Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima perempuan peneliti ini melakukan riset di bidang kecerdasan buatan, bioteknologi molekuler, hingga energi terbarukan.
Penelitian tersebut bakal digunakan banyak orang di masa depan.
Mereka perlu mendapat dukungan agar bisa terus berkarya.
DERRY Tanti Wijaya tertarik memperhatikan bahasa dan kecerdasan buatan (AI) sejak ia menghabiskan masa kecilnya di Malang, Jawa Timur. Kegemaran orang tuanya pada gawai mutakhir menjadi pemicunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat remaja, Derry mendapatkan komputer pertamanya dari bapak dan ibunya yang bekerja sebagai dosen akuntansi dan sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Namun kala itu Derry lebih sering menggunakan komputer tersebut untuk bermain game. “Saya tertarik ke komputer karena rasa penasaran dan hobi, sebelum akhirnya tahu ada sekolah khusus untuk mempelajari itu,” katanya melalui konferensi video pada Selasa, 19 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan kelahiran 23 Desember 1979 itu sudah membuat program komputer untuk membantu gurunya saat menempuh studi di Temasek Junior College, Singapura, pada 1999. Ketika itu gurunya mengalami kesulitan menulis surat rekomendasi bagi siswanya. Derry lalu membantu membuatkan program komputer untuk memudahkan sang guru membuat surat rekomendasi.
Sejumlah peneliti menguji sampel penelitian dalam workshop terkait perkembangan teknologi terbaru Polymerase Chain Reaction (PCR) berbasis digital (ddPCR) di LIPI, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Oktober 2019. ANTARA/Yulius Satria Wijaya/foc
Seiring dengan berjalannya waktu, Derry konsisten menelaah soal mesin penerjemah otomatis seperti Google Translate. “Penelitian saya, bagaimana membuat sistem penerjemah untuk bahasa yang belum dijamah seperti oleh Google Translate,” tuturnya. Sederhananya, penelitian Derry membuat orang dari beragam latar belakang dan bahasa bisa bertanya dan mendapatkan informasi dari mesin pencarian seperti Google dan Siri—asisten pribadi dalam iOS.
Selama ini, pengetahuan yang tersedia di mesin pencari didominasi bahasa Inggris. Penggunaan sistem penerjemahan sangat penting untuk membuat pengetahuan mudah diakses oleh semua orang. Derry menyebutnya sebagai demokratisasi pengetahuan.
Penelitian yang dilandasi oleh pengalaman juga dilakukan oleh Levana Laksmicitra Sani. Perempuan kelahiran Singapura, 18 Mei 1992, ini memiliki pengalaman buruk perihal obat. Kakeknya mengalami efek samping buruk tambar jantung. Ketika sang kakek berobat, dokter yang memeriksanya meresepkan salah satu jenis obat. Namun, saat berobat ke dokter lain, kakeknya mendapat obat jenis lain. “Efek obat yang saling berinteraksi bisa menyebabkan beliau jadi kejang-kejang hingga mengalami gangguan motorik,” ujar Levana lewat konferensi video, Kamis, 14 April lalu.
Keluarga Levana membawa sang kakek berobat ke Mayo Clinic, Amerika Serikat, karena kondisi kesehatannya terus memburuk. Dokter di sana menuturkan, kakek Levana seharusnya tidak mengkonsumsi 8-12 obat jika tambar pertama efektif mengobati penyakit jantungnya. “Coba kalau obat pertama cocok, kami tidak akan melakukan berbagai percobaan yang menyebabkan efek samping yang justru membuat beliau sangat sengsara,” ucapnya.
Sejumlah peneliti mengoperasikan reaktor pengolah campuran logam tanah jarang di Laboratorium Gedung Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogyakarta, Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta, Januari 2017. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Pengalaman buruk itu membuat Levana tertarik belajar biokimia. Belakangan, penelitiannya berkembang hingga ia dan kawan-kawannya mendirikan perusahaan rintisan di bidang pengujian genetik bernama Nalagenetics. Melalui tes berbasis farmakogenomik, seseorang bisa mengetahui kecocokan dengan suatu obat sehingga efektivitas tambar dan efek sampingnya bisa dihindari.
Pembaca, Derry dan Levana adalah dua dari lima perempuan peneliti yang ceritanya kami ketengahkan dalam edisi khusus berkaitan dengan peringatan Hari Kartini ini. Ketiga perempuan peneliti lain adalah peneliti bioteknologi molekuler Fenny Martha Dwivany, peneliti energi terbarukan Noor Titan Putri Hartono, dan peneliti penyakit autoimun Novalia Pishesha. Tahun ini kami menetapkan tema penelitian yang akan banyak bermanfaat bagi masyarakat seperti bioteknologi molekuler, teknologi kesehatan, energi terbarukan, dan kecerdasan buatan.
Untuk mendapatkan sosok-sosok perempuan peneliti tersebut, kami melakukan penelusuran ke lapangan dan menghimpun informasi dari berbagai narasumber. Kami juga berdiskusi dengan Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Herawati Supolo Sudoyo; anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Neni Nurainy; dan Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Sastia Prama Putri.
Kami menyampaikan sejumlah nama kandidat yang telah kami kantongi kepada mereka. Para ilmuwan tersebut kemudian memberikan sejumlah catatan atas beberapa nama peneliti yang kami sodorkan. Misalnya kandidat yang akan ditulis profilnya sebaiknya sudah rampung menempuh program doktoral. Kami juga menelusuri rekam jejak penelitian dan capaiannya. “Sebaiknya memang peneliti yang rekam jejaknya sudah terbukti (di-endorse oleh peers) dan impact penelitiannya jelas,” ujar Sastia.
Levana Sani, misalnya, belum menempuh pendidikan doktoral tapi capaiannya sudah memadai. Pada 2021, Forbes menobatkan dia sebagai salah satu perempuan dari Asia yang berpengaruh di dunia dalam bidang Healthcare and Science di usianya yang masih di bawah 30 tahun.
Beberapa mahasiswa meracik cairan pembersih tangan di Laboratorium Kimia Universitas Negeri Manado (Unima), Tondano, Sulawesi Utara, Maret 2020. ANTARA/Adwit B Pramono
Salah satu ilmuwan yang kami ajak berdiskusi sempat menyampaikan perlunya peneliti yang ditulis dalam edisi khusus ini telah berkontribusi bagi Tanah Air. Namun kami berpendapat manfaat penelitian mereka sebaiknya tidak dibatasi oleh batas negara karena pengetahuan bersifat universal dan dapat digunakan oleh siapa pun.
Tak semua peneliti yang profilnya kami tulis dalam edisi khusus ini telah merampungkan riset dan membuat penemuan tersebut bisa diproduksi secara massal dalam waktu dekat, seperti penelitian panel surya berbahan perovskite yang dilakukan oleh Noor Titan. Meski sudah menemukan komposisi perovskite yang lebih stabil untuk digunakan sebagai bahan alternatif panel surya, perempuan asal Cimahi, Jawa Barat, ini masih menelitinya lebih lanjut di Jerman.
Kami memutuskan tetap menulis sosok Noor Titan untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ilmuwan-ilmuwan muda yang kompeten. Mereka harus dijaga dan difasilitasi agar tidak hengkang ke negara lain atau berhenti meneliti lantaran minim anggaran riset dan tak memadainya fasilitas yang mereka butuhkan.
Tak semua perempuan peneliti berusia di bawah 50 tahun. Peneliti bioteknologi molekuler Fenny Martha Dwivany, misalnya, lahir pada 18 April 1972. Namun peneliti pisang yang mendapat julukan “Banana Lady” ini konsisten meneliti buah itu hingga kini.
Kami menyadari masih banyak perempuan peneliti di luar sana yang kiprahnya tak kalah dari kelima sosok tersebut. Tidak tertutup kemungkinan ada nama lain yang perjuangannya tak kalah gigih tapi luput dari perhatian kami.
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat, per 2015, jumlah perempuan peneliti secara global mencapai 30 persen. Meski jumlahnya belum sebanding dengan laki-laki peneliti, mereka memiliki peran penting dalam pengembangan riset di berbagai bidang.
Dengan membagikan kisah mereka, kami berharap dapat menularkan semangat dan inspirasi untuk kemajuan dunia penelitian di negeri ini. Kelima sosok yang kami tuliskan ceritanya dalam edisi khusus ini tentu tidak dapat mewakili semua perempuan peneliti kita yang tersebar di berbagai kampus ataupun lembaga penelitian, baik di Indonesia maupun mancanegara. Setidaknya kelima peneliti tersebut dapat memantik harapan bahwa Indonesia memiliki perempuan peneliti yang hasil risetnya bermanfaat bagi orang ramai.
Mereka ada di sini:
- Derry Wijaya: Mengawinkan Kecerdasan Mesin dan Bahasa Manusia
- Fenny Dwivany: Mengatur Pematangan Pisang
- Levana Sani: Membuat Obat Lebih Akurat
- Noor Titan Putri Hartono: Alternatif Sel Surya
- Novalia Pishesha: Nanobodi untuk Mengobati Autoimun
- Kolom Herawati Sudoyo: Ruang untuk Perempuan Peneliti
TIM EDISI KHUSUS TOKOH PEREMPUAN 2022
Penanggung jawab: Sapto Yunus | Kepala proyek: Gangsar Parikesit | Penulis: Abdul Manan, Dini Pramita, Gangsar Parikesit, Isma Savitri, Mahardika Satria Hadi | Kontributor: Anwar Siswadi (Bandung) | Penyunting: Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Iwan Kurniawan, Sapto Yunus, Seno Joko Suyono | Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian | Fotografer dan periset foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih, Prima Mulia (Bandung) | Penata letak: Djunaedi, Munzir Fadly | Desainer digital: Imam Riyadi Untung, Rio Ari Seno, Riyan Rahmat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo