MULANYA hanya seperti pertengkaran kecil sesama pengendara, di
keramaian lalulintas Palembang sebuah sepeda motor, Vespa,
mendadak memotong jalan sebuah sedan di belokan Kampung 8 Ulu.
Anwar, pengemudi Toyota Corolla BC 247 AD yang membawa dua orang
kasir Pabrik Karet Hok Tong yang baru saja menguangkan cek
sebesar Rp 73 juta dari Bank Bumi Daya (BBD), dapat menguasai
kendaraannya. Tidak terjadi sesuatu kecelakaan.
Namun, rupanya insiden lalulintas kecil 3 Maret sekitar jam
10.00 tersebut merupakan awal sebuah cerita menarik. Pengendara
Vespa marah-marah dan menuntut agar Anwar dkk
mempertanggungjawabkan tas yang terjatuh di hadapan mobilnya.
Memang tidak lucu. Tapi, melihat yang mengggertak dan mendesak
adalah anggota tentara berpakaian seragam lengkap, seorang
kapten TNI-AD, Anwar meladeninya juga.
Sang Kapten minta agar pegawai-pegawai Hok Tong mengganti isi
tasnya -- sebuah pesawat telepon -- yang katanya rusak akibat
terjatuh tadi. Tentu saja -- Anwar menolak. Tapi si Kapten
mendesak terus. Ia memaksa pegawai pabrik karet tersebut menemui
pemilik barang itu sendiri, katanya komandan pak Kapten, di
Indralaya yang letaknya 40 km dari Palembang ke arah Kayuagung.
Tertembak Di Kepala
Begitulah, sekitar dua jam setelah kejadian di belokan 8 Ulu,
polisi menerima laporan: mobil Elok Tong terperosok sekitar 100
meter dari pinggir jalan di Km 29 Prabumulih. Usman, kasir Hok
Tong, ditemukan mati tertembak kepalanya. Helmi, kawannya, dapat
berjalan ke kantor polisi scndiri walaupun rahangnya cedera
berat -- juga kena tembak.
Ada apa? Rupanya sebuah perampokan berdarah. Jutaan uang Hok
Tong yang dipercayakan kepada kedua kasirnya tersebut ludes.
Anwar agak "beruntung". Ia tidak kebagian peluru. Perampok hanya
menyiram mukanya dengan air aki (ada yang bilang itu air cuka).
Oleh nasibnya yang lebih baik itulah Anwar, yang masih berobat
di rumahsakit, sedikit dicurigai siapa tahu .... ? "Statusnya
memang tahanan," kata Kepala Penerangan Kodam (Kapendam)
IV/SriwiJaya Mayor Karsidi SH.
Syukurlah, tak sampai dua minggu kepolisian dan Laksus, dalam
operasi gabungan mereka, dapat membekuk beberapa orang yang
diduga para pelaku. Petunjuknya, misalnya seorang polisi yang
bertugas di BBD, Senin pagi itu, melihat seorang perwira tentara
mondar-mandir di dekat loket penerimaan. Tentu saja tak ada yang
berani menegurnya walaupun sikapnya memang agak mencurigakan. Ia
selalu mengawasi Usman dah Helmi menghitung uang.
Ditambah dengan keterangan Anwar, yang mengemukakan ciri-ciri
kapten yang menggarapnya, tiga orang ditahan sebagai tersangka.
Yang pertama, Kamis dua minggu lalu ditangkap Kapten Rustam
Effendi Mustofa (35 tahun). Perwira ini adalah Kepala Biro pada
Staf Perencanaan Kodam IV/Sriwijaya. Bersamanya ditangkap juga
Letnan I Murni Syarif (45 tahun), asal Bengkulu -- yang sedang
kena skorsing karena kedapatan beristri dua.
Besoknya, 7 Maret sekitar jam 07.00 giliran Kapten A Sumarna (36
tahun). Menurut pemeriksaan, orang yang mondar-mandir di depan
loket BBD dan bertengkar dengan Anwar di belokan 8 Ulu tak lain
Kapten Sumarna itulah. Perwira ini, sehari-harinya bertugas di
Pendam ebagai anak buah Kapendam Karsidi.
Kapten Sumarna, yang pernah memberi ceramah dalam penataran
wartawan, Humas Pemda dan Humas 4 Angkatan bulan lalu, ditangkap
di Lapangan terbang Talangbetutu.
Kodam IV Sriwijaya, hingga minggu lalu, belum mengumumkan hasil
pemeriksaan terhadap perwira-perwiranya yang disangka brengsek
tersebut. Namun Kapendam Karsidi membenarkan ada tersangka lain,
bernama Mukhtaruddin alias Ajidin, yang sedang diburu. Sumber di
Kodam menyatakan orang ini adalah rentenir yang biasa beroperasi
di tempat perjudian di Taman Ria Kampus. Dan Kapten Sumarna
disangka "terpaksa merampok" karena terikat utang dengan Ajidin,
sekitar Rp 10 juta. Sebab, sejak Desember lalu, perampokan itu
merupakan peristiwa yang keempat yang terjadi di seputar
Palembang.
Pertama, 4 Desember 1979, korbannya adalah gaji guru Tanjungbatu
di Ogan Komering Ilir lebih dari Rp 5 juta. Kapten Arsyad, yang
kebetulan menumpang oplet yang dibajak di tengah jalan oleh 4
orang perampok, tertembak mati. Hingga kini yang berwajib belum
menangkap seorang pelakunya pun.
Kedua, menimpa penduduk Sungaibuaya (Kertapati), minggu terakhir
bulan lalu. Tusin, pengusaha penggergajian kayu, dipaksa
menyerahkan uangnya, Rp 200 ribu, serta barang perhiasan yang
semuanya berjumlah Rp 2 juta kepada 4 orang penodongnya. Siapa
pelakunya? Entahlah.
Sebelumnya, 22 Februari, Toko emas Samajaya di Pagaralam
(Kabupaten Lahat) juga jadi sasaran. Di samping uang tunai Rp
500 ribu, tiga orang perampoknya masih menggaet perhiasan yang
dipajang di etalase. Tapi kali ini mereka sial. Seorang di
antara mereka, ditembak mati oleh seorang polisi berpakaian
preman ketika hendak melarikan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini