Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KWEE Thiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri membutuhkan lebih dari 20 tahun untuk akhirnya blakblakan membocorkan nama dalang tragedi Mergosono, 31 Juli 1947. Dalam peristiwa nahas itu, sedikitnya 30 orang keturunan Cina yang tinggal di Kota Malang, Jawa Timur, dibunuh kelompok revolusioner. Foto yang beredar memampang mayat-mayat korban di bekas pabrik pembuatan mi di Mergosono. Sebelum dibunuh, mereka meregang nyawa dengan disiksa hebat, disiram bensin, kemudian dibakar. Mereka dihabisi karena dituduh sebagai “anjing NICA” alias mata-mata Belanda dalam Agresi Militer I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah kecamuk itu, Thiam Tjing wira-wiri di kotanya dengan bersepeda. Ia keluar setelah terkejut mendapati rumahnya sunyi. Ia semula mengira rumahnya disatroni maling, tapi ternyata tak ada sedikit pun barangnya yang hilang. Dari tukang kebunnya, ia mengetahui keluarganya sudah digeret para pemuda gerilyawan ke Rumah Sakit Tiong Hwa Ie Sia—sekarang RS Panti Nirmala—di Kebalen Wetan. Thiam Tjing lalu menggenjot sepedanya dan mendapati jalanan di dekat RS telah disekat palang-palang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam buku Menjadi Tjamboek Berdoeri (2010) yang disunting Ben Anderson dan Arief W. Djati, Thiam Tjing menyingkap nama pembunuh dalam tragedi Mergosono, yakni seorang tentara bernama Pramoe. Nama itu berkali-kali disebut pada halaman 183-184 dengan deskripsi terang mengenai perannya dalam pembantaian. “Saja ketemu Pramoe jang tadinja ada djuga mendjadi anggota stadswacht Malang, malah masih masuk brigade saja. Kantara sekali Pramoe yang mendjadi kepala orang2 itu,” ujar Thiam Tjing.
Buku Puji Widhi Bhakti Pertiwi/National Archives, CC0
Tulisan itu dimuat dalam harian Indonesia Raya milik wartawan Mochtar Lubis. Menurut Arief W. Djati, Thiam Tjing bertemu dengan Mochtar pada 1970-an, setelah sempat sepuluh tahun tinggal di Malaysia. Selama menetap di negeri jiran, Thiam Tjing vakum menulis. Harian Indonesia Raya sendiri menyediakan slot halaman untuk Thiam Tjing ketika media lain tak lagi punya rubrik yang cocok untuknya. “Redaktur pelaksana Indonesia Raya, Jafar Assegaf, menyebut Thiam Tjing sebagai jurnalis tua yang tetap berapi-api. Tulisannya juga sangat rapi,” kata Arief.
Thiam Tjing berani menceploskan nama Pramoe dalam tulisannya, menurut dugaan sejarawan Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya, F.X. Domini B.B. Hera, karena sang jurnalis ingin melepaskan beban pada masa senjanya. Tulisan soal Pramoe dimuat harian Indonesia Raya antara 1971 dan 1972, sekitar dua tahun sebelum Thiam Tjing meninggal pada usia 74 tahun. Alasan lain: Mochtar Lubis dan Thiam Tjing sama-sama vokal dan nekat. Adapun Pramoe menemui ajal karena ditembak Belanda tak lama setelah masa revolusi.
Dalam buku tentang pembumihangusan Malang yang ditulisnya pada 1947, Thiam Tjing masih menyimpan identitas dalang tragedi Mergosono. Ia menyebut Pramoe dengan nama Djamino Djaliteng, yang merujuk pada karakter perusuh durjana. Pada masa itu, Thiam Tjing belum membocorkan identitas Pramoe karena sejumlah pertimbangan. Di antaranya keduanya sama-sama mendapat gemblengen militer, bahkan tergabung dalam brigade yang sama.
Ravando Lie, penulis buku 90 Tahun RS Panti Nirmala (Tiong Hwa Ie Sia), Sejarah, Peranan, dan Perjuangan, berkata lain. Ia menyebutkan komandan laskar eksekutor pembantaian Mergosono adalah Prawiro. Hal itu didasari laporan Chung Hua Tsung Hui Malang. Ihwal perbedaan ini, Arief lebih condong mempercayai pengakuan Thiam Tjing. “Sebab, Thiam Tjing kenal langsung pembunuhnya, satu brigade, dan pastinya, yang dibunuh adalah sanak familinya. Jadi tak mungkin dia sampai lupa nama pembunuh di Mergosono,” tutur Arief.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo