Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ada Iklan Obat, Ada Obat Iklan ?

Persatuan perusahaan periklanan indonesia, parfi & wakil media massa mengadakan pertemuan tentang rumusan kode etik periklanan baru yang lebih memadai.

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki semula batuk terpingkal-pingkal. Sesudah menelan sebutir tablet, berhenti segera batuknya. Ia kemudian menoleh, dan tersenyum kepada penonton televisi. Dari film iklan itu terdengar suara: "Konidin merubah batuk jadi senyuman." Hampir setiap malam TVRI menyemprotkan iklan semacam itu, yang dianggap "bisa menyesatkan". Pernah ada lagi lewat TVRI suatu iklan Inza yang mampu, menyembuhkan sakit kepala seketika. Benarkah iklan itu bisa menyesatkan, dan terlalu sugestif. Seorang manajer bagian media biro iklan Indo Ad, menolak anggapan itu. Iklan katanya, selain memberi informasi suatu produk, juga bersifat membujuk konsumen. "Jadi iklan seperti Konidin itu (clien Indo Ad), jangan diartikan secara tersurat," tuturnya. "Sebab tidak mungkin bukan, dengan hanya menelan sebutir tablet batuknya lenyap seketika. Pokoknya dalam soal iklan, konsumen harus kritis." Tapi bagaimana ada jaminan konsumen akan kritis? Iklan obat terutama, demikian Yayasan Lembaga Konsumen, sering dijajakan melampaui batas cara promosi yang sehat dan wajar. Seharusnya, menurut Permadi SH, Ketua YLK, obat-obatan yang bersifat racun dan khusus itu, "tidak boleh diiklankan sembarangan." Kalau toh akan diiklankan, katanya, cukup diutarakan indikasi dan kemasannya saja. Menerima kecaman pedas dari berbagai penjuru, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31), tampaknya mulai tergugah. Apalagi selama ini biro iklan sering dituduh mempermainkan konsumen lewat berbagai pesan komersialnya. Maka P31 mulai Februari berembuk dengan wakil media massa, Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), dan terakhir dengan Wakil Ketua DPR, Mashoeri SH. Bersama dengan Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia, dan wakil media massa, P31 berniat merumuskan suatu kode etik periklanan baru yang dianggap memadai. Pertemuan pendahuluan diselenggarakannya di suatu hotel Jakarta pekan lalu. Diperhatikannya, sebagai perbandingan, kode etik periklanan dari beberapa negara luar. Semua sepaham bahwa kode etik periklanan di sini yang berusia 2 tahun sudah tidak memadai lagi. "Sulit mengontrol aturan main ke-45 anggota P31 dengan kode etik yang masih banyak kelemahannya," ungkap Sav Suardi, Ketua P31. "Dunia periklanan Indonesia memerlukan kode etik baru, yang menjabarkan aturan main secara terperinci, " sambut Permadi. "Ini untuk mencegah konsumen jadi bulan-bulanan biro iklan." Secara teoritis semua pihak sudah berkeinginan melindungi konsumen. Seperti dalam ketentuan siaran periklanan yang dikeluarkan TVRI 20 Mei 1978, jelas diminta biro iklan supaya tidak menjajakan produk clientnya secara berlebihan. Juga mengenai promosi obat, biro iklan tidak diperkenankannya mengumbarkan khasiatnya secara keterlaluan. Nyatanya iklan obat seperti Inza, Konidin, Supradyn, pembersih lantai Vin, yang dijajakan sangat sugestif, sering muncul di TVRI. Radio dan Televisi Malaysia (RTM) sudah melarang iklan dengan cara penyampaian seperti itu. Bahkan film iklan yang memperagakan tubuh wanita, misalnya, untuk promosi pengharum ketiak, parfum dan pencuci rambut, tidak diperbolehkan muncul di RTM. Kenapa TVRI masih menerima iklan seperti itu? "Pada saatnya nanti, semuanya pasti akan berubah, disesuaikan dengan ketentuan periklanan TVRI," jaab Alex Leo, Kepala Stasiun TVRI Jakarta secara tertulis kepada TEMPO. Raja Jalanan TVRI bukannya tak sering menerima kritik pedas. Pernah juga minuman Aqua dan Colt Mitsubishi diperagakannya dan mengundang kritik. Aqua, kata iklannya, lebih sehat dari air yang sudah dimasak sekalipun, sedang Colt adalah raja jalanan. Iklan ini, menurut YLK, bertentangan dengan ajakan pemerintah: agar memasak air sebelum diminum, dan mencegah kebut-kebutan di jalan raya." Juga TVRI dikritik karena masih menyiarkan film iklan yang artis dan karyawan filmnya berasal dari luar negeri (lihat Film). Misalnya iklan lipstick Moondrop, dan pencuci rambut Kadus -- jelas melampaui ketetapan TVRI sendiri 5 tahun silam. Kapan TVRI menyelaraskan ketetapan itu? "Untuk mencapai maksud itu, diperlukan suatu proses, yang menyangkut waktu, dan kemampuan dalam negeri untuk memproduksi materi iklan sendiri," jawab Alex. Kepala Stasiun TVRI Pusat itu membeberkan bahwa instansinya tetap mengutamakan dan terus mendorong produksi iklan di dalam negeri. Buktinya: Januari 1979, dari 110 film iklan yang disiarkan, masih 39 (35%) memakai artis dan karyawan luar negeri. Januari 1980, dari 209 film iklan hanya 30 (14%) masih memakai artis dan karyawan asing. Tapi tentu saja masalahnya bukan cuma asing atau tak asing, melainkan punya pegangan etika atau tidak. Dan dalam hal itu rupanya orang bingung. Pertemuan para tokoh periklanan pekan lalu baru menghasilkan niat. Belum ada obat yang bisa mengubah kode etik lama -- seketika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus