Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Alat Propaganda Menjelang Pemilu

Pemilu di Filipina dan Malaysia jadi contoh medsos sebagai alat propaganda yang ampuh. Kondisi ini rentan muncul di Pemilu 2024.

27 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah remaja menggunakan ponsel di Medan, Sumatera Utara. ANTARA/Septianda Perdana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Langkah Bongbong dan tim dalam pemilu Filipina menggunakan media sosial sebagai alat propaganda berhasil membiaskan realitas tentang ayahnya, Marcos Sr.

  • Kabar bohong di media sosial akan terus diproduksi menjelang Pemilu 2024.

  • Pemerintah mesti memantau penyebaran hoaks secara ketat di media sosial.

JAKARTA – Unggahan video berdurasi sekitar delapan menit membantu mengantarkan Ferdinand Marcos Jr. alias Bongbong terpilih menjadi presiden Filipina pada Pemilu 2022. Video yang beredar di media sosial itu dimaksudkan sebagai upaya penghormatan dan haul ke-104 ayah Bongbong, yaitu Ferdinand Marcos Sr. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Video itu berisi berbagai foto infrastruktur yang dibangun di era pemerintahan Marcos, seperti jembatan, saluran listrik, rumah sakit, dan pembangkit listrik tenaga nuklir. Video yang diunggah di Facebook dan sudah ditonton 4,7 juta kali itu mampu menyirep kaum muda Filipina sehingga melupakan rekam jejak Marcos sebagai diktator. Di samping Facebook, pendukung Bongbong menggunakan berbagai platform media sosial lainnya sebagai alat propaganda, seperti YouTube dan TikTok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Anita Wahid, mengatakan langkah Bongbong dan tim menggunakan media sosial, khususnya TikTok, sebagai alat propaganda memang berhasil membiaskan realitas tentang ayahnya. “Anak-anak muda di sana tidak merasakan bagaimana zaman orang tuanya, sehingga dia (Bongbong) merasa cleansheet kalau menggunakan TikTok sebagai propaganda khusus kepada generasi muda,” kata Anita, Ahad, 26 Maret 2023. 

Selain itu, kata dia, penggunaan media sosial sebagai alat propaganda sangat mudah dilakukan. Sebab, pengguna tinggal membentuk narasi sesuai dengan keinginannya.

Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. di Fort Bonifacio, Taguig, Filipina, 23 Maret 2023. REUTERS/Eloisa Lopez

Menurut Anita, penggunaan media sosial sebagai alat propaganda tidak hanya terjadi di Filipina, tapi juga saat pemilu di Malaysia lalu. Hasil pemilu Malaysia yang menggantung tak terlepas dari peran media sosial, khususnya TikTok. Video berisi kekerasan dan rasisme yang bertebaran di TikTok turut menyebabkan terjadinya ketegangan antar-etnis di negeri jiran itu. Pada 23 November 2022, TikTok sempat menyatakan pihaknya mewaspadai konten-konten yang melanggar pedomannya setelah ketegangan di Malaysia meningkat.

Ketegangan tersebut bermula ketika pengguna media sosial di Malaysia melaporkan banyak unggahan video di TikTok yang memuat kerusuhan 13 Mei 1969. TikTok telah menghapus video tersebut dengan alasan tak ada toleransi terhadap ujaran kebencian, kekerasan, dan ekstremisme.

Di Indonesia, kata Anita, juga bertebaran berita bohong dan disinformasi menjelang Pemilu 2024. Namun kondisi ini merupakan pengulangan dari Pemilu 2014 dan 2019. Misalnya, dalam Pemilu 2014, penyebaran kabar bohong menjadi salah satu kunci untuk membuat elektabilitas kandidat lain menurun. Hal tersebut terlihat dari serangan hoaks terhadap Joko Widodo, calon presiden saat itu, secara terus-menerus. Kabar bohong membuat elektabilitas Jokowi turun, yang semula 80 persen menjadi 50 persen. “Di sini kita tahu bahwa hoaks itu sedemikian dahsyatnya digunakan sebagai senjata pemenangan pemilu,” ujar Anita.

Anita melihat kondisi berbeda terjadi pada Pemilu 2019. Kabar bohong tentang Jokowi dan Prabowo Subianto—calon presiden yang jadi rival Jokowi pada 2019—yang bertebaran di media sosial tak signifikan menggerus elektabilitas kandidat. Justru elektabilitas calon presiden lebih banyak dipengaruhi faktor lain, di antaranya debat antar-kandidat. 

Presiden Joko Widodo (kiri) bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, di Stasiun MRT Senayan, Jakarta, 2019. ANTARA/Wahyu Putro A.

Kerawanan Menjelang Pemilu

Anita menjelaskan, diseminasi hoaks cenderung meningkat mendekati hari H pencoblosan. Misalnya, kabar bohong yang bertujuan mendelegitimasi kandidat. Jenis hoaks ini sangat berbahaya karena menyebarkan narasi yang tidak sepenuhnya berisi kebohongan. Ia mencontohkan stigma tentang Cina dalam Pemilu 2019. 

“Framing ini yang sering dipakai untuk membentuk sense bahwa nantinya segala sesuatu yang terkait dengan Cina tidak dapat dipercaya,” kata Anita. “Ini sukses sehingga saat memasuki masa kampanye banyak sekali sentimen terkait dengan Cina yang digunakan dalam bentuk hoaks dan dampaknya banyak sekali yang mempercayai.”

Ia memprediksi kabar bohong akan terus diproduksi menjelang Pemilu 2024, mesti tak efektif lagi untuk mendelegitimasi calon presiden. Sebab, hoaks yang berusaha memelihara kebencian justru akan menguntungkan calon presiden yang terzalimi. 

Anita menilai karakteristik masyarakat Indonesia yang mudah dipengaruhi menjadi sasaran empuk penyebaran hoaks. “Rasa kecurigaan, rasa marah, dan lainnya itu mudah dibangun dengan hoaks,” ujarnya. 

Pada prinsipnya, kata Anita, tujuan memproduksi hoaks adalah untuk memecah belah masyarakat, lalu membuat masyarakat menjadi irasional, kehilangan nalar kritis, membangkitkan rasa kecurigaan dan kebencian, serta mudah dimanipulasi dan diprovokasi. “Hasilnya, masyarakat kita jadi mudah termakan teori konspirasi,” ujarnya.

Pengendara melintas di bawah mural yang berisi ajakan pelaksanaan pemilu tanpa hoaks di Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 11 April 2019. ANTARA/Muhammad Iqbal

Pengamat dan konsultan keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengatakan ada berbagai cara untuk terhindar dari kejamnya manipulasi hoaks di media sosial menjelang pemilu. “Ini bisa diantisipasi dengan cara pemerintah membuat suatu program yang sangat terukur untuk mengedukasi masyarakat. Ini bisa dilakukan dan dikembangkan lagi dengan mengajak BSSN,” kata Alfons.

Antisipasi lainnya, kata dia, pemerintah memantau penyebaran hoaks secara ketat di media sosial serta menindak tegas peserta pemilu maupun calon presiden yang melanggar aturan kampanye. 

ANDI ADAM FATURAHMAN | ABC | REUTERS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus