SENGKETA dimulai hampir dua tahun lalu. Yaitu ketika I Gusti Rai Putra, seorang warga Banjar Kutri, memukul tiga orang anggota banjar itu sebelum upacara pembakaran mayat atau ngaben Sebabnya tidak jelas. Tapi menurut beberapa orang di sana, Rai Putra sebelumnya memang mencurigai kawan yang dipukulnya tersebut hendak mengacau upacara. Sebulan setelah upacara, ketiga angota banjar yang kena pukul tadi menuntut. Mereka didukung oleh 109 KK (kepala keluarga) warga Banjar Kutri. Akhirnya banjar memutuskan jika benar Rai Putra melakukan pemukulan, ia harus membayar 250 uang kepeng (sekitar Rp 1.850). Atau, jika mungkir, ia harus melakukan upacara sumpah. Untuk sementara, sekitar setahun lamanya terjadi semacam perdamaian. Tuntutan adat didiamkan. Tapi begitu ada pergantian pimpinan banjar, yaitu dari I Gusti Made Oka yang mendukung Rai Putra kepada I Wayan Runtun, perkara muncul kembali. Banjar bahkan mengambil keputusan keras: Rai Putra dipecat dan diasingkan dari kebanjaran. Alasan pemecatan yang pasti, tak disebutkan. Tapi ada yang mengatakan karena perselisihan lama antara Rai Putra dengan Wayan Runtun. Ada pula yang bilang karena Rai Putra sudah dua tahun meninggalkan desa dan tinggal di Denpasar. Untuk kembali ke Banjar, begitu adat menentukan, Rai Putra harus membayar denda yang disebut wang penanjung batu sebesar 5.000 uang kepeng (sekitar Rp 37.000). Dan masih dibebani lagi membayar pengeluaran banjar selama ia tidak aktif sebagai anggota banjar. Rai Putra menolak. Ia merasa dipecat tanpa alasan. Sikapnya itu didukung oleh 14 KK -- baik yang masih ada hubungan keluarga maupun simpatisan biasa. Banjar Kutri terdiri dari 109 KK. Di Kota Denpasar, Rai Putra barangkali merasa tak dikucilkan. Tapi ke 14 KK pendukungnya yang dianggap juga telah mengundurkan diri dari kebanjaran, jadi repot. Mereka dilarang menghdiri upacara di Pura milik desa. Mereka hanya boleh nyawang atau menyembah Tuhan di rumah masing-masing. Dan repotnya seperti yang dialami Wayan Muna: anggota keluarga mereka tak bisa dikuburkan di pemakaman desa. Hingga minggu lalu Majelis Lembaga Adat belum bisa membereskan sengketa adat tersebut. Jika tidak memenuhi ketentuan adat, begitu saran lembaga, ke 14 KK harus membuat kuburan sendiri. Wayan Muna hingga kini terpaksa menyimpan jjenazah bayi dari istri keduanya itu di Balai Dangin, tempat yang khusus disediakan untuk menyimpan mayat sebelum dikuburkan. Tapi perbuatan Wayan Muna ternyata menurut adat tak baik seluruh desa dianggap kotor dan semua upacara agama bisa tidak afdol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini