menjadi wartawan dengan menjabat Pemimpin Redaksi Sinar Soematra pada Desember 1918.

Koleksi koran Sin Tit Po milik sejarawan Didi Kwartanada di Jakarta, 18 Juli 2019. TEMPO/ Gunawan Wicaksono

Leo mengungkapkan, saat memimpin Sinar Soematra, Liem Koen Hian mulai menunjukkan keberaniannya mengkritik Belanda. Ia menonjolkan nasio-nalisme Cina untuk melawan aturan pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan warga Tionghoa di Indonesia sebagai pengikut Belanda. Saat itu, nasionalisme di Cina, yang digagas dokter Sun Yat-sen, sedang berembus kencang. Menurut pemerintah Cina, orang Tionghoa yang tinggal di luar negara itu, termasuk di Hindia Belanda, adalah warga negara Cina.

Protes terhadap aturan pemerintah Hindia Belanda meluas. Koran Sin Po, yang dikelola peranakan Tionghoa dan terbit dalam bahasa Melayu, mengedarkan petisi yang menyatakan keturunan Tionghoa di Hindia Belanda adalah warga negara Cina. Liem Koen Hian bergabung dengan gerakan tersebut. Petisi mendapatkan 30 ribu tanda tangan dukungan dari orang Tiong-hoa di Hindia Belanda. Salah satu pentolan gerakan ini adalah Hauw Tek Kong.

Pada akhir 1921, Liem melepas jabatannya di Sinar Soematra. Ia pindah ke Surabaya dan menjadi Pemimpin Redaksi Pewarta Soerabaia, milik The Sian King, yang juga anti-pemerintah Hindia Belanda. Saat Hauw Tek Kong berubah haluan dan menerima aturan bahwa orang Tionghoa adalah pengikut Belanda, Liem pun mengkritiknya lewat media yang ia -pimpin.

Kritik itu kemudian menimbulkan konflik di Pewarta Soerabaia. “Karena banyak perusahaan Belanda yang tidak mau pasang iklan,” ujar Didi Kwartanada. Liem hengkang dari Pewarta Soerabaia pada Maret 1925. Satu bulan kemudian, ia bergabung dengan Soeara Poebliek. Di sanalah ia mengembangkan gagasan “Indisch Burgerschap”, yang berarti Hindia Belanda adalah tanah air peranakan Tionghoa.

Setelah empat tahun di Soeara Poebliek, Liem Koen Hian pindah lagi ke media lain. Menurut Leo Suryadinata, dia bergabung dengan koran Sin Jit Po. Sin Jit Po berarti “harian baru”. Pada November 1929, Sin Jit Po tersandung kasus penghinaan dan ditutup karena tidak sanggup membayar denda. Berselang sebulan, Sin Jit Po berganti nama menjadi Sin Tit Po, yang artinya “harian independen”. Dia menjadi pemimpin redaksi pertama Sin Tit Po hingga akhir 1932.

Saat di Sin Tit Po, Liem memperbaiki gagasan Indisch Burgerschap menjadi Indonesierschap, yang bermakna nasionalisme Indonesia. Pemikirannya berkembang karena ia berkawan dengan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, tokoh pergerakan anggota Tiga Serangkai. “Tjipto menjadi guru politik Liem,” tutur Didi. Tjipto mendedahkan gagasan tentang pembentukan negara-bangsa yang merdeka di Hindia, yang warganya adalah orang-orang yang menganggap Hindia sebagai tanah air.

Koran Sin Tit Po menjalankan pemikiran itu dengan menghimpun penulis dari pelbagai etnis dan menggunakan bahasa Melayu, yang menjadi lingua franca. Salah satu penulis itu Abdurrahman Baswedan, keturunan Arab. Menurut Didi, paham inilah yang membuat Liem Koen Hian bentrok dengan koran Sin Po. Dia bahkan mengkritik Sin Po, yang hanya memperjuangkan peranakan Tionghoa agar kedudukannya sama dengan orang Eropa.

Liem Koen Hian juga berseteru dengan organisasi Chung Hua Hui (CHH). Kelompok ini beranggotakan pedagang -peranakan dan kaum intelek Tionghoa berpendidikan Belanda. Liem pernah menjadi bagian dari CHH. Menurut Leo, CHH kerap di-juluki Packard, merek mobil, karena anggotanya sering mengendarai mobil, yang waktu itu belum terlalu jamak. “Liem menganggap organisasi ini sangat pro-Belanda,” kata Leo.

Pertentangan tersebut menjadi benih munculnya Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Liem melontarkan gagasan tentang pendirian partai itu saat memberikan ceramah umum tentang politik peranakan di Surabaya pada 23 Agustus 1932. “Di sana, Liem menganjurkan peranakan menjadi Indonesier,” ujar Leo. Ide Liem menuai reaksi pro dan kontra. Yang tidak mendukung khawatir peranakan -Tionghoa akan terlibat dalam pertempuran politik.

Sebulan setelah ceramah itu, Liem Koen Hian bersama sejumlah orang mendirikan PTI di Surabaya. Dia terpilih sebagai ketua. Kwee Thiam Tjing, yang juga wartawan, menjadi sekretaris. Adapun pengacara yang pernah menjadi anggota CHH, Ong Liang Kok, terpilih sebagai bendahara. “Tujuan partai itu adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” ucap Leo. Partai hanya menerima peranakan Tionghoa sebagai anggotanya.

Kartu tanda anggota Partai Tionghoa Indonesia yang ditandatangani Liem Koen Hian. Repro Koleksi Ghanda Winata

Terbentuknya PTI mendapat respons dari daerah lain. Pengacara peranakan Tionghoa di Semarang, Ko Kwat Tiong dan To Tjay Sing, mengundang Liem Koen Hian berdiskusi secara terbuka tentang “Pikiran Indonesia dan Peranakan Tiong-hoa” pada Oktober 1932. Seusai diskusi, Ko Kwat Tiong mendeklarasikan terbentuknya PTI cabang Semarang. Syarat keanggotaannya diubah. Selain Tionghoa peranakan, orang Tiongkok totok bisa menjadi anggota. Hingga akhir 1932, PTI mempunyai sebelas cabang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

PTI mengikuti pemilihan anggota Volksraad atau Dewan Rakyat di Batavia pada 1935 dengan mencalonkan Ko Kwat Tiong, yang kemudian terpilih dan menyebabkan CHH pecah. Tak lama setelah pemilihan, Liem Koen Hian dibacok orang tidak dikenal. Kasusnya menguap, meskipun salah seorang pemimpin CHH di Batavia sempat ditangkap. Selama di Batavia, Liem berkawan dengan pemimpin Partai Indonesia Raya dan tokoh nasional lain, seperti Muhammad Yamin, Sanoesi Pane, serta Amir Sjarifuddin.

Pada 1939, menurut Didi Kwartanada, terjadi perpecahan di PTI terkait dengan pemilihan anggota Volksraad. Liem berniat maju. Anggota inkumben, Ko Kwat Tiong, tidak lagi dicalonkan oleh PTI walaupun kembali ingin mengikuti pemilihan. Mereka lalu berseteru dan tak ada yang mau mengalah. Akibatnya, keduanya tak mendapat kursi. Liem pun keluar dari PTI dan bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia, yang dipimpin Amir Sjarifuddin. “Liem Koen Hian kecewa,” tutur Didi.

Liem lantas memutuskan menetap di Batavia, tepatnya di Jalan Pintu Besi 31, Sawah Besar. Meski memutuskan keluar, ia tetap menjaga hubungannya dengan PTI hingga partai itu dibubarkan Jepang pada Maret 1942. Selama Liem Koen Hian tinggal di Batavia, menurut Liem Sioe Lian, rumahnya selalu ramai oleh kawan-kawannya yang berasal dari lingkaran wartawan dan politikus. “Karena jiwanya memang di dua dunia itu,” kata sang -keponakan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus