Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"I did not care that people wanted to call me 'neither fish nor fowl', and wanted to label me (an Indo), either Indonesian or Dutch. For them I just had to choose between the two, right? Nevertheless, I stubbornly named the turtle as 'neither fish nor fowl', and praised this animal as a unique, land-and-sea-lover who lives to very old ages... and who cuts through oceans from continent to continent." I said, "Just as I do not find the turtle inferior, although he is neither fish nor fowl, I do not think the Indo inferior."
(Tjalie Robinson, majalah Tong Tong, 1 Juni 1970)
Di Indonesia, para pembaca sastra mengenalnya sebagai Vincent Mahieu, penulis Tjies dan Tjoek, yang diterjemahkan dengan indah oleh H.B. Jassin pada 1976. Di Belanda, Tjalie Robinson adalah sastrawan yang dianggap ikon dan penjaga gawang kebudayaan Indo-Belanda dan peletak batu pertama Pasar Malam Tong Tong serta majalah Tong Tong.
Lahir di Nijmegen, Gelderland, 10 Januari 1911, dengan nama Jan Johannes Theodorus Boon, Tjalie masih berusia tiga bulan ketika kedua orang tuanya kembali ke Hindia Belanda. Tjalie, tentu saja saat itu masih bernama Jan Boon kecil, menetap di Jatinegara dan menempuh pendidikan MULO di Batavia. Sangat serius dalam soal akademis, Tjalie juga dikenal sangat atletis dan gemar berolahraga tinju.
Setelah lulus universitas dan menyelesaikan wajib militer, Tjalie menikah dengan Edith de Bruijn pada 1934 dan dikaruniai dua anak perempuan dan satu lelaki bernama Rogier Boon, yang kelak dikenal sebagai ilustrator dan kartunis. Edith wafat empat tahun kemudian ketika anak-anak mereka masih balita. Tjalie menikah lagi dengan Ivonne Benice Christine Niggebrugge, pada 1940, yangmelahirkan satu anak lelaki dan satu anak perempuan. Setelah bercerai dengan Ivonne, pada 1949 Tjalie menikah dengan seorang wartawan, Lilly Mary Hermine van Zele, atau lebih dikenal dengan nama Lilian Ducelle.
Selama kehidupan berkeluarga itu, Tjalie sudah memulai karier jurnalistiknya sebagai kontributor di harian Bataviaasch Nieuwsblad, yang dikenal sebagai koran terkemuka di Hindia Belanda. Inilah harian tempat para penulis Indo-Belanda lainnya mengembangkan karier kepenulisan, antara lain E. du Perron dan Ernest Douwes Dekker.
Peristiwa besar bagi Tjalie dan generasinya adalah ketika Hindia Belanda kemudian merdeka menjadi Republik Indonesia. Indonesia yang baru tak ingin memiliki jejak kolonialisme. Maka, setelah perang fisik 1945-1949 dan akhirnya Ratu Juliana memberikan pengakuan kedaulatan, orang Belanda dan Indo-Belanda "dipersilakan" kembali ke tanah air mereka. Sekitar 300 ribu orang Indo-Belanda berlayar dengan kapal menuju negeri yang seumur hidup belum mereka sentuh. Kalaupun pernah, seperti halnya Tjalie saat dia bayi dan ketika remaja, itu hanya untuk berkunjung.
Marion Bloem, sastrawan Indo terkemuka saat ini, mengatakan generasi orang tuanya adalah generasi yang penuh trauma karena mendadak harus pergi dari Indonesia dan trauma mereka tak dipedulikan pemerintah Belanda.
Pada saat-saat kritis itulah Tjalie menikah dengan Lilian Ducelle dan memutuskan pindah ke Kalimantan (saat itu bernama Borneo). Tjalie memutuskan menggunakan nama Vincent Mahieu (nama belakang yang diambil dari ikon Indo terkemuka, Auguste Mahieu, yang mendirikan Komedie Stamboel) sebagai sastrawan. Di sana, Tjalie melahirkan Tjies dan Tjoek, yang kemudian melejitkan namanya di dunia sastra. Sang istri, Lilian, mengatakan Tjalie bersemangat sekali menulis di rumah mereka-yang terletak jauh dari kota-di tepi sungai dan mengatakan bahwa "inilah tempat saya menetap".
Di sini Tjalie menemukan dunianya: sastra, jurnalistik, dan politik identitas. Tulisan dan karya sastra Tjalie di kemudian hari membuat dia dan sastrawan generasinya memisahkan diri dari genre sastra Belanda.
Pada 1955, akhirnya Tjalie harus kembali ke Amsterdam, lalu menetap di Den Haag. Di sinilah generasi Indo-Belanda mengalami aneka keterkejutan kultural-bukan hanya soal menghadapi empat musim dan hidup tanpa pembantu, melainkan juga perbedaan perlakuan terhadap mereka karena warna kulit yang berbeda. Selain pemerintah Belanda saat itu tampak belum siap menampung gelombang kedatangan warga barunya, masyarakat Belanda (putih) tak semuanya menerima kaum Indisch dengan tangan terbuka.
Hal yang kemudian mengganggu hati Tjalie adalah ketika pemerintah dan masyarakat Belanda memperlakukan mereka seperti orang asing dan menuntut agar kaum Indo melebur dengan kultur Belanda. Tjalie melawan. Dia menganggap orang Indo-Eropa adalah orang-orang yang unik, seperti halnya kura-kura yang bisa hidup di darat dan berenang di laut serta mampu bertahan untuk waktu yang sangat lama. Tjalie menolak dianggap inferior dan mulai menulis serangkaian kolom yang menekankan betapa pentingnya untuk bangga dengan keunikan kaum Indo.
Pada 1958, Tjalie akhirnya mendirikan "satu-satunya majalah Indo di Belanda" bernama Tong Tong. Majalah itu tak hanya untuk warga Indo di Belanda, tapi juga buat komunitas Indo di berbagai negara. Hanya setahun setelah itu, Tjalie dan kawan-kawan memulai Pasar Malam Besar. Kedua warisan ini, majalah Tong Tong (yang kini sudah berubah nama menjadi Moesson) dan Pasar Malam Tong Tong, adalah dua tonggak penting Tjalie yang mempersatukan komunitas Indisch yang masih dipertahankan dan dikembangkan oleh sebagian anak-cucunya yang terlibat secara langsung.
Siem Boon, cucu Tjalie dari istri pertama, adalah salah satu keturunan Tjalie yang kini menjalankan dan menyelenggarakan Pasar Malam Tong Tong dan mengembangkannya bersama adik tirinya, Leslie Boon. Siem mengaku ia mempunyai kenangan manis bersama Opa Tjalie. "Ketika saya masih kecil, kami semua menetap di rumah yang sama: saya, orang tua saya, istri ketiga Opa Tjalie, dan kedua anak mereka...," kata Siem. Dia menambahkan bahwa kantor majalah Tong Tong juga menyatu di rumahnya, sehingga sejak kecil dia sudah mengenal para tante dan om yang bekerja untuk majalah yang sangat penting bagi opanya itu.
Siem mengaku ia sudah menyadari betapa pentingnya posisi Opa Tjalie karena dia memperhatikan, jika sang kakek memasuki ruangan, "Opa Tjalie menjadi pusat perhatian dan tempat orang bertanya."
Bagaimanapun, bagi Siem, adalah sang ayah, Rogier Boon, dan kreativasnya yang memberi pengaruh pada Siem untuk ikut mempertahankan warisan Tjalie. "Tentu saja ideologi Tjalie yang menjadi dasar gerakan kami untuk mengembangkan kegiatan festival," kata Siem, yang kini menjadi Direktur Program Tong Tong Fair. "Sudah lebih dari 50 tahun Belanda tetap tak berubah sikapnya terhadap sejarah kolonial dan terhadap kaum Indo. Dan, dalam hal ini, kakek saya memang memiliki pandangan yang tajam."
Tjalie Robinson juga meninggalkan satu jejak penting dalam dunia sastra. Bersama karya-karya Maria Dermoût dan Louis Coperus, karya Tjalie juga dianggap ikut membentuk karakter sastra Indisch. Bagi Marion Bloem, perbedaan antara sastrawan Indisch pada generasi Tjalie dan generasi dia adalah, "Jika mereka memang mengalami masa kolonial, kami harus melakukan riset tentang asal-usul kami." Menurut Marion, yang novelnya berjudul Een meisje van honderd akan terbit dalam bahasa Indonesia pada Agustus tahun ini, "Kami harus mencari sendiri karena periode kolonial bukan sesuatu yang jelas bagi kami. Masa kolonial adalah realitas masa lalu. Kami mendalaminya dengan penuh keingintahuan, rasa malu dan penuh jarak."
Adapun Siem Boon mengaku, meski dia menyukai gaya penulisan kakeknya, karya sastrawan Indisch favoritnya adalah Maria Dermoût. "Karya Maria mencoba mengubah cara kita berpikir, mengubah suasana hati tanpa berupaya mengubah dunia ini."
Siem Boon menyatakan kekuatan Tjalie adalah pada gaya storytelling, "Tapi akhir cerita Tjalie sering mengecewakan saya karena penuh moral."
Menurut Siem, Tjalie adalah aktivis sejati, maka ia punya ambisi mengubah situasi, sementara Maria sastrawan yang tak memiliki keinginan mengubah dunia. Tapi, apa pun perbedaan kedua sastrawan Indisch itu, Siem merasa dia lebih mirip kakeknya, karena "saya juga ingin hidup dalam sebuah narasi dan ingin melihat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik".
Ini pujian seorang cucu yang pasti terdengar sang kakek yang sudah menjadi kura-kura yang tak hanya hidup di darat dan air, tapi kini telah terbang. Setelah Tjalie meninggal pada 1974, abu Tjalie ditebarkan di Laut Jawa, di sisi Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, pada tahun yang sama. Dengan iringan lembut musik keroncong, "Tempat abu itu kosong karena isinya telah ditebarkan bersatu dengan laut," kata salah satu putra Tjalie.
"Dia sudah pulang ke rumahnya."
Leila S. Chudori, Lea Pamungkas (Den Haag, Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo