Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2007, Antasari Azhar merasa rendah diri. Pria 56 tahun ini pun merasa perlu perantara untuk bertemu dengan Kepala Kepolisian Jenderal Sutanto, kolega sesama pejabat negara bidang hukum.
”Jasa perantara” itu ditawarkan Sigid Haryo Wibisono, pengusaha yang dekat dengan pelbagai kalangan. ”Pada awal 2008 dia menghubungi saya melalui hand phone, mengatakan ingin mengenalkan saya dengan Pak Sutanto,” ujar Antasari kepada penyidik, soal hubungannya dengan Sigid, seperti dituturkan sumber Tempo.
Dua hari setelah telepon itu, Sigid meminta Antasari ke Semarang. Sutanto berada di sana ketika itu. Antasari, yang sebelumnya menjabat Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, segera terbang ke Semarang. Di perjalanan menuju Hotel Patrajasa Semarang, tempat pertemuan rencananya dilakukan, menurut Antasari, seorang kurir menghubunginya.
”Kurir ini menanyakan apakah benar saya akan bertemu dengan Pak Sutanto. Ia juga bertanya apakah benar yang menghubungkan Sigid. Saya jawab benar,” kata Antasari. Tiba di Hotel Patrajasa, Antasari bertemu Sigid. ”Saya menunggu di tempat pertemuan. Namun kemudian Sigid mengatakan pertemuan batal karena Pak Sutanto sibuk.”
Itulah awal perkenalan Antasari dengan Sigid, seperti pengakuannya ketika diperiksa empat penyidik, Selasa pekan lalu. Riwayat hubungan keduanya, serta Komisaris Besar Wiliardi Wizar, mantan Kepala Sub-Bidang Pariwisata Direktorat Pengamanan Obyek Khusus Badan Pembinaan dan Keamanan Markas Besar Kepolisian, ditelisik karena dugaan keterlibatan mereka dalam pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Maqdir Ismail, pengacara Antasari, tak membantah soal informasi pengakuan Antasari itu. Pada awal menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut dia, Antasari memang merasa belum selevel dengan Kepala Kepolisian. ”Itu bisa dimengerti karena Pak Antasari sebelumnya hanya menjabat direktur di Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Antasari tak terlalu konsisten soal awal perkenalannya dengan Sigid. Ditemui di rumahnya, Kompleks Giri Loka II, Bumi Serpong Damai, sehari sebelum diperiksa polisi, ia mengaku hanya beberapa kali bertemu Sigid. Selalu dilakukan di kantor Antasari, pertemuan membahas proposal penerbitan rubrik khusus Komisi Pemberantasan Korupsi di harian Merdeka milik Sigid.
Toh, jejak pertemanan keduanya terekam panjang. Sejumlah sumber dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pengacara, juga kalangan aktivis, memberikan informasi serupa: Antasari mengenal Sigid jauh sebelum terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Desember 2007.
Sigid, bersama sejumlah pengusaha, pun diduga ikut menjadi sponsor pencalonan Antasari di Dewan Perwakilan Rakyat. ”Ia aktif melobi anggota Dewan, termasuk menyediakan biayanya,” tutur seorang pengacara. Salah satu lobi dilakukan di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta Selatan. Tak mengherankan bila Antasari kemudian menggenggam suara mayoritas, yakni 41 dari 49 anggota Komisi Hukum Dewan yang mengikuti voting putaran kedua. Padahal, dalam putaran pertama suara Antasari kalah oleh Chandra M. Hamzah.
Wakil Bendahara Umum Partai Kebangkitan Bangsa Bachrudin Nasori mengaku mendengar informasi itu. Pengacara Sigid, Hermawan Pamungkas, juga tak membantah, ”Mungkin saja,” ujarnya. ”Sigid dekat dengan sejumlah partai politik.”
Hermawan mengenal Sigid sejak lelaki 43 tahun kelahiran Semarang itu pindah ke Jakarta pada awal 2007. Menurut dia, Sigid mengenal Antasari tak lama setelah itu.
Para politikus di Jawa Tengah sudah mafhum soal kedekatan keduanya. ”Beberapa kepala daerah yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi pasti akan segera menghubungi Sigid,” ujar Sutoyo Abadi, anggota Fraksi Partai Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah.
Sutoyo menilai Bibik, panggilan akrab Sigid, supel dan mudah bergaul. Ketika masih menjadi politikus Partai Golkar di Semarang, ia lebih sering berperan di belakang layar. Justru dengan perannya itu ia bisa dekat dengan banyak kalangan. Setelah pindah ke Jakarta, ia langsung bisa masuk lingkaran dalam Partai Kebangkitan Bangsa. Ia bahkan masuk ke keluarga Abdurrahman Wahid, pendiri partai itu. Belakangan, setelah pecah kongsi, mantan presiden itu mengatakan Sigid ”tidak bisa dipercaya”.
Jejak hubungan Sigid dan Wiliardi terlihat lebih jelas. Menurut Yohanes Jacob, pengacara Wiliardi, keduanya mulai saling kenal ketika Wiliardi menjadi Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan 2005-2007. ”Mereka sering kongko,” ujarnya.
Menurut Jacob, Sigid dan Wiliardi ”saling memberi dan menerima”. ”Kalau Wiliardi perlu sesuatu, dia biasa datang ke Sigid. Begitu juga sebaliknya,” ia menuturkan. ”Biasalah, namanya kawan dekat.”
Kenaikan pangkat merupakan ”sesuatu” yang diperlukan Wiliardi. Menyandang komisaris besar sejak 2002, ia merasa tiba saatnya menjadi brigadir jenderal. Alih-alih mengadu ke atasannya, ia berpaling ke Sigid. Sigid mengarahkan Wiliardi ke jalur lain: Antasari Azhar. Sang pengusaha mempertemukan mereka di rumahnya, Jalan Pati Unus, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awal tahun ini.
Kepada polisi, Antasari mengatakan, pada suatu hari Sigid menelepon dan memintanya mampir ke rumah sang pengusaha. Agendanya, membahas proposal rubrik khusus di harian Merdeka. Tiba di rumah Sigid, pada suatu sore, Antasari langsung ke ruang tamu. Tak lama kemudian kopi dihidangkan. Alih-alih menyambut kedatangan sang tamu, Sigid baru menemui Antasari beberapa saat setelah Antasari menunggu.
Di tengah pembicaraan tentang rubrik khusus, menurut Antasari kepada penyidik, Sigid memotong. ”Mas, kan sampeyan punya akses ke Kapolri. Ini saya ada teman dari Polri, kalau Mas bisa bantu,” ujarnya. Antasari menjawab, ”Lah, bantu apa?” Sigid menyahut, ”Ya sudah, nanti Bapak bincang sendiri.”
Lalu Sigid membawa masuk Wiliardi, yang datang dengan pakaian dinas lengkap. Menurut Antasari, Wiliardi mengatakan, ”Pak, dulu saya Kapolres Jakarta Selatan.” Lalu Wiliardi bercerita tentang mantan-mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Sampailah pada persoalan utama, ”Pak, saya sudah menjadi komisaris besar sekian lama. Kalau ada kemungkinan untuk ditempatkan yang lebih baik.”
Antasari mengatakan mengenal Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri, pengganti Sutanto. ”Tapi saya tak bisa janji,” katanya, seperti dikutip sumber Tempo. Setelah itu, Sigid meminta Wiliardi keluar ruangan.
Kepada polisi, Antasari mengaku memprotes Sigid. Ia keberatan karena setiap kali datang ke rumah itu, tuan rumah selalu mengenalkannya dengan banyak orang. Menjawab keberatan itu, menurut Antasari, Sigid mengatakan, ”Ora po-po kok, Mas, cuma mau kenal aja.”
Menjelang magrib, Antasari pamit. Kini, jejak hubungan tiga tokoh ini akan terus ditelisik.
BS, Ramidi (Jakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo