Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepatu berwarna merah bata berderet, memagari sepetak sawah. Setiap pasang alas kaki berhak tinggi dan bertali hitam itu mirip lars tentara. Pada petak lahan, kumpulan pembungkus kaki kembar dengan gagahnya menginjak-injak tanah. Benih padi setinggi 25-30 sentimeter tumbuh di lahan itu. Bulir-bulir padi yang masih hijau mempercantik sebagian batang. Jerami berbaring di sela pokok padi, menebarkan bau yang menyegarkan. Air menggenang pada seperempat bidang.
Patung sepatu berbahan tanah liat itu menghiasi pekarangan perupa Djoko Pekik di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pencipta seni instalasi itu adalah seniman Hari Budiono dan Titi Widiningrum. Di tempat karyanya dipajang, Hari mencangkul petak seluas 4 x 7 meter untuk menyemai benih padi. Ia juga menaruh batang padi yang sudah kering. Dari situ, ia ingin menunjukkan bagaimana petani berpeluh ketika memproduksi pangan pokok penduduk Indonesia.
Hari bersama Titi perlu waktu tiga bulan untuk menciptakan karya itu. Mereka melibatkan penduduk sentra gerabah Kasongan, Bantul, untuk membantu mencetak gerabah dalam jumlah banyak. "Idenya berasal dari banyak kasus perampasan tanah petani oleh aparat di sejumlah daerah," kata Hari.
Karya seni berjudul 101 Aparat di Tanah Petani itu satu di antara karya yang tampil dalam Biennale Terracotta di Yogyakarta sejak Mei hingga 7 Juli 2015. Biennale Terracotta yang dihelat pertama kali di Yogyakarta ini bertajuk "Art on the River". Sebanyak 70 seniman Indonesia dan mancanegara memajang karya mereka. Selain Hari Budiono dan Titi Widiningrum, seniman Indonesia yang memamerkan karya antara lain Djoko Pekik, Edhi Sunarso, Nasirun, Entang Wiharso, Dicky Chandra, Teguh Ostenrik, dan Kondang Sugito. Sedangkan seniman luar negeri yang terlibat di antaranya dari Swedia, Jerman, Inggris, Serbia, Slovakia, dan Hungaria.
Tak hanya memajang karya di lahan milik Pekik, perhelatan seni yang akan digelar setiap dua tahun itu juga memamerkan 30 artefak periode Kerajaan Majapahit abad ke-14 di Pintu Miring Artspace Gesik RT 03, Kalipucang, Kasongan. Sebelum masuk ke pekarangan tempat memajang terakota, pengunjung disuguhi instalasi gerabah yang dipasang melayang di kanan-kiri gerbang menuju kediaman Pekik. Rumah Pekik hanya berjarak sekitar dua kilometer dari sentra gerabah di Kasongan. Acara yang digagas perupa Noor Ibrahim ini menganggap hutan kecil asri milik perupa yang pernah berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat itu cocok sebagai tempat pameran karena sesuai dengan tema.
Pekarangan rumah milik Pekik seluas setengah hektare adalah hutan mini yang ditumbuhi bermacam tanaman berbatang keras, yakni pohon jati, mahoni, akasia, dan johar. Di sekitar rumah Pekik terdapat dua sungai, yakni Konteng dan Bedog. Sungai Konteng berada di sebelah selatan rumah Pekik, memagari terakota. Sedangkan sungai Bedog mengalir di sebelah utara rumah Pekik.
Instalasi terakota bertema sungai dieksplorasi seniman asal Hungaria, Eva Bubla. Ia menciptakan sebuah kendi raksasa. Akar pohon membelit seluruh tubuh kendi, sekilas mirip stupa Candi Borobudur. Ratusan kendi berukuran kecil mengelilingi kendi besar itu. Di sudut tempat memajang karya Bubla, berdekatan dengan pagar bambu, ada sebuah kolam berisi air. Pinggiran kolam itu berupa susunan batu bata. Bubla juga memasang tiga kendi bertopang bata. "Ini bentuk keprihatinan terhadap sungai yang kian tercemar sampah dan polutan lain," ujarnya.
Alumnus S-2 Seni Lukis dan Sejarah Seni Rupa University of Szeged, Hungaria, ini perlu dua bulan lebih untuk menyelesaikan karyanya. Ia membuatnya di pendapa milik Noor Ibrahim. Pendapa itu menjadi tempat bagi semua seniman Biennale Terracotta untuk menciptakan karyanya.
Berbeda dengan karya Bubla yang penuh pesan spiritualitas, perupa Djoko Pekik menciptakan terakota bertema angkara murka. Karyanya memakai figur binatang. Setidaknya 13 anjing mengerubuti satu celeng besar. Gerombolan binatang pemburu itu mengeroyok babi hutan yang tersungkur tak berdaya. Kaki celeng patah. Karya itu berjudul Divide Et Impera. "Celeng gambaran penguasa. Sedangkan anjing simbol rakyat kecil pemburu angkara murka," kata Pekik. Dia setidaknya membutuhkan tiga hari untuk menggarap patung babi dan anjing itu. Pekik melibatkan tukang untuk mencetak patung.
Penggagas Biennale Terracotta, Noor Ibrahim, menyatakan pameran itu merupakan wujud kegelisahannya pada terakota, yang selama ini hanya menjadi bahan dekoratif di Kasongan, lingkungan tempat dia tinggal. Gerabah kerap dianggap sebagai benda yang rapuh. Ini membuat bahan itu kalah pamor dibanding perunggu dan besi. Membikin Biennale Terracotta perdana itu bukan perkara gampang. "Paling sulit meyakinkan banyak teman untuk bikin acara. Terakota dianggap remeh karena bahannya ringkih," ujarnya.
Semula konsep awal pameran ini adalah memajang karya seniman sejauh satu kilometer di tepian Sungai Bedog, Kasongan. Dengan begitu, pengunjung bisa menikmati karya seni sembari menyusuri sungai menggunakan perahu yang didesain khusus. Tapi konsep itu dibatalkan karena pertimbangan keselamatan pengunjung.
Menurut Noor Ibrahim, sejarah Indonesia yang kaya akan budaya dan seni terakota menginspirasinya mendirikan Terracotta Biennale Foundation. Sungai dipilih menjadi tema pameran karena sejarah dan budaya Indonesia tumbuh dari situ. Sungai menjadi sumber kehidupan manusia. Tapi, di zaman modern, banyak sungai di Indonesia yang mulai ditinggalkan dan dipenuhi sampah.
Kasongan, kata Noor Ibrahim, memiliki sejarah panjang. Di tempat ini dulu terdapat tokoh yang melawan kolonialisme Belanda bernama Kiai Song. Perlawanan itu muncul ketika ia menyaksikan lingkungan kampung halamannya dipenuhi tanah liat. Bentuk perlawanan Kiai Song sangat halus berdasarkan kondisi alam. Dia melakukan seruan bawah tanah kepada masyarakat desa supaya tidak memilih jalan hidup sebagai petani.
Sebab, hasil panen kerap diminta paksa oleh Belanda sebagai stok logistik. Dalam situasi itu, Kiai Song meyakinkan masyarakat bahwa ada cara hidup yang lebih bermartabat dan tidak terjajah. Caranya adalah menjadi seorang pekundhi: bekerja dengan membuat peralatan dapur yang menggunakan bahan baku tanah liat. Siasat bawah tanah Kiai Song berjalan baik. Dan perlawanan Kiai Song itu kini mengilhami sebuah biennale.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo