SEORANG lelaki semula batuk terpingkal-pingkal. Sesudah menelan
sebutir tablet, berhenti segera batuknya. Ia kemudian menoleh,
dan tersenyum kepada penonton televisi. Dari film iklan itu
terdengar suara: "Konidin merubah batuk jadi senyuman."
Hampir setiap malam TVRI menyemprotkan iklan semacam itu, yang
dianggap "bisa menyesatkan". Pernah ada lagi lewat TVRI suatu
iklan Inza yang mampu, menyembuhkan sakit kepala seketika.
Benarkah iklan itu bisa menyesatkan, dan terlalu sugestif.
Seorang manajer bagian media biro iklan Indo Ad, menolak
anggapan itu. Iklan katanya, selain memberi informasi suatu
produk, juga bersifat membujuk konsumen. "Jadi iklan seperti
Konidin itu (clien Indo Ad), jangan diartikan secara tersurat,"
tuturnya. "Sebab tidak mungkin bukan, dengan hanya menelan
sebutir tablet batuknya lenyap seketika. Pokoknya dalam soal
iklan, konsumen harus kritis."
Tapi bagaimana ada jaminan konsumen akan kritis?
Iklan obat terutama, demikian Yayasan Lembaga Konsumen, sering
dijajakan melampaui batas cara promosi yang sehat dan wajar.
Seharusnya, menurut Permadi SH, Ketua YLK, obat-obatan yang
bersifat racun dan khusus itu, "tidak boleh diiklankan
sembarangan." Kalau toh akan diiklankan, katanya, cukup
diutarakan indikasi dan kemasannya saja.
Menerima kecaman pedas dari berbagai penjuru, Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (P31), tampaknya mulai
tergugah. Apalagi selama ini biro iklan sering dituduh
mempermainkan konsumen lewat berbagai pesan komersialnya. Maka
P31 mulai Februari berembuk dengan wakil media massa, Persatuan
Artis Film Indonesia (Parfi), dan terakhir dengan Wakil Ketua
DPR, Mashoeri SH.
Bersama dengan Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan
Indonesia, dan wakil media massa, P31 berniat merumuskan suatu
kode etik periklanan baru yang dianggap memadai. Pertemuan
pendahuluan diselenggarakannya di suatu hotel Jakarta pekan
lalu. Diperhatikannya, sebagai perbandingan, kode etik
periklanan dari beberapa negara luar. Semua sepaham bahwa kode
etik periklanan di sini yang berusia 2 tahun sudah tidak memadai
lagi.
"Sulit mengontrol aturan main ke-45 anggota P31 dengan kode etik
yang masih banyak kelemahannya," ungkap Sav Suardi, Ketua P31.
"Dunia periklanan Indonesia memerlukan kode etik baru, yang
menjabarkan aturan main secara terperinci, " sambut Permadi.
"Ini untuk mencegah konsumen jadi bulan-bulanan biro iklan."
Secara teoritis semua pihak sudah berkeinginan melindungi
konsumen. Seperti dalam ketentuan siaran periklanan yang
dikeluarkan TVRI 20 Mei 1978, jelas diminta biro iklan supaya
tidak menjajakan produk clientnya secara berlebihan. Juga
mengenai promosi obat, biro iklan tidak diperkenankannya
mengumbarkan khasiatnya secara keterlaluan.
Nyatanya iklan obat seperti Inza, Konidin, Supradyn, pembersih
lantai Vin, yang dijajakan sangat sugestif, sering muncul di
TVRI. Radio dan Televisi Malaysia (RTM) sudah melarang iklan
dengan cara penyampaian seperti itu. Bahkan film iklan yang
memperagakan tubuh wanita, misalnya, untuk promosi pengharum
ketiak, parfum dan pencuci rambut, tidak diperbolehkan muncul
di RTM.
Kenapa TVRI masih menerima iklan seperti itu? "Pada saatnya
nanti, semuanya pasti akan berubah, disesuaikan dengan ketentuan
periklanan TVRI," jaab Alex Leo, Kepala Stasiun TVRI Jakarta
secara tertulis kepada TEMPO.
Raja Jalanan
TVRI bukannya tak sering menerima kritik pedas. Pernah juga
minuman Aqua dan Colt Mitsubishi diperagakannya dan mengundang
kritik. Aqua, kata iklannya, lebih sehat dari air yang sudah
dimasak sekalipun, sedang Colt adalah raja jalanan. Iklan ini,
menurut YLK, bertentangan dengan ajakan pemerintah: agar memasak
air sebelum diminum, dan mencegah kebut-kebutan di jalan raya."
Juga TVRI dikritik karena masih menyiarkan film iklan yang
artis dan karyawan filmnya berasal dari luar negeri (lihat
Film). Misalnya iklan lipstick Moondrop, dan pencuci rambut
Kadus -- jelas melampaui ketetapan TVRI sendiri 5 tahun silam.
Kapan TVRI menyelaraskan ketetapan itu? "Untuk mencapai maksud
itu, diperlukan suatu proses, yang menyangkut waktu, dan
kemampuan dalam negeri untuk memproduksi materi iklan sendiri,"
jawab Alex.
Kepala Stasiun TVRI Pusat itu membeberkan bahwa instansinya
tetap mengutamakan dan terus mendorong produksi iklan di dalam
negeri. Buktinya: Januari 1979, dari 110 film iklan yang
disiarkan, masih 39 (35%) memakai artis dan karyawan luar
negeri. Januari 1980, dari 209 film iklan hanya 30 (14%) masih
memakai artis dan karyawan asing.
Tapi tentu saja masalahnya bukan cuma asing atau tak asing,
melainkan punya pegangan etika atau tidak. Dan dalam hal itu
rupanya orang bingung. Pertemuan para tokoh periklanan pekan
lalu baru menghasilkan niat. Belum ada obat yang bisa mengubah
kode etik lama -- seketika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini