Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROYEK ekspor cangkang sawit itu akhirnya menembus pasar Eropa. Dipersiapkan sejak enam bulan lalu, inilah salah satu proyek PT Putra Rajawali Banjaran saat masih dipimpin Nasrudin Zulkarnaen. Beberapa waktu lalu cangkang sawit itu sudah diekspor ke Italia. ”Di sana cangkang itu dijadikan bahan baku pengembangan bahan bakar alternatif,” kata Direktur Putra Rajawali Banjaran Imam Budi, pengganti Nasrudin, kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Nasrudin tak sempat menikmati hasil kerjanya itu. Pada 14 Maret lalu, dua peluru menembus kaca belakang mobil BMW silvernya—yang di kaca depannya tertempel stiker bertuliskan ”Sekretaris Wakil Presiden 293”. Peluru langsung menghajar Nasrudin. Penembakan itu terjadi di Jalan Hartono Raya, Modernland, Tangerang, beberapa saat setelah ia usai bermain golf. Nasrudin tewas sehari setelah dirawat di rumah sakit.
Nasrudin menjabat Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, ”cucu” PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), sejak September 2008. Sebelumnya, pria kelahiran Makassar, 12 Desember 1968, itu menjadi anggota staf ahli anak perusahaan RNI, PT Rajawali Nusindo.
Perjalanan pria yang dikenal mudah bergaul ini penuh warna. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu, itu memulai kariernya sebagai petugas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sulawesi Selatan pada 1987. Dari Badan Pengawasan, ia pindah ke BUMN Pembangunan Perumahan. Di sini pun tak lama. Awal 1990, pria yang pernah menjadi atlet Sulawesi Selatan dalam olahraga tenis itu hijrah ke Jakarta dan menjadi anggota staf di Pegadaian Pusat.
Di Ibu Kota, Nasrudin ”mengembangkan” pergaulannya lewat kepiawaian bermain tenis. Ia masuk lingkaran pejabat yang punya hobi bermain tenis. ”Tiba-tiba saja dia ikut latihan bersama kami,” ujar Tanri Abeng, Menteri Badan Usaha Milik Negara periode 1998-1999. Dengan rekan-rekannya sesama warga Sulawesi Selatan, pada pengujung 1990-an, Tanri memiliki geng Baramo alias ”Barisan Awet Muda”. Anggotanya antara lain Baramuli, Andi Ghalib, Theo Sambuaga, dan Hari Sabarno. Baramo rutin berlatih di lapangan tenis Hotel Hilton, yang kini menjadi Hotel Sultan.
Nasrudin masuk geng Baramo itu. Bahkan ia menjadi guru sekaligus lawan tanding para anggota Baramo. ”Setiap kali saya pergi ke luar kota, dia turut serta, selalu menemani saya bermain tenis,” ujar Tanri.
Menurut sumber Tempo di Kementerian BUMN, sejak itulah Nasrudin memanfaatkan kedekatannya dengan para pejabat yang dilatihnya. ”Dia menawarkan diri mempercepat urusan BUMN, termasuk soal pengangkatan direksi,” kata sumber itu. Bahkan beredar kabar saat itu Nasrudin adalah anggota staf khusus Tanri Abeng.
Tentang ini Tanri membantahnya. Menurut Tanri, dia tidak pernah memberikan jabatan staf khusus kepada Nasrudin. ”Dia tak punya kapasitas untuk jabatan di BUMN,” kata Tanri. ”Tapi mungkin saja di luar sana dia memanfaatkan kedekatan dengan saya. Itu tak bisa saya kontrol.”
Menurut Tanri, komunikasinya dengan Nasrudin mulai berkurang setelah ia tak lagi menjabat Menteri BUMN pada 1999. ”Dia lalu mengikuti Hari Sabarno yang menjadi menteri,” kata Tanri. Pada 2001, Hari Sabarno diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri. Hari memegang jabatan itu hingga 2004.
Menurut sumber Tempo, kedekatan inilah yang membuat Nasrudin bisa ”hinggap” di RNI. Pada Februari 2002, dia diangkat menjadi anggota staf ahli Direktur Umum RNI Bidang Otonomi Daerah. Di BUMN tersebut, saat itu ada pula Oentarto Sindung Mawardi, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri. Oentarto menjabat Komisaris RNI. Hari Sabarno membantah kerap memuluskan karier Nasrudin. ”Saya tak pernah mencampuri karier almarhum dalam bentuk apa pun,” katanya.
Tak hanya bermain tenis, belakangan Nasrudin juga bermain golf. Ia pun dengan cepat menguasai olahraga pukul-memukul bola itu. Ia kerap menjuarai berbagai turnamen. Di kediamannya, di kompleks Banjar Wijaya, Tangerang, berjejer sekitar 200 piala hasil pertandingan golf.
Menurut Andi Syamsuddin, adik Nasrudin, berkat golf ini pula Nasrudin mengenal Aksa Mahmud, Erwin Aksa, dan Malkan Amin. Di mata Andi, kakaknya memiliki karakter yang membuat orang cepat akrab. Selain supel, penyayang, dan pekerja keras, menurut Andi, sang kakak juga dermawan.
Di RNI, karier Nasrudin sendiri terus bergerak. Pada 2005, misalnya, ia dipindahkan menjadi anggota staf ahli PT Rajawali Nusindo. Menurut juru bicara RNI, Budi Aji Prabawa, Nasrudin ditempatkan di sana agar bisa mendorong lebih maju perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum itu. ”Dia kan terkenal punya jaringan lobi yang sangat bagus,” kata Budi.
Soal keandalan Nasrudin membuka jaringan ini diakui sejumlah sumber Tempo di RNI. ”Setiap ada pesta, hajatan, dan buka puasa yang digelar para pejabat, misalnya, dia akan datang meski tak diundang,” ujar sumber tersebut.
Di RNI, karier Nasrudin juga memperlihatkan tanda-tanda terus ”menuju puncak”. Menjelang akhir masa jabatan Menteri BUMN Sugiharto, misalnya, muncul surat keputusan pengangkatan Nasrudin sebagai Direktur Pengembangan dan Sumber Daya Manusia RNI. Namun, belum sempat Nasrudin dilantik, pada 7 Mei 2007 jabatan Menteri BUMN dialihkan ke Sofyan Djalil. Nasrudin gagal mendapatkan posisi itu.
Menurut sumber Tempo, munculnya pengangkatan itu berkat campur tangan Tanri Abeng. ”Sugiharto itu tak dekat dengan Nasrudin, tapi dia hormat kepada Pak Tanri,” kata sumber Tempo yang dekat dengan Sugiharto. Tapi, soal ini, Tanri membantah. Menurutnya, sejak 1999 dia tak pernah lagi bertemu dengan Nasrudin. Terakhir, kata Tanri, ia bertemu dengan Nasrudin sekitar Mei 2007. Saat itu Nasrudin meminta bantuannya melobi Sofyan Djalil agar membantu proses pelantikan dia sebagai salah satu direktur RNI.
Tanri bercerita, Nasrudin datang ke rumahnya membawa map berisi surat keputusan pengangkatan. ”Saya tidak mau melihat surat itu dan dia lalu pergi,” ujar Tanri. ”Setelah itu, saya tak pernah lagi bertemu dengan dia.”
Sekretaris Menteri Negara BUMN, Said Didu, mengaku dialah yang tak meneruskan surat pengangkatan Nasrudin ke Menteri Sofyan. ”Saya tak mau melanjutkan surat pengangkatan itu karena dia tak mengikuti uji kelayakan,” kata Said.
Nah, setelah gagal menduduki kursi direksi itu, Nasrudin kerap melakukan protes di perusahaannya. Belakangan, menurut sumber Tempo di RNI, untuk ”meredam” protes itulah ia lantas diberi jabatan Direktur Putra Rajawali Banjaran. Putra Rajawali, yang memiliki omzet Rp 48 miliar, adalah anak usaha PT Mitra Rajawali Banjaran, yang bergerak di bidang industri kondom dan alat suntik sekali pakai.
Kedudukan itu ternyata tak bisa membungkam mulut Nasrudin. Pria 41 tahun ini kemudian menjadi penyuplai informasi kebobrokan RNI ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak 2008, Nasrudin beberapa kali ke gedung Komisi dan bertemu dengan Antasari Azhar, memberikan sejumlah dokumen yang dianggapnya bisa merontokkan para anggota direksi RNI dari kedudukannya. Lambatnya Komisi mengusut RNI inilah yang, antara lain, diduga membuat ia geram kepada Antasari Azhar.
Yuliawati, Irmawati (Makassar), Amandra Mustika Megarani (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo