Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK di kursi pengunjung paling depan di ruang Garuda di Pengadilan Negeri Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Fransiska Imakulata terlihat serius mengikuti jalannya persidangan pada Senin, 19 Desember lalu. Saat itu majelis hakim sedang membacakan vonis terhadap Julius Welung, terdakwa pembunuhan terhadap iparnya, Heribertus Erihans Daru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu hakim mengetuk palu dan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Julius, wajah Fransiska pun berubah. “Seharusnya dia dihukum seumur hidup,” kata biarawati yang juga Koordinator Divisi Perempuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk-F) ini. Fransiska khawatir Julius bisa membalas dendam kepada keluarganya jika sudah keluar dari penjara. Apalagi, menurut Fransiska, hukuman 20 tahun akan berkurang karena Julius bisa saja mendapatkan remisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heribertus tewas ditikam oleh Julius pada 10 Mei lalu. Ketika itu, Julius sedang mencari istrinya, Magdalena Nona Wati, yang kabur dari rumah. Magdalena melarikan diri ke rumah keluarganya karena tak kuat menanggung kekerasan seksual dan kekerasan fisik yang kerap dia dapatkan dari Julius. Julius curiga Heribertus menyembunyikan istrinya di rumahnya. Ia lalu menikamkan sebilah pisau di dada Heribertus. Padahal Magdalena tak ada di rumah Heribertus.
Istri Heribertus, Maria Huberta Hurek, langsung melaporkan kasus itu ke polisi. Namun kasus tersebut sempat mandek. Bahkan beberapa kali sidang keterangan terdakwa ditunda oleh hakim. Awal November lalu, Maria dan Magdalena meminta pendampingan dari Fransiska dan Truk-F. Tujuannya, agar sama-sama bisa mendesak proses hukum berjalan secara transparan.
Maria dan Magdalena menuturkan saat itu mereka meminta bantuan kepada Fransiska dan Truk-F karena latar belakangnya. Fransiska terkenal sebagai tokoh yang bergerak di bidang antikekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Begitu juga Truk-F, sebuah lembaga yang sering mengadvokasi isu perempuan dan hak asasi manusia.
Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), Suster Fransiska Imakulata, SSpS saat mendampingi keluarga korban pembunuhan berencana di Pengadilan Negeri Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), 19 Desember 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Fransiska mengatakan ia dan Truk-F mau mendampingi kasus itu lantaran ingin memberi pelajaran bagi para pelaku dan masyarakat agar ke depannya tidak terjadi lagi kasus kekerasan yang berujung pada pembunuhan. “Untuk pembelajaran dan agar hukum berjalan adil,” katanya.
Fransiska sebetulnya bisa saja menjadi kuasa hukum Maria dan Magdalena. Tapi ia belum mau beracara di pengadilan karena ingin berfokus menjadi koordinator Truk-F. Fransiska lebih sering mendampingi korban di kepolisian dan kejaksaan. “Rencana tahun depan baru mulai beracara,” ujar Fransiska, yang baru lulus pendidikan advokat pada Agustus lalu.
•••
LULUS kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, pada Maret 2018, Fransiska tak langsung bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores. Selama lima bulan, perempuan yang kini berusia 32 tahun itu bergabung ke dalam komunitas pastoral di Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Fransiska tak asing dengan dunia gereja Katolik. Sejak 7 September 2008, ia masuk sekolah biarawati Katolik di Serikat Misionaris Abdi Roh Kudus atau disebut servarum spiritus sancti (SSpS) untuk menjadi suster. Selama menempuh pendidikan di sana, Fransiska mengetahui salah satu lembaga kegiatannya adalah Truk-F. “Salah satu karya SSpS adalah Truk-F,” tuturnya, Senin, 19 Desember lalu.
Cikal-bakal Truk-F berawal dari Forum Aliansi Masyarakat Baru Kelompok Peduli Hak Asasi Manusia yang dibentuk di Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, pada November 1997. Anggotanya adalah biarawan, biarawati, dan pegiat hak asasi manusia. Saat itu forum terbentuk karena melihat sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Sikka, di mana korban dan keluarga tak mendapatkan pendampingan.
Salah satunya kerusuhan di Maumere pada April 1995. Peristiwa itu meledak karena seorang pemuda dari luar Flores masuk ke gereja Katolik lantaran diundang oleh rekan-rekannya. Pemuda itu ternyata masuk komunitas Hosti. Begitu ia diberikan roti Hosti, ia tak memakannya, tapi justru meremas roti tersebut.
Kejadian yang terkenal dengan peristiwa Hosti itu pun memicu amarah penganut Katolik. Lalu terjadilah kerusuhan. Seorang demonstran tertembak. Polisi juga menahan sejumlah warga. Saat itu tokoh di Maumere berusaha memadamkan kerusuhan dan menolong para tahanan.
Suster Fransiska Imakulata, saat rapat koordinasi bersama relawan dan staff di Kantor TRUK-F, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur , 17 Desember 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Peristiwa itulah yang membuat sejumlah tokoh sadar akan pentingnya pendampingan. Pada 1999, Forum Aliansi Masyarakat Baru Kelompok Peduli Hak Asasi Manusia itu berubah nama menjadi Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk-F).
Fransiska bercerita, ketika awal masuk ke Truk-F, ia ditugaskan oleh koordinator divisi perempuan, Eustochia Monika Nata, untuk mengawal kasus pelecehan seksual di Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka. Saat itu seorang ibu yang sedang membuat kamar mandi dilecehkan oleh seorang pria berusia paruh baya.
Ibu itu sebelumnya melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Tapi polisi tidak bisa menerima aduan karena tak ada saksi dalam peristiwa tersebut. Korban kekerasan seksual itu pun kemudian mengadukan kasusnya ke Truk-F. Fransiska sempat gamang ketika mendampingi kasus itu dan bertanya kepada dirinya sendiri: apa yang bisa diberikan untuk orang-orang kecil?
Saat menangani kasus tersebut, Fransiska tak kuasa menahan tangisnya ketika bertemu dengan korban. Tapi sikap itu justru membuat dirinya dimarahi oleh Mama Esto—panggilan Eustochia Monika Nata. “Saat berhadapan dengan korban tidak boleh menangis,” ujar Fransiska menirukan pesan Esto.
Masyarakat saat mendengarkan pemaparan Suster Fransiska Imakulata, SSpS terkait bahaya kekerasan seksual dan perdagangan manusia di Gereja St Gabriel Ladubewa Paroki St Yohanes Maria Vianey Magepanda Keuskupan Maumere, Desa Done, Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur , 18 Desember 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Empat tahun berjalan, kasus tersebut tak bisa selesai karena tak ada saksi. Fransiska menggantikan Mama Esto sebagai Koordinator Divisi Perempuan Truk-F sejak November 2021. Saat itu Mama Esto meninggal karena sakit jantung. “Mama Esto sosok yang menginspirasi saya,” ucapnya.
Menurut Fransiska, sejak 2000 Truk-F sudah menangani 2.691 korban kekerasan ataupun pelecehan seksual. Tindakan kriminal itu banyak terjadi di Flores karena sumber daya masyarakat yang lemah. Jika terjadi kekerasan, mayoritas masyarakat tak berani melawan. Penegakan hukum juga masih tebang pilih.
Karena banyaknya aduan yang diterima oleh Truk-F, pada 2009 ia mendirikan Rumah Aman untuk menampung korban kekerasan. Dana pembuatan rumah itu berasal dari Caritas Belgia. Lokasi rumahnya pun berada di samping sekretariat Truk-F, di kompleks Biara Susteran SSpS, di Jalan Ahmad Yani, Maumere, Kabupaten Sikka.
Saat Tempo datang ke Rumah Aman, Fransiska sedang berbicara dengan sejumlah korban yang tinggal di sana. Penghuni Rumah Aman terdiri atas 18 orang, yaitu 13 perempuan di bawah umur dan lima balita.
Salah satu mantan penghuni Rumah Aman, Susan—bukan nama sebenarnya—bercerita, selama di sana ia mendapatkan bimbingan rohani dan mengatasi trauma. Susan menjadi korban kekerasan seksual. Saat di Rumah Aman, Susan juga tinggal bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan. “Saya bisa bangkit kembali,” tuturnya. Truk-F juga yang mengantarkan Susan kembali ke rumahnya yang berjarak empat jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Kabupaten Sikka.
Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), Suster Fransiska Imakulata, SSpS saat menerima pengaduan dari korban kekerasan seksual anak di bawah umur di Kantor TRUK-F, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), 19 Desember 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Selama aktif di Truk-F, Fransiska mengungkapkan, ia baru satu kali menangani kasus kejahatan seksual yang pelakunya berada di lingkungan gereja dari keuskupan lain. “Pelakunya tokoh gereja, pastor,” katanya. Korbannya adalah biarawati yang berada di gereja tersebut. Biarawati ini dijanjikan akan dinikahi oleh pastor itu jika menuruti keinginannya untuk berhubungan seksual pada April 2020.
Belakangan, pastor itu melarikan diri. Biarawati ini pun mengalami depresi dan keguguran. Beberapa waktu kemudian, beberapa pastor dari Keuskupan Weetebula datang ke rumah korban itu dan menyebut bahwa pelaku sudah berada di Surabaya, Jawa Timur. Biarawati tersebut tetap menuntut pertanggungjawaban pastor tersebut.
Keinginan itu tetap tak terpenuhi. Biarawati ini melaporkan kasusnya ke Truk-F. Fransiska menjelaskan, perkara ini tidak dilaporkan ke polisi karena kasusnya melibatkan orang dewasa. Fransiska dan anggota Truk-F pun bergantian mendampingi korban, seperti memberikan penguatan rohani. “Tapi korban mengalami tingkat stres yang tinggi sehingga setiap pekan kami harus mendengarkan dan memberikan pendampingan,” ucapnya.
Fransiska menuturkan, saat mendapatkan laporan itu Truk-F pun mengirimkan surat ke keuskupan dan memberi tahu permasalahan tersebut. Tapi, dua tahun berlalu, surat itu tak pernah berbalas. “Dugaan kami kemungkinan besar dia dilindungi oleh keuskupan sehingga surat tak dibalas,” kata Fransiska.
•••
Manajer Program Truk-F Maria Hendrika Hunga bercerita, selain aktif menangani kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, Fransiska dan organisasinya mengurus kasus tindak pidana perdagangan orang.
Selama 22 tahun, Truk-F mendapat 71 aduan kasus. Korbannya mencapai ratusan orang, dari anak-anak, perempuan dewasa, hingga laki-laki dewasa. Biasanya korban perdagangan orang ini dipekerjakan di industri, rumah tangga, dan tempat hiburan.
Pada Juni 2021, Fransiska dan Truk-F menangani kasus dugaan perdagangan anak yang berasal dari Jawa Barat dan dipekerjakan di sejumlah tempat hiburan di Maumere. Semua korban yang berjumlah empat anak itu dititipkan polisi ke Rumah Aman Truk-F. Beberapa hari kemudian, empat anak itu melarikan diri dan tak dapat ditemukan setelah dicari berkali-kali.
Sekretariat Truk-F juga sempat didemo karena menangani kasus perdagangan anak ini. Para pendemo justru meminta Truk-F dibubarkan. Tapi Truk-F tetap melanjutkan penanganan kasus tersebut. Mereka sampai melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Maret lalu.
Tak hanya itu. Sejak 2015, Truk-F juga membentuk layanan berbasis komunitas di sejumlah desa. Selain memperkuat jaringan hingga ke tingkat bawah, layanan tersebut bertujuan membantu penyelesaian masalah kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga di desa-desa. Hingga kini sudah ada delapan desa di Kabupaten Sikka yang memiliki layanan berbasis komunitas yang diinisiasi Truk-F.
Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Otto Gusty Madung, mengatakan kiprah mantan Koordinator Divisi Perempuan Truk-F, Eustochia Monika Nata; Truk-F; serta Fransiska Imakulata membuat masyarakat lebih melek terhadap pemahaman gender, adat, dan kekerasan terhadap perempuan. “Sehingga adat juga bisa melihat aspek soal kemanusiaan,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo