Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KLAUS Meine bersiul, memulai lagu Wind of Change di atas lidah panggung. Vokalis kelompok musik rock asal Jerman, Scorpions, itu mendekati ribuan penonton. Gambar merpati terbang yang menyimbolkan perdamaian muncul pada layar di belakang Meine berdiri. Dia mengajak para penonton bersama-sama menyanyikan nomor balada rock yang lembut tersebut. Citraan lingkaran berwarna putih, simbol antiperang, memenuhi layar ketika lagu itu hampir berakhir. “Ini lagu tentang harapan dan perdamaian,” kata Meine kepada penggemarnya di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Ahad malam, 1 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wind of Change, yang diambil dari album Crazy World (1990), merupakan lagu paling populer dan laris sepanjang karier Scorpions. Lagu ini mengisahkan tentang berakhirnya Perang Dingin, limbungnya Uni Soviet dan negara-negara komunis di Eropa Timur, serta runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, yang kemudian mengubah Eropa dan dunia. Kala itu, Wind of Change sering berkumandang karena dianggap sebagai lagu rock yang mengungkapkan perasaan sebagian besar warga Eropa yang sudah lelah menghadapi Perang Dingin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu Wind of Change terinspirasi setelah Scorpions tampil dalam Moscow Music Peace Festival pada 1989. Dalam lirik lagu tersebut, sang penyanyi bercerita tengah berjalan-jalan di sepanjang Sungai Moskva, lalu ke Gorky Park, dan ia mendengar angin perubahan yang akan segera datang. Moskva adalah nama sungai yang mengalir di Moskow dan Gorky Park merupakan taman kota di sana yang dinamai sesuai dengan nama penulis Rusia terkenal, Maxim Gorky. Lirik lagu itu menyuarakan saling pengertian antara negara Eropa Barat dan Timur, serta menghapus perseteruan mereka.
Scorpions membawakan Wind of Change menjelang tengah malam di pengujung konser JogjaROCKarta International Rock Music Festival 2020. Tahun ini merupakan keempat kalinya festival yang mengundang musikus rock dunia tersebut berlangsung. Selama 90 menit, para personel band bersimbol kalajengking yang berdiri di Hannover, Jerman, pada 1965 itu tampil energetik dan menunjukkan totalitasnya. Selain digawangi Klaus Meine, Scorpions beranggotakan Rudolf Schenker (gitar), Matthias Jabs (gitar), Pawel Maciwoda (bas), dan Mikkey Dee (drum). Duo gitaris, Jabs dan Schenker, kerap bergerak lincah mendekati penonton di lidah panggung.
Meski usia para personel Scorpions di atas 50-70 tahun, itu tak menghalangi mereka tetap tampil prima. Mereka membawakan lagu-lagu lawas yang menjadi favorit pencinta fanatik. Total lagu yang mereka lantunkan sebanyak 15. Nomor-nomor yang familier di telinga penggemarnya antara lain Send Me an Angel, Still Loving You, dan Rock You Like a Hurricane. Sebagian besar lagu mereka terdengar menggelegar lewat pengeras suara berkapasitas 100 ribu watt.
Di atas pentas, Klaus Meine mengenang aksi panggung mereka di Indonesia. Scorpions pernah tampil di Bandung pada 2001 dengan iringan akustik serta di Jakarta dan Bali pada 2004. Rudolf Schenker dan Klaus Meine pernah tampil bersama musikus Indonesia dalam acara “East Meets West Festival” di Bali pada 1990. Meine menunjukkan keramahannya di hadapan penggemarnya. “Selamat malam, Yogyakarta. Apa kabar? Terima kasih, Indonesia,” katanya.
Penampilan Scorpions malam itu cukup megah dengan dukungan latar panggung yang semarak dan berwarna. Gambar animasi beraneka kelir, berupa pesawat bertulisan “Scorpions”, kota-kota besar di dunia dengan gedung pencakar langitnya, sepasang kekasih, awan, dan kalajengking, menghiasi layar berukuran 18 x 6 meter di panggung berukuran 34,16 x 12,20 meter. Layar bergerak ditunjang suara, misalnya bunyi pesawat, menambah ramai dan gebyar aksi panggung mereka. Kepada pendiri JogjaROCKarta sekaligus CEO Rajawali Indonesia, Anas Syahrul Alimi, manajemen Scorpions secara khusus meminta pencahayaan dan pelantang suara sesuai dengan keinginan mereka. Pencahayaan yang megah dan suara yang jernih. “Mereka minta penataan panggung yang matang,” ujar Anas.
Penampilan Scorpions dan Whitesnake (kanan) di perhelatan JogjaROCKarta #4 di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 1 Maret lalu./ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Selain menata panggung, tim JogjaROCKarta menyiapkan alat deteksi panas suhu badan di pintu masuk penonton. Alat ini digunakan untuk melihat ada atau tidaknya penonton yang mengalami demam, sebagai satu di antara tanda virus corona untuk mengantisipasi penyebaran wabah itu. Hujan yang mengguyur Yogyakarta sejak siang hingga sore hari juga membuat panitia secara dadakan menyiapkan ubin di belakang panggung. Manajemen Scorpions secara ketat mewaspadai penyebaran virus yang mematikan itu sejak kedatangan mereka di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Scorpions dan manajemen tiba di bandara pada Jumat, 28 Februari lalu, pukul 10.00 menggunakan maskapai penerbangan SilkAir.
Semua anggota band tersebut mengenakan masker. Mereka tidak mau bersalaman dengan siapa pun saat mendarat di bandara hingga menuju Hotel Tentrem, tempat mereka beristirahat. Scorpions juga membatalkan agenda jumpa dengan penonton terpilih. Saat jumpa pers berlangsung sehari sebelum mereka tampil, manajemen Scorpions meminta ada pembatas antara jurnalis dan personel yang berbicara. Mereka juga tidak mau berjabat tangan dengan siapa pun. Selain itu, manajer mereka mewanti-wanti tim JogjaROCKarta agar interaksi dengan jurnalis hanya berlangsung selama 30 menit.
Setelah meneken kontrak dengan Scorpions pada Oktober 2019, Anas dan timnya waswas terhadap wabah corona yang menyebar ke berbagai penjuru dunia. Kepada agen yang menghubungkan tim Anas dengan manajemen Scorpions, Anas bertanya tentang virus corona. Mereka menyatakan konser tetap berlangsung.
Sama dengan Scorpions, band rock legendaris asal Inggris, Whitesnake, membentengi diri dari penyebaran virus corona. Setiba di bandara Yogyakarta, semua personel kelompok musik itu mengenakan masker. Mereka bahkan tidak mau bertemu dengan banyak orang sesampai di hotel. Begitu sampai hotel, mereka langsung ke kamar dan tidak melewati lobi. Whitesnake menolak penyambutan dengan pengalungan bunga.
Whitesnake, yang naik pentas sebelum Scorpions, tampil memenuhi dahaga para penggemar musik hard rock. Sang vokalis, David Coverdale, menyapa ribuan penonton dengan suara mengentak. “Are you ready!” ujar Coverdale, yang disambut riuh para penggemarnya. Malam itu, Coverdale bersama Reb Beach (gitar), Michael Devin (bas), Joel Hoekstra (gitar), Tommy Aldridge (drum), dan Michele Luppi (keyboard) langsung menggeber dengan Bad Boys, Slide It In, Love Ain't No Stranger, Hey You (You Make Me Rock), dan Slow an' Easy. Mereka juga membawakan Is This Love dan Here I Go Again—lagu ikonik mereka.
Para personel Whitesnake yang rata-rata sudah gaek itu juga tampil prima dan garang. Aksi panggung mereka, kepiawaian memainkan instrumen musik masing-masing, dan kualitas vokal Coverdale masih begitu prima seolah-olah tak lekang dimakan usia. Di tengah penampilan mereka, Tommy Alridge memukau penggemarnya dengan menabuh drum tanpa stik alias dengan tangan kosong selama lima menit. Sorak-sorai para penonton pun riuh menyambut aksi itu.
Dan, di panggung, David Coverdale mengenang ketika dia pertama kali tampil di Jakarta bersama grup cadas Deep Purple pada 1975. Saat itu, ia bersama personel Deep Purple lain, yakni Tommy Bolin (gitar), Glenn Hughes (bas), John Lord (keyboard), dan Ian Paice (drum), mengguncang Jakarta dalam konser di Stadion Senayan. Kini, setelah 45 tahun, penampilan Coverdale masih energetik. Vokalnya masih memukau.
Boleh dibilang malam itu Whitesnake dan Scorpions menunjukkan energi yang belum memudar seiring dengan usia tua mereka. Seusai konser di Yogyakarta, Scorpions bertolak ke Singapura untuk tampil di Singapore Rock Festival. Mereka mengunggah perjalanan ke Singapura setiba di bandara melalui akun Instagram Scorpions. Klaus Meine terlihat mengenakan masker.
Scorpions dan Whitesnake memutuskan tetap menggelar konser di Indonesia karena pemerintah sebelumnya mengumumkan tidak ada kasus orang terkena virus corona di Tanah Air. Situasi itu menguntungkan Anas dan timnya. Tapi, sehari setelah Scorpions tampil di Yogyakarta, Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus virus corona di Indonesia pada Senin, 2 Maret lalu. Jokowi menyebutkan dua orang warga negara Indonesia tertular dari warga negara Jepang yang positif terkena corona. Dua orang tersebut dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara. “Kami beruntung. Kalau pengumumannya sebelum konser, bisa semaput (pingsan) saya,” kata Anas.
Wabah corona juga membuat Anas khawatir tak bisa membawa band rock asal Mongolia, The Hu. Tapi kekhawatiran itu teratasi karena Indonesia tidak menetapkan peringatan perjalanan untuk orang-orang yang datang dari Mongolia. The Hu, yang beranggotakan rocker muda, tampil dengan pakaian tradisional Mongolia dan membawa morin khuur, alat musik tradisional gesek yang menjadi simbol negara itu.
Dari dalam negeri, band yang tampil adalah Navicula asal Bali, yang identik dengan lagu bertema lingkungan. Ada juga Kelompok Penerbang Roket dan Powerslaves. Lalu kelompok musik legendaris God Bless. Band beranggotakan Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bas), Abadi Soesman (keyboard), dan Fajar Satritama (drum) itu membawakan lagu-lagu terkenal mereka, di antaranya Huma di Atas Bukit, Rumah Kita, dan Semut Hitam.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo