Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Syiar toleransi dari para pemuka agama muda menjangkau anak-anak muda dengan medium dan bahasa yang lebih cair.
Masih menghadapi tantangan sulitnya menembus situasi dan sekat eksklusivitas dan intoleransi.
Narasi toleransi perlu disyiarkan dengan lebih mengena bagi anak-anak muda.
RAMADAN lalu, beredar video yang memperlihatkan seorang perempuan berkerudung tengah membeli jajanan takjil, tapi kemudian ia memperlihatkan sebuah kalung salib di lehernya. Narasi yang dicantumkan, ia nonmuslim (non-Islam atau nonis). Tak lama kemudian, makin banyak muncul unggahan para nonis ikut berjubel memborong sajian takjil. Pendeta Marcel Saerang pun ikut “mengompori” perang takjil ini. Fenomena “war takjil” ini mendapat sambutan positif dan menjadi candaan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bulan puasa itu, para nonmuslim pun kecipratan kebahagiaan karena bisa ikut menikmati jajanan takjil. Belum selesai war takjil, muncul “war telur” yang “memanas-manasi” muslim agar memborong telur yang akan digunakan penganut Kristen dalam perayaan Paskah. Mendekati Lebaran, viral pula video seorang bapak-bapak yang ketahuan memborong baju koko, padahal beberapa salib terpasang di dinding rumahnya. Peristiwa ini bergulir dan warganet pun dengan enteng mencandai unggahan demi unggahan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ustad Husein Ja’far bersama selebritas Onadio Leonardo dalam sebuah program siniar membincangkan toleransi. Mengundang Pendeta Marcel dan tamu-tamu lain, mereka membahas toleransi, termasuk soal war takjil dan baju koko ini. Narasi-narasi yang muncul berseliweran di media sosial bagi sebagian orang mungkin sangat receh, remeh-temeh. Tapi justru itulah yang kemudian membuat banyak orang merasa tersadarkan. Perbedaan agama ternyata tak memisahkan atau menabukan sesuatu. Siniar yang ditayangkan sebulan penuh itu mampu menarik jutaan pemirsa, terutama anak-anak muda.
Ustad Husein Ja’far di Jakarta, April 2022. Tempo/M Taufan Rengganis
Bagi Husein Ja’far, apa yang muncul di media sosial tersebut adalah buah yang muncul dari benih yang ditebar bertahun-tahun lalu. Bersama para sahabatnya, Pendeta Yerry Pattinasarany, Bhante Dhira Punno, Romo Bekti, dan pemuka agama lain, Husein Ja’far membuka sekat ruang dialog lintas agama. “Kami dulu memulai diskusi di ruang yang tertutup, berdialog. Mereka bisa tanyakan apa pun, sampai yang masalah sensitif sekalipun,” ujar Husein Ja’far kepada Tempo. Mereka mencoba membuka kesadaran bahwa secara faktual Indonesia adalah negara yang beragam. Hal itu tak terhindarkan. Jika persatuan tidak dirajut, konflik akan terjadi dan keberagaman tersebut tidak disyukuri.
Dalam riset-riset yang ada, konten pro-toleransi, Husein memaparkan, hanya menguasai 20 persen perbincangan di media sosial. Sisanya dibanjiri konten yang tidak mengkampanyekan toleransi. “Jadi saya ambil bagian itu. Saya ikut mengkampanyekan toleransi karena bila hilang akan menjadi ancaman bagi bangsa ini,” tuturnya. Karena itu, toleransi perlu digaungkan terus-menerus dengan cara yang kreatif. Generasi tua mungkin sudah sering mendengarnya, tapi generasi muda belum mengakrabinya.
Ia mengawalinya bersama pemuka agama lain. Ia mengatakan pentingnya kerendahan hati para pemuka agama mayoritas untuk menjadikan minoritas sebagai prioritas. Para pemuka agama mayoritas harus mau mendengarkan dan mengenal mereka secara utuh untuk menghindari stigma dalam perbedaan agama. Tidak mudah mencari tokoh yang mau mendakwahkan toleransi dan menjalani pahit getirnya. Husein Ja’far menemui banyak pendeta, romo, biksu, dan bhante di berbagai tempat. “Orang-orang melihat mereka di layar sudah bisa berbincang dan bercanda. Padahal prosesnya panjang,” ujar Husein Ja’far. Ia menyatakan telah lama berkecimpung dalam isu ini dan memulainya dari dunia tulis-menulis.
Ia bersyukur pada Ramadan lalu semua umat beragama merayakan kegiatan agama secara bersama-sama dengan tenteram. Umat Islam menjalankan puasa, umat Nasrani merayakan Paskah, dan umat Hindu merayakan Nyepi. “Saya bersyukur banget narasi tentang intoleransi enggak ter-highlight, tertutup soal war takjil. Ada peristiwa intoleransi, tapi isunya tidak terlalu muncul,” katanya.
Wacana toleransi ini perlu dikemas dalam program yang menarik. Perbincangan mesti dipastikan memiliki visi, misi, dan frekuensi yang sama. Perlu pula membangun kepercayaan mereka yang diajak berbicara. Salah satu cara yang juga dipakai adalah komedi dan guyon untuk membuat obrolan yang berat menjadi ringan dan santai.
Pendekatan kepada anak muda, dia mengungkapkan, memerlukan strategi khusus, dari bahasa hingga tema yang terhubung dengan mereka. Ruang dialog dibuat tidak monoton dan membuka hal-hal yang dianggap tabu. Kadang-kadang yang ditanyakan bukan hal yang terkait dengan agama, melainkan hal remeh. “Contohnya kenapa biksu gundul dan memakai baju oranye,” ucapnya. Hal yang masih menjadi tantangan saat ini adalah menembus ruang-ruang eksklusif pada mereka yang intoleran. Mereka belum mau berdialog dan belum tahu tentang toleransi.
Husein Ja’far pun mengakui dirinya sebagai “habib industri”. Menurut dia, industri dipakai sebagai sarana, seperti komedi yang dipakai untuk berdialog. Penyebaran syiar ini membutuhkan biaya dan platform. Donasi tak bisa diandalkan menjadi bensin untuk bergerak. “Jadi ya mau tidak mau,” ujarnya. Dia pun mengakui banyak brand perusahaan dan instansi yang kini ikut bergerak mensyiarkan toleransi.
Tangkapan layar diskusi antara Habib Husein Ja'far, Pendeta Yerry Pattinasarany, dan biksu Zhuan Xiu dengan tema "Toleran dalam Berdakwah dan Dakwahkan Toleransi" pada 2020. YouTube/Jeda Nulis
Pendeta Yerry Pattinasarany ikut mendakwahkan toleransi sebagai tanggung jawabnya kepada Tuhan yang menganugerahkan keberagaman kepada Indonesia. Ia ikut dalam syiar toleransi ketika suatu kali gerejanya didemo. Menurut dia, pemicunya bukan hal-hal yang sensitif, melainkan kesalahpahaman yang tak terurai. Hal itu menimbulkan kecurigaan dan asumsi liar serta mempengaruhi anak-anak muda. “Dari sana saya belajar bersilaturahmi kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pemimpin RT dan RW. Selama ini banyak kecurigaan dan kesalahpahaman karena tidak ada ruang diskusi untuk saling memahami.”
Dia memaparkan, keberadaan gereja kerap dipandang bertujuan melakukan dakwah liar atau kristenisasi. Keberagaman dan perbedaan dipandang dengan kecurigaan. Ia mengakui ada juga pemeluk agama yang melakukan tindakan anarkistis atau pemaksaan, tapi itu sebagian kecil. Di sisi lain, ia juga menemui banyak penganut Kristen tidak mempunyai semangat bergaul dan bersilaturahmi dengan warga serta bertepa salira dalam keseharian.
Penyamaan persepsi tentang toleransi di kalangan anak muda membutuhkan definisi toleransi yang lebih jelas. “Sebelum sampai pada toleransi, perlu kesetaraan, sebelum membangun narasi, seharusnya juga lebih setara,” ucapnya.
Ia sempat menyayangkan kalangan yang punya ilmu dan pemahaman mendalam tidak mau tampil dan aktif turun ke masyarakat. Padahal, menurut dia, jembatan antar-perbedaan ini harus dibangun secara aktif. Karena itu, ia mulai bergaul dan bersilaturahmi ke pesantren serta bertemu dengan pemuka agama lain untuk membuka sekat-sekat perbedaan.
Warga membeli makanan untuk berbuka puasa (takjil) di Pasar Takjil Bendungan Hilir Jakarta, Maret 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Sampai saat ini, tantangannya adalah menembus sekat-sekat ruang intoleransi. “Makanya butuh teman-teman komedian, musikus, media, dan mereka yang aktif di marketplace. Sulit menembus sekat-sekat anak muda yang intoleran,” tuturnya. Para pemuka butuh hadir dalam kegiatan anak-anak muda. Sebab, rupanya pemikiran atau cara para pemuka agama selama ini kurang mampu menjangkau anak muda. Namun ternyata narasi dan unggahan media sosial tentang war takjil, war telur, dan baju koko malah mampu mengundang kerumunan anak muda.
“Fenomena perang takjil itu, siapa pun yang memicunya, perlu diapresiasi. Kecil tapi berhasil menembus sekat perbedaan. Rasanya fenomena takjil itu lebih efektif daripada seminar dan ceramah-ceramah kita. Lebih seru,” tutur Yerry. Untuk menjangkau anak muda, syiar agama ini perlu dibuat serelevan mungkin. Narasi seperti perang takjil tersebut bisa menolong mereka yang berjuang menegakkan toleransi. Selain itu, perlu diperbanyak ruang dialog dan pemuka agama di sekolah yang terbuka untuk diskusi berbagai permasalahan dan menjadi tempat berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda.
•••
BAGI Pastor Antonius Haryanto, berkumpul dengan kawan muda—begitu ia menyebut anak-anak muda yang sering berkegiatan dengannya—memberikan nilai positif. “Mereka inspiratif,” kata Romo Hary—panggilan akrab Pastor Antonius Haryanto—Ketua Umum Dewan Pengurus Paroki Bunda Maria, Cirebon, Jawa Barat, kepada Tempo, 30 Maret 2024.
Romo Hary sering mengadakan kegiatan lintas iman bersama pemuka agama lain dan jaringan Gusdurian di Cirebon. Pada Ramadan lalu, mereka menggelar acara buka bersama dengan Ketua Yayasan Puan Amal Hayati, Sinta Nuriyah Wahid, di aula Gereja Bunda Maria. Ibu-ibu anggota jemaat gereja dan anak-anak muda lintas iman terlibat mempersiapkan acara itu. Pada 2022, ia menghelat acara kemah anak muda lintas iman dengan 700 peserta.
Romo Hary meyakini ada cara untuk membangun persaudaraan dalam keberagaman. Dalam pendekatan syiar toleransi ini, mereka mengajak anak-anak muda terlibat bersama membangun bangsa. “Ngomong PR besar negara ini mulai dari pendidikan, lingkungan hidup, korupsi, hingga kemiskinan. Kami datangkan pakarnya dan kita berdiskusi,” tuturnya.
Pastor Antonius Haryanto dan Sinta Nuriyah Wahid saat acara buka puasa bersama di aula Gereja Bunda Maria, Cirebon, Maret 2024. Dok. Pribadi (kiri). Habib Husein Ja'far saat dakwah toleransi bersama Pendeta Yerry Pattinasarany, pada 2020. Dok. Pribadi (kanan).
Tidak hanya dalam diskusi, dalam acara kemah pun peserta bisa saling mengenal. Dia bisa melihat pola pikir orang-orang muda dengan cara yang mengasyikkan dan menyenangkan. Dari sana kemudian mereka dibawa untuk mengobrolkan “luka-luka” yang dialami dalam menjalankan agama. Sebab, jika terus dipendam dan tidak diolah, perasaan itu berpotensi menjadi dendam. Dengan saling bercerita, Hary mengimbuhkan, kita akan saling menyembuhkan, membuka diri, dan bergaul lagi.
Bagi dia, syiar toleransi kepada orang-orang muda ini sangat penting. Alasannya, Indonesia perlu dibangun oleh orang-orang muda berpikiran terbuka. Jika tidak demikian, kelompok-kelompok yang berbeda akan tumbuh dalam sekat-sekat dan saling mencurigai. Karena itu, ruang bertemu, berdialog, serta persaudaraan dan kebersamaan perlu dibangun.
Ia lantas menceritakan pengalamannya mengirim beberapa anak muda Katolik dan muslim ke acara lintas iman di Australia. Kebetulan ada salah satu anak muda keturunan Tionghoa di sana. Anak muda Tionghoa itu merasa agak aneh dan risi ketika salah satu peserta dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, memperhatikannya. Ternyata peserta dari Lombok tersebut tak pernah keluar dari daerahnya serta bertemu dengan orang lain yang berbeda secara fisik dan keyakinan. “Jadi dari situ dia baru tahu ternyata ada keberagaman, perbedaan. Ternyata ada orang yang kulitnya putih seperti itu. Nah, ini kan pengalaman baru, ruang dialog baru, ruang pertemuan baru,” katanya.
Menurut dia, para pemuka agama berperan penting membuka ruang dialog dan pertemuan. Para pemuka agama bertanggung jawab menetralkan hal-hal yang sensitif dan mengajak orang-orang bisa menempatkan diri. Syiar toleransi ini bisa dilakukan dengan beragam bentuk dan kegiatan. Seperti baru-baru ini, Gereja Katedral Santo Yusuf, Bandung, menerima kedatangan anak-anak muda muslim dari kalangan kampus atau pesantren dalam misa Janji Para Imam. Pihak gereja, Romo Hary menambahkan, menggelar acara serupa tiap tahun.
Pastor Antonius Haryanto memberi sambutan saat acara buka puasa bersama Sinta Nuriyah Wahid di aula Gereja Bunda Maria, Cirebon, Maret 2024. Dok. Pribadi
Berkembangnya teknologi saat ini juga memberikan peluang lebih besar untuk pertemuan dan dialog. Ia pun menggunakan media sosial dan mengisi beberapa siniar. Unggahan di akun media sosialnya ringan, sering kali mengundang tawa dan komentar jail. Perkembangan teknologi ini juga yang mendorong lahirnya komunitas agama “Garis Lucu”. Komunitas-komunitas ini memandang bahwa perbedaan agama mengasyikkan. Mereka bisa saling menertawai tanpa merendahkan atau menghina. “Saya belajar dari teman-teman muda. Saya menangkap yang lebih membahagiakan, menghibur, sekaligus menggelitik mereka sehingga mudah dipahami,” ujar Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia ini.
Ia berharap ruang pertemuan dan dialog akan makin banyak, bahkan dikenalkan sejak dini dengan berbagai cara, termasuk lewat kurikulum pendidikan. Ia meyakini masih ada mereka yang cenderung fanatik atau konservatif karena belum mengalami perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda. “Bangunlah dialog kehidupan sekecil apa pun, tanpa tanya apa agamanya,” ucapnya. Dia memaparkan, sementara di masa lalu para pemuka agama bertemu dan berfoto bersama untuk menunjukkan toleransi, kini mereka perlu turun langsung menemani dan mendukung anak-anak muda.
Budhy Munawar Rachman, cendekiawan muslim, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, melihat toleransi di masyarakat menjadi perhatian kalangan agamawan sejak 1990-an. Mereka sudah lama menyadari pentingnya isu tersebut. Ia melihat saat ini pembahasan tentang hal itu sudah berkembang pesat. Dulu diskusi tentang hal ini dipelopori oleh tokoh seperti Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Nurcholish Madjid, Franz Magnis-Suseno, dan Buya Syafii Maarif. “Sekarang sudah berkembang kader-kader yang melanjutkan, sudah sangat disadari. Anak-anak muda perlu dilibatkan,” tutur Budhy.
Meskipun inklusivitas sudah menjadi pilihan, masih ada kelompok eksklusif dan intoleran. Tapi umumnya para tokoh agama mendukung inklusivitas serta banyak program lintas iman dan perjumpaan antar-agama yang diadakan. Banyak lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi isu ini dan terus berkembang. Sementara dulu dialog soal toleransi menjadi diskusi yang berat, kini ruang diskusi ini makin terbuka melalui blog, media sosial, dan siniar yang lebih sederhana. Dengan demikian, generasi muda lebih tertarik.
Warga antre membeli sajian takjil di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta, Maret 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Yang menjadi tantangan, kata Budhy, adalah masih adanya kelompok intoleran yang hidup di masyarakat, seperti di perumahan atau masjid. Celakanya, mereka sering didukung oleh politikus yang tidak mempedulikan toleransi. Ia mencontohkan, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, intoleransi mengemuka karena memakai eksklusivisme untuk mendukung kekuatan politik tertentu. Dia menilai pada masa Joko Widodo mulai ada perubahan. Namun Indonesia yang lebih menjunjung Bhinneka Tunggal Ika belum optimal diwujudkan. Ia mencontohkan masalah dalam penerapan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang memfasilitasi siswa dalam beragama.
“Tapi belum ada program untuk perjumpaan. Seharusnya sekolah membangun jembatan perjumpaan ini. Jika tidak, bahayanya rentan jadi eksklusif,” ujarnya.
Ia memuji adanya pemanfaatan ruang atau medium perjumpaan melalui teknologi oleh para pemuka lintas agama yang membincangkan toleransi, khususnya untuk anak-anak muda. Dengan bahasa yang populer dan ringan, anak-anak muda dan masyarakat umum bisa dijangkau. Budhy mengungkapkan, yang didialogkan ini adalah dasar teologi yang pernah dibicarakan oleh tokoh semacam Gus Dur. “Ustad Husein Ja’far bagus. Wawasan inklusivisme agamanya kuat. Dia juga menyampaikannya dengan bahasa yang gaul, tandem bersama pemuka agama lain,” ucapnya. Dia menambahkan, tidak banyak pemuka agama seperti Husein Ja’far yang bisa bersuara untuk anak muda dan menggunakan medium yang tepat sehingga bisa mempengaruhi anak muda agar lebih inklusif.
Bahasa-bahasa receh, gaul, dan populer, dia menambahkan, juga bagus untuk mencairkan eksklusivitas di masyarakat. Dia menerangkan, butuh lebih banyak pemuka agama seperti ini. Bagi dia, sah-sah saja ketika dialog dan diskusi ini dimonetisasi dalam dunia industri. Apalagi saat ini memang era teknologi yang bisa menjangkau masyarakat lebih jauh. Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu toleransi, seperti Jaringan Gusdurian, mempunyai cara, jaringan, dan massa tersendiri. Ustad Husein Ja’far dan para pemuka lain pun demikian. Namun, dia menjelaskan, aktivitas penyebaran toleransi perlu pula bergerak di tataran yang lebih tinggi, seperti di kalangan mahasiswa dan para intelektual. Dialog-dialog dan diskusi dengan para tokoh ini menjadi oasis jika ada konflik agama. Selain itu, pemikiran-pemikiran para tokoh ini penting didokumentasikan dalam buku.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Jalan Pop Menyuarakan Toleransi".