Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho adalah ujung tombak advokasi korban kekerasan seksual di Nusa Tenggara Timur yang kerap menangani kasus kekerasan seksual kelas berat.
Pengalaman masa lalunya sebagai penyintas membuatnya bertransformasi menjadi advokat yang lemah lembut dan pendengar yang baik bagi korban kekerasan seksual.
Memiliki reputasi yang baik dan tidak hanya bekerja sebatas mendampingi perkara.
BELASAN tahun lalu, Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho, 35 tahun, merasa hidupnya seolah-olah berada di dalam penjara. Selama tujuh tahun berpacaran, ia sering mengalami kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual. Hingga suatu waktu, ia hamil saat berusia 20 tahun. Saat itu dunia perempuan yang akrab dipanggil Puput ini seakan-akan runtuh dan ia hanya bisa menangis setiap malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puput tak hanya merasa kalut, tapi juga diintai perasaan malu. Tekanan psikis itu membuatnya keguguran. Ia mengandung janin yang meninggal di dalam kandungan lebih dari dua pekan. “Saya tidak habis pikir karena tak mengalami keracunan. Pemeriksaan laboratorium mengatakan saya baik-baik saja,” katanya saat ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Nusa Tenggara Timur di Kelapa Lima, Kota Kupang, Kamis, 15 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal ia bisa saja mati keracunan waktu itu. Peristiwa itu menjadi titik balik dalam kehidupan Puput. “Saya betul-betul minta ampun kepada Tuhan. Dan betul-betul Tuhan memperbaiki kehidupan saya,” ujarnya. Selepas mengalami kejadian traumatis itu, Puput menjalani kehidupan selayaknya mahasiswa.
Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho (kanan) saat berkordinasi terkait kasus kasus kekerasan seksual dengan rekan kerja di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 15 Desember 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Puput mengatakan saat itu ia tidak pernah berpikir akan menjadi advokat. Di dalam pikirannya ketika itu hanya menyelesaikan studi sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum yang mulai kuliah pada 2006 dengan sebaik-baiknya. “Untuk mengisi kekosongan, saya mengikuti proses untuk menjadi pengacara tanpa saya paham betul apa yang saya mau ketika jadi pengacara kelak,” tuturnya.
Kehidupannya berubah ketika ia dilantik sebagai advokat dan memakai toga. “Saat pendeta memberkati, saya baru terbuka. Oh, ini ternyata yang Tuhan mau,” ucap Puput. Ia tercekat beberapa saat, lalu menangis. “Saya tersadar ini, saya harus menjadi berkat untuk orang lain, terutama untuk perempuan yang mengalami peristiwa seperti saya. Oh Tuhan, terima kasih.”
•••
SEBELUM berkarier sebagai advokat di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan NTT, Puput adalah seorang pendamping korban. Ia mengenal lembaga yang berfokus pada advokasi berkeadilan gender itu dari pamannya. Puput bergabung pada 2013, dua tahun setelah menamatkan pendidikan sebagai sarjana hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Dia menggeluti peran sebagai pendamping korban selama lima tahun. Baru pada 2018 ia menjalani peran baru sebagai advokat di LBH Apik NTT. “Karena waktu itu sudah mengambil pendidikan khusus profesi advokat, sudah ada penyumpahan advokat. Istilahnya sudah resmi menjadi advokat,” tuturnya. Sejak itu, ia menjadi ujung tombak LBH APIK NTT untuk menyelesaikan pelbagai kasus kekerasan yang mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak.
Puput sering menemui kasus-kasus berat. Saat ini ia tengah menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang perempuan penyandang disabilitas intelektual. “Kepolisian agak lama memprosesnya, mengambil visum et repertum, dan mengambil keterangan dari korban,” katanya. Korban keburu meninggal sebelum ia berhasil menarik pelaku ke meja hijau.
Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho di Lapas Perempuan Kupang, Nusa Tenggara Timur, 15 Desember 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Tantangannya pun bertambah berat karena pelaku adalah kakak ipar korban. Ia menjelaskan, korban dan pelaku tinggal dalam satu rumah yang sama dan berasal dari keluarga yang sangat miskin. “Kakak iparnya adalah tulang punggung keluarga,” ujar Puput, yang meraih gelar master hukum di Universitas Nusa Cendana pada 2015.
Peristiwa pemerkosaan terjadi karena di rumah tersebut satu keluarga tidur di ruangan yang sama. “Korban tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar. Dia hanya pasrah,” ucap Puput. Pemerkosaan ini terbongkar ketika perut korban membuncit. Keluarganya yang curiga lantas memeriksakan kondisi kesehatan korban ke pusat pelayanan kesehatan terdekat.
Bidan yang memeriksa menyatakan korban tengah hamil. Dalam perjalanan kasusnya, korban mengalami pembengkakan di kaki sehingga sulit beraktivitas dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Akibatnya, korban mengalami infeksi di bagian belakang tubuh hingga akhirnya meninggal. “Tapi kami tetap bertekad menuntaskan kasusnya,” ujar Puput.
Kasus berat lain yang tengah Puput tangani adalah pembunuhan yang dilakukan seorang anak perempuan yang belum genap berusia 17 tahun akibat pemerkosaan berulang yang ia alami. Namun, dalam perjalanan persidangan, hakim tidak melihat masa lalu pelaku yang merupakan korban pemerkosaan berulang. Menurut Puput, hakim hanya melihat anak yang ia dampingi melakukan penikaman yang menyebabkan seseorang tewas.
Dalam kasus itu, tantangan yang dihadapi Puput tidak ringan. Anak yang ia dampingi itu membunuh pemerkosanya yang merupakan pendeta. “Sosoknya sangat dihormati dan disegani masyarakat sehingga hampir tak ada yang percaya bahwa laki-laki tersebut melakukan pemerkosaan berulang selama tiga tahun dan memanipulasi anak-anak yang masih di bawah umur untuk memuaskan hasrat seksualnya,” tuturnya.
Untuk menangani kasus-kasus berat seperti ini, Puput kerap meminta bantuan psikolog. Salah seorang psikolog yang kerap membantunya adalah Merlyn Benu. Merlyn juga yang membantu Puput dalam menangani kasus pemerkosaan anak perempuan penyandang disabilitas intelektual tersebut.
Menurut Puput, pendampingan secara psikis terhadap korban kekerasan seksual tak kalah penting dari pendampingan hukum. “Sudah selayaknya keduanya berjalan berdampingan. Terlebih sekarang sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memungkinkan korban mendapatkan pendampingan psikis yang diperlukan untuk memulihkan trauma,” ujarnya.
Menurut Merlyn, Puput adalah seorang advokat yang cukup progresif. Sebab, Puput tidak hanya melulu berfokus pada aspek hukum dari kasus yang sedang ia tangani. “Puput memikirkan kondisi psikis korban atau mitranya. Ia bisa mendengarkan korban selayaknya seorang sahabat dan mendapat kepercayaan dari korban,” katanya.
Merlyn mengatakan pernah suatu waktu ia mengadakan pelatihan psychology covers aid untuk konselor yang ingin mempertebal kemampuan pendampingan psikis. Dia terkejut ketika mendapati Puput mengikuti pelatihan itu. “Puput bilang ia ingin tahu cara menenangkan mitra yang ia dampingi ketika bercerita sambil menangis. Padahal itu adalah tugas konselor,” tutur Merlyn.
Dari situ, ia memiliki penilaian tersendiri mengenai sosok Puput. “Puput mengerjakan isu ini benar-benar dengan hati. Ia mau memberi waktu dan telinga untuk mendengarkan,” ujarnya. Merlyn juga merasa ia akhirnya mendapatkan sekondan dalam satu perahu meskipun hal yang dikerjakan berbeda. “Saya tahu saya punya teman kerja yang satu visi,” ucapnya.
Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho saat berkunjung ke rumah orang tua korban kekerasan seksual Sri Lestari Dapati Bahren di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 15 Desember 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Merlyn kerap bekerja sama dengan Puput dalam setahun terakhir. Sebelumnya dia hanya mengenal Puput dari jaringan kerja advokasi yang ia tekuni sejak mulai menjadi relawan psikolog pendamping untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebuah kasus kekerasan seksual di Kabupaten Kupang yang mengakrabkan mereka. “Kasus itu membuat saya jadi sering berkomunikasi dengan Puput karena saya melakukan asesmen untuk memasukkan laporan,” tuturnya.
Pada tahun ini, kata Merlyn, berkat Puput, ia jadi bisa melakukan pendampingan psikis untuk tahanan perempuan di lembaga pemasyarakatan perempuan Kupang. “Saya memang saat itu sedang mencari cara untuk bisa masuk ke LP perempuan dan itu sangat sulit. Padahal saya sudah beberapa tahun bekerja sama dengan LP anak,” ujarnya.
Menurut Merlyn, para perempuan di LP perempuan tersebut menerima kehadirannya dengan sangat baik. “Mereka sangat butuh pelayanan kesehatan psikologis tapi tidak terfasilitasi dengan baik,” tuturnya. Ia bersyukur bahwa Puput dapat menangkap kebutuhan itu dengan baik dan mengajaknya ikut melakukan kegiatan di dalam LP perempuan tersebut.
Puput mengatakan pilihannya untuk menjadi teman bagi para korban berkaca pada pengalaman masa lalunya. Ia adalah penyintas kekerasan seksual. “Saya merasa seperti menolong diri saya sendiri. Ketika berbicara dengan mereka, saya seperti berbicara dengan diri sendiri,” ucap lajang yang lahir di Kupang pada 1987 ini. Ia tahu betul rasa sepi dan kalut yang dihadapi korban. “Ketika saya menguatkan mereka, sebetulnya saya sedang menguatkan diri sendiri.”
Suatu waktu, kata Puput, ada keluarga korban pemerkosaan yang memintanya memberikan nama bagi anak yang lahir dari kejadian itu. Korban baru duduk di kelas V sekolah dasar dan diperkosa hingga hamil. Puput mendampingi kasus itu hingga naik sidang dan pelakunya dipenjara. “Ketika anak itu melahirkan, orang tuanya memberikan kesempatan kepada saya untuk menamai bayi yang baru dilahirkan,” ujar Puput, yang merupakan anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara.
Pengalaman-pengalaman itu yang menguatkan Puput di tengah makin meningkatnya aduan kekerasan seksual yang rata-rata korbannya berusia belia, di bawah 17 tahun. Dalam setahun ini, kata dia, ada lebih dari 200 aduan kekerasan seksual. “Sekitar 40 kasus di antaranya kekerasan seksual berbasis online,” tuturnya. Pada tahun ini pula ia mengadvokasi kasus kekerasan seksual yang korbannya masih duduk di sekolah dasar.
Menurut Puput, budaya patriarki yang sangat kental menjadi pendorong maraknya kasus kekerasan seksual tersebut. Selain itu, ada budaya-budaya tertentu yang terkesan melanggengkan kekerasan seksual. Ia mencontohkan “kawin tangkap” di Sumba sebagai salah satu pendorong meningkatnya aduan kekerasan seksual di Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, di daerah Sabu ada istilah bui hase puke yang berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah akan tetap diterima di dalam keluarga dan adat.
Hal itu kerap digunakan sebagai pembenaran oleh pelaku kekerasan seksual. “Mereka merasa tak apa memerkosa hingga hamil, toh akan tetap diterima di dalam keluarga,” katanya. Menurut Puput, norma yang hidup di masyarakat Nusa Tenggara Timur luput memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual. “Sanksi adat masih sangat lemah dan diperlakukan seperti kesalahan biasa. Tak jarang malah korban dikawinkan dengan pelaku,” ujarnya.
Kekentalan hubungan kekeluargaan dan adat juga menjadi tantangan bagi Puput dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual. Berbagai intimidasi dan ancaman pernah ia terima. Puput juga pernah dicari-cari pelaku kekerasan yang menyambangi kantor LBH APIK NTT dalam keadaan mabuk dan mengamuk. Karena itu, ia menjadi orang yang paling peduli terhadap keselamatan kolega dan mitranya. Ia kerap mengatur strategi untuk menjaga keselamatan mitranya dengan melibatkan keluarga yang mendukung mitranya.
Tantangan yang lain adalah wilayah jangkauan yang terlalu luas. Untuk itu, ia aktif berpartisipasi dalam klinik hukum keliling yang dijalankan saban dua-tiga bulan sekali dengan menyambangi wilayah-wilayah kabupaten di NTT. “Ini adalah strategi jemput bola karena masyarakat di sana selama ini tidak tahu harus melapor ke mana ketika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual,” katanya. Setiap kali membuka klinik, Puput bisa menerima 5-17 aduan kekerasan.
Selain aktif dalam klinik hukum keliling, Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho atau Puput aktif dalam melatih, mendampingi, dan mengawasi paralegal. “Paralegal ini bersifat kerelawanan, tidak berorientasi profit,” ujarnya. Salah satu paralegal yang berasal dari Oebelo, Kupang Tengah, Hendra Florida Mooy Mbatu, mengatakan ia kerap berdiskusi dengan Puput. “Puput masih muda tapi pemikirannya sangat bagus dan mampu menjadi pendengar yang baik. Saya bisa memaksimalkan peran sebagai paralegal berkat dukungan Puput,” tutur Hendra.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo