Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kaum buruh mencoba berkontestasi dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004 dengan mendirikan partai politik buruh, tapi gagal masuk parlemen nasional.
Sejak 2009, beberapa serikat buruh dan kelompok buruh independen mencoba masuk ke politik elektoral, menjalin kontrak politik dengan partai politik.
Serikat dan kelompok buruh juga menegosiasikan tuntutan politiknya dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012 serta pemilihan presiden 2014 dan 2019.
GERAKAN buruh Indonesia mengalami pasang-surut dalam perjalanan sejarahnya. Gerakan ini tumbuh dan bangkit pada masa pergerakan melawan kolonialisme, menjadi pendorong dekolonisasi, serta memiliki peran signifikan dalam politik pada masa kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin. Situasi berubah drastis setelah peristiwa 1965, yang ditandai dengan kejatuhan Sukarno. Terjadi kemerosotan peran politik buruh. Menurut Vedi Hadiz (1997), absennya kelompok kiri dalam percaturan politik Orde Baru makin membenamkan artikulasi politik kaum buruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, gerakan buruh tidak punah pada masa Orde Baru. Dalam dominasi kooptasi serikat buruh unitaris (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), masih ada geliat gerakan buruh independen yang diorganisasi lembaga swadaya masyarakat atau berserikat seperti Serikat Buruh Setiawan ataupun Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Geliat ini menjadi akar yang terus tumbuh ketika era kebebasan berserikat muncul kembali setelah kejatuhan Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku yang ditulis Michele Ford dari University of Sydney, Australia; dan Teri L. Caraway dari University of Minnesota, Amerika Serikat, ini menggambarkan langgam gerakan buruh pasca-Orde Baru. Langgam itu dimulai dari tuntutan normatif pengupahan dan jaminan sosial hingga upaya memasuki ranah politik elektoral.
Transisi demokrasi ditandai dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum 1999 dan 2004. Kelompok buruh pun mencoba turut berkontestasi lewat partai politik. Eksperimen ini gagal mengantarkan partai buruh masuk ke parlemen nasional. Hal ini memperlihatkan bahwa, walau ruang kebebasan ekspresi telah terbuka, bila tanpa rekognisi legal aliran politik kiri pasca-Orde Baru, tak mudah mengembalikan peran politik buruh secara signifikan.
Kebanyakan geliat buruh yang diulas adalah politik jalanan mengusung hak normatif pengupahan dan jaminan sosial dengan capaian maksimal terbitnya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Itu kemajuan politik jalanan kaum buruh yang selama ini hanya berkutat pada perkara pengupahan. Momentum ini juga telah membentuk konfigurasi politik untuk isu perburuhan, yaitu serikat buruh, LSM, dan legislator. Bagaimana kalangan akademikus Indonesia bersikap terhadap tuntutan buruh tak ditulis dalam buku ini.
Buku ini mengulas eksperimen kaum buruh setelah gagal total dalam agenda partai politik buruh pada Pemilu 1999 dan 2004 dengan gerakan “Buruh Go Politics”. Sejak 2009, beberapa serikat buruh dan kelompok buruh independen mencoba masuk ke politik elektoral, menjalin kontrak politik dengan partai politik. Ini dilakukan di kantong-kantong buruh, seperti Batam, Bekasi, Deli Serdang, Gresik, dan Tangerang. Langkah ini telah meningkatkan kapasitas dan kemampuan mereka dalam melakukan negosiasi politik.
Masuknya gerakan buruh ke ranah politik elektoral juga harus dikritik dalam perspektif kualitas partisipasi dan pragmatisme politik. Apakah manfaatnya dirasakan hingga massa akar rumput atau hanya dinikmati elite gerakan buruh? Pertanyaan kritis ini muncul dalam buku Benny Juliawan (2014) tentang buruh dan pengalaman elektoral pasca-Orde Baru berjudul Menentang Kaum Elite.
Di sisi lain, kebijakan ekonomi-politik juga sangat dipengaruhi agenda neoliberal melalui donor pembangunan. Herlambang Perdana (2006) menuliskan bagaimana gerakan buruh pada masa pasca-Orde Baru merespons kebijakan ekonomi-politik yang mempengaruhi reformasi kebijakan perburuhan.
Serikat dan kelompok buruh juga menegosiasikan tuntutan politiknya dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012 dan pemilihan presiden 2014. Ada tiga serikat buruh yang tak malu-malu menyampaikan sikap politik, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Tokohnya: Said Iqbal (Presiden KSPI), Andi Gani Nena Wea dan Yorrys Raweyai (keduanya mengklaim sebagai Presiden KSPSI), serta Mudhofir (Ketua Umum KSBSI). Hal ini berlanjut ke pemilihan presiden 2019.
Menguatnya kembali gerakan buruh dengan mengkritik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja membuktikan fakta dan relevansi gerakan buruh pasca-Reformasi seperti ditulis dalam buku ini. Dengan segala varian dan orientasi politiknya, buruh berkali-kali berhasil menggagalkan rencana pemerintah dan parlemen merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. Apakah kali ini gerakan buruh yang terpolarisasi secara politik akibat Pemilu 2014 dan 2019 mampu kembali bersatu untuk menghadapi musuh bersama RUU “Cilaka”
WAHYU SUSILO, DIREKTUR EKSEKUTIF MIGRANT CARE, PENELITI SEJARAH PERBURUHAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo