Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cara Asyik Beragam Komunitas Menyuarakan Toleransi

Pembelajaran toleransi bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan seperti yang dilakukan komunitas ini. 

5 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perwakilan umat beragama di acara Festiversity atau Festivals of Diversity, yang diselenggarakan oleh Indika Foundation bekerja sama dengan UNDP, pada 2019. Dok. Indika Foundation

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYIAR toleransi dengan mengutamakan kreativitas menjadi rutinitas tim komunitas Cadar Garis Lucu. Komunitas beranggota sembilan perempuan ini aktif mengedepankan edukasi tentang isu toleransi, baik daring maupun luring. Di Instagram, misalnya, mereka kerap membuat video Live bersama pemuka lintas agama. Mereka membicarakan topik toleransi bersama seorang biksu. Di lain waktu, mereka pernah membicarakan topik toleransi bersama pendeta. “Kami juga pernah berkolaborasi dengan Ahmadiyah. Kita tahu bahwa mereka kerap dicap negatif,” kata co-founder Cadar Garis Lucu, Andi Ulfa Wulandari, kepada Tempo dalam wawancara virtual pada Maret 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ulfa bercerita, sebelumnya komunitas Cadar Garis Lucu lebih berfokus pada isu toleransi gender. Sebagai wanita bercadar, mereka kerap dinilai hanya bisa berdiam diri di rumah. Ada pula yang menilai mereka hanya bisa melakukan pekerjaan domestik. Mereka pun dinilai tidak etis ketika bersuara di tempat umum. Tak jarang pula yang menilai mereka tidak boleh eksis di ruang publik. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk mendobrak berbagai stigma itu, Cadar Garis Lucu membuat berbagai konten yang hendak menjelaskan bahwa wanita bercadar pun boleh berekspresi di media sosial. Mereka terus mengedukasi bahwa wanita bercadar memiliki hak yang sama dengan wanita lain. Ternyata ekspresi mereka di media sosial pun dianggap buruk oleh kelompok lain. Beberapa menilai wanita bercadar sangat dekat dengan isu radikalisme, terorisme, hingga fanatisme. “Belum lagi kami pun dikaitkan dengan berbagai dogma agama,” ucapnya.

Peristiwa bom Gereja Katedral Makassar makin mencoreng citra perempuan bercadar. Maklum, polisi menyebutkan pelaku teror yang menyebabkan 20 orang meninggal itu seorang wanita berusia 21 tahun yang mengenakan cadar hitam. Untuk meredakan citra hubungan cadar dengan teroris itu, perwakilan Cadar Garis Lucu pun menemui Uskup Agung Kota Makassar Mgr Johannes Liku Ada’ sambil membawa bunga. 

Ulfa mengatakan mereka memberi bunga dan pelukan kepada keluarga korban bom gereja Katedral itu. “Kami menunjukkan rasa empati kami kepada teman yang sedang terkena musibah,” ujarnya.

Tindakan itu membuka pikiran sebagian kelompok masyarakat bahwa wanita bercadar pun bisa bersikap toleran. Di Instagram, Ulfa dan kawan-kawan juga mengedepankan isu toleransi beragama, inklusivitas, hingga kesetaraan gender. 

Setelah momen penyampaian empati itu, Cadar Garis Lucu makin sering menghadiri perayaan khusus agama lain di rumah ibadah. Mereka menilai tidak ada masalah orang datang ke rumah ibadah agama lain, asalkan tidak mengikuti ritual ibadahnya. 

Pandangan itu pula yang dia utamakan ketika mengajak anak didiknya di Sekolah Yayasan Islam Terpadu untuk mengadakan tur ke rumah ibadah agama lain. Ulfa berupaya memberi gambaran bahwa ada umat yang berbeda di sekitar kita. “Ini cara kami menjaga keharmonisan agama, dengan mengajak anak melihat sendiri rumah ibadah umat agama lain,” kata Ulfa.

Kunjungan komunitas Cadar Garis Lucu ke Pura Girinatha di Makassar, Sulawesi Selatan, April 2023. Dok. Cadar Garis Lucu

Ulfa dan kawan-kawannya pun mencoba mengajak masyarakat, khususnya perempuan, untuk berani bersuara. Ia meladeni berbagai curahan hati warganet melalui media sosial mengenai susahnya menyuarakan toleransi di lingkungan mereka. Ada beragam wadah penyampaian buah pikirnya dari media lokal, baik online maupun offline, seperti buku. Mereka pun tanpa ragu berkolaborasi dengan lebih banyak anggota masyarakat untuk mengedepankan pesan toleransi. “Sebenarnya agama Hindu, Islam, Buddha, dan semua agama itu sama. Yang membedakannya hanya orangnya,” tuturnya. 

Komunitas lain yang juga berfokus menyuarakan isu toleransi dalam berbagai kegiatan adalah Pelita Padang. Pemilihan Umum 2019 rupanya  menimbulkan keresahan yang besar bagi para founder Pelita Padang, yaitu Angelique Maria Cuaca, Silmi Novita Nurman, dan Riki Alviano. Lique—sapaan Angelique—bercerita, sebagai warga keturunan Tionghoa dan kaum minoritas, ia kerap mendapat ujaran kebencian dari masyarakat. Tak jarang, ia dihubung-hubungkan dengan salah satu calon presiden kala itu. Riki yang beretnis Jawa pun kerap dirisak karena dianggap menjadi relawan Joko Widodo yang mendapatkan suara minoritas di Sumatera Barat. Bahkan Silmi yang merupakan orang Minang asli dan menjadi anggota masyarakat mayoritas pun harus menghadapi perpecahan di keluarganya. “Kami melihat karena segregasi itu orang-orang bisa saling benci, padahal enggak saling kenal. Konflik kebebasan beragama menyakiti semua orang,” kata Lique kepada Tempo secara virtual pada pertengahan Maret 2024. 

Lique mengatakan ada tiga hal utama yang menjadi fokus tim Pelita Padang. Pertama adalah membangun ruang jumpa bagi kelompok dengan berbagai latar belakang. Kegiatannya bisa berupa kunjungan ke tempat ibadah, acara sosial budaya, juga kegiatan sosial kemanusiaan. Dalam kegiatan ini, masyarakat bisa membicarakan masalah bersama tanpa melihat identitas. Artinya, mereka diharapkan meleburkan ketegangan identitas masing-masing. “Karena kalau masih bicara saya Buddha, kamu Kristen, dan kamu Islam, akhirnya kita lupa bahwa kita punya masalah yang sama, yaitu soal kemanusiaan,” ucap Lique. 

Kegiatan lain yang diadakan tim Pelita Padang adalah workshop hingga pelatihan. Lique menilai perubahan cara pandang orang agar lebih toleran membutuhkan pendidikan. Informasi akan membantu masyarakat menambah wawasan. Dalam pelatihan, peserta juga akan mempelajari sejarah agama di Indonesia hingga berbagai contoh konflik keagamaannya. Sama seperti Cadar Garis Lucu, Pelita Padang mengajak anggotanya mengunjungi berbagai rumah ibadah. Dengan begitu, para anggota yang kebanyakan berusia 17-30 tahun ini bisa mempertajam pandangan mereka ihwal isu toleransi.

Fokus terakhir Pelita Padang adalah advokasi. Salah satu kegiatan utama yang sempat dilakukan Pelita Padang adalah mengadvokasi pelajar nonmuslim yang dipaksa mengenakan hijab melalui aturan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 22. Pelita Padang, dibantu dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat, ikut mendampingi siswa. Kasus lain yang pernah menjadi perhatian Pelita Padang adalah pemotongan rok secara paksa oleh senior terhadap juniornya di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Padang. Usut punya usut, akar masalahnya serupa. Ternyata kasus ini juga berawal dari masalah agama. Senior yang beragama Islam merundung juniornya yang beragama minoritas.  

Di balik kegiatan Pelita Padang, salah satu tantangannya adalah ketakutan keluarga dan masyarakat bahwa orang yang belajar tentang toleransi bisa keluar dari ajaran agama. “Anggota masyarakat yang tidak paham, seperti dosen dan pihak kampus, khawatir Pelita Padang bisa mendangkalkan akidah anak. Tantangan lain tentu saja dari netizen yang kerap menghujat di dunia maya,” ujar Lique. 

Harapan mencetak lebih banyak anak muda yang toleran dan bisa menjaga perdamaian juga dimiliki Indika Foundation. Lembaga ini berfokus pada pendidikan dan ekosistem perdamaian. Bagi Program Senior Officer Indika Foundation William Cahyawan, para anak muda ini harus memiliki pola pikir perdamaian. Untuk mendapatkannya, mereka perlu memahami isu critical thinking, socio-emotional, dan intergroup contact. “Tidak bisa langsung ke isu toleransi. Mereka perlu paham dulu ketiganya agar punya nilai yang bisa mereka junjung. Jadi ada upaya buat merawat toleransi,” kata William, yang timnya sudah bekerja sama dengan 110 ribu individu serta 330 organisasi. 

Ada tiga jenis pelatihan ilmu perdamaian yang diajarkan di sini. Pertama adalah forum dengan narasumber yang berlatar belakang berbeda. Ada lagi yang mengundang tokoh publik untuk berbagi dalam diskusi kelompok terpumpun atau FGD. Adapun yang terakhir adalah kunjungan lapangan perihal toleransi.

Program & Communication Manager Scholastica Gerintya alias Tya mengatakan akar masalah perilaku intoleran adalah kurangnya pendidikan. Orang yang belum memahami isu ini pun biasanya akan selalu berpikir negatif dan kerap berprasangka buruk. Berpikir kritis membantu anak muda menganalisis masalah dan mensintesis informasi. Setelah memahami informasi yang didapat, anak muda diharapkan bisa mengelola serta meresponsnya dengan baik. 

Tentu ada saja yang menghambat kegiatan edukasi ini. Menurut Tya, masih banyak anak muda yang menilai isu toleransi belum terlalu menarik. Pembelajaran toleransi membutuhkan waktu yang lama. Bentuk nilai toleransi serta pemahaman dalam diri pun dianggap tidak terlalu nyata. Hal ini berbeda bila pelatihan yang diberikan merupakan pelatihan karier atau usaha. “Ilmu karier ini kan langsung terasa, misalnya naik jabatan, atau bahkan pendapatannya bertambah,” ujar Tya. 

Hambatan lain yang dialami para peserta pelatihan perdamaian di Indika Foundation adalah kurangnya dukungan. “Orang yang mau support dalam kegiatan ini sangat terbatas. Biasanya orang mau memberi support saat ada kejadian atau isu yang sedang ramai,” Tya menambahkan. 

William mengungkapkan, masih ada sekolah agama yang enggan mengizinkan salah satu muridnya belajar tentang toleransi di lembaga ini. Walhasil, tim Indika Foundation perlu memberi pendampingan untuk menghadapi penolakan tersebut. 

Proses mempelajari toleransi harus menarik. Tim Indika Foundation terus mencari cara agar kegiatan edukasi yang dilakukan memberi kenyamanan bagi peserta pelatihan. Kolaborasi yang dilakukan dengan berbagai organisasi pun didorong untuk membuat konten yang menyenangkan dan seru agar pelajaran toleransi bisa diterima dengan baik. Sampai saat ini, masih banyak alumnus Indika Foundation yang kembali mengajari juniornya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Sebarkan Toleransi dengan Kreativitas".

Mitra Tarigan

Mitra Tarigan

Menulis gaya hidup urban untuk Koran Tempo dan Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus