Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI hadapan tiga juri, Ryan Wibawa menyeduh kopi racikannya dengan alat seduh manual. Ada tiga jenis kopi yang ia bawa untuk disajikan dalam kompetisi World Brewers Cup 2024, yang berlangsung di Specialty Coffee Expo, Chicago, Amerika Serikat, 12-14 April 2024, yaitu Windy Ridge Geisha dari Panama, El Diviso Ombligon dari Kolombia, dan Sukawangi Excelsa dari Sumedang, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketiga varian kopi tersebut ia gabungkan dengan total 15 gram untuk satu cangkir. Komposisinya: 70 persen Windy Ridge Geisha, 20 persen El Diviso Ombligon, dan 10 persen Sukawangi Excelsa. Gabungan bubuk kopi itu ia siram dengan 220 gram air yang terbagi dalam dua kali proses penyeduhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Resep seduhnya aku bilangnya ini double immersion method,” kata Ryan, yang sedang berada di Korea Selatan ketika dihubungi Tempo, Senin, 29 April 2024.
Dalam proses pertama, pria 32 tahun itu menuangkan 100 gram air untuk merendam kopi. Setelah kopi direndam selama 40 detik dengan suhu 86 derajat Celsius, Ryan membuka valve atau saluran air. Kemudian, pada menit 1 lewat 5 detik, ia kembali menuangkan 120 gram air. Pada tuangan kedua ini, ia menutup saluran airnya. Ini menandakan proses immersion masuk tahap kedua.
Setelah kopi ditahan selama 1 menit 5 detik dengan suhu 92 derajat Celsius, Ryan kembali membuka saluran air. Namun kopi belum bisa dinikmati. “Ditunggu 2 menit 25 detik. Sudah deh langsung dinikmatin dan langsung aku sajikan ke juri,” ujarnya.
Ryan menuturkan, penggabungan ketiga kopi itu membuat aromanya dominan anggur merah, jeruk mandarin, hibiscus, dan rose hip. Untuk keasaman, kopi racikannya memberikan cita rasa anggur atau jeruk serta dominan manis tebu dari Sukawangi Excelsa.
Selain memperlihatkan keterampilan dalam menyeduh kopi, Ryan mempresentasikan konsep dan pesan kopi yang ia bawa. Pria asal Jakarta itu mengusung semboyan bangsa Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Makna semboyan tersebut, kata Ryan, merefleksikan konsep kopi yang ia bawa dalam kompetisi. Meski berbeda asal negara, varietas, hingga proses setelah panen, ternyata ketiga kopi punya tujuan yang sama, yaitu menghasilkan satu harmoni dalam cangkir.
“Suatu harmoni dalam satu cangkir itu bisa memberikan pengalaman yang baik kepada orang yang meminumnya. Ternyata cocok dan in line dengan Bhinneka Tunggal Ika,” ucap Head of Coffee Common Grounds, Jakarta, tersebut.
Teknik, resep, dan konsep yang disiapkan selama empat bulan itu akhirnya membawa Ryan berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Ia keluar sebagai juara ketiga dalam kompetisi utama kejuaraan kopi dunia. Capaian ini kian membanggakan karena untuk pertama kalinya Indonesia masuk tiga besar World Brewers Cup sejak digelar pada 2011.
Penyeduh kopi asal Indonesia, Ryan Wibawa, berhasil menoreh prestasi sebagai juara 3 di kontes menyeduh kopi tingkat dunia, World Brewers Cup 2024, di Chicago, Illinois. Dok. Pribadi
Dalam kejuaraan itu, Ryan bersaing dengan 40 barista yang merupakan juara tingkat nasional dari negara masing-masing. Di tahap pertama, para peserta menjalani babak open service, yaitu menyeduh kopi pilihan mereka dan menyajikannya sambil menunjukkan kreativitas dan gaya pembuatan pribadi. Mereka akan diberi waktu 10 menit untuk menjelaskan kopi yang dibawa serta cara menyangrai dan menyeduhnya, juga resep dan tasting notes yang akan juri rasakan.
Juri akan mencatat dan menilai kopi yang disajikan dari berbagai aspek. Dari aromanya, rasa, after taste, keasaman, kekentalan, sampai rasa manis. Tapi poin terpenting adalah apabila juri juga mendapatkan rasa atau karakter kopi seperti yang disampaikan sang brewer. “Penilaiannya akan bagus di taste descriptor,” tutur pria yang memiliki hobi bermain slow pitch ini.
Setelah babak pertama selesai, dari 41 peserta bakal dipilih 12 barista dengan nilai tertinggi untuk maju ke semifinal atau babak compulsory. Ryan mendapat posisi keenam dengan perolehan 346 poin. Di babak semifinal, para peserta harus menyeduh kopi menggunakan biji kopi dan alat seduh yang disediakan penyelenggara acara.
Ryan menjelaskan, tak ada satu pun yang mengetahui informasi tentang biji kopi tersebut. Mereka hanya diberi waktu 30 menit untuk berlatih, 8 menit untuk bersiap, dan 7 menit untuk menyeduh.
Compulsory round ini, kata Ryan, mewajibkan para barista memaksimalkan bahan yang ada. Karena semua memiliki biji kopi, air, serta alat seduh yang sama, persaingan berjalan secara adil. Apalagi juri berada di belakang panggung, sehingga tak akan mengetahui siapa yang menyeduh kopi tersebut. Di babak ini pula, Ryan melanjutkan, ketangkasan dan kecepatan para barista betul-betul diuji dalam menghasilkan rasa dari kopi yang diberikan.
Seusai penilaian, enam barista dengan nilai tertinggi masuk final. Ryan menempati urutan pertama dengan 156 poin sehingga berhak melaju ke final. Di tahap ini tantangannya adalah mengulang babak pertama, yaitu open service.
Selanjutnya poin yang ia dapat dari babak pertama dan compulsory round digabung dan peraih nilai tertinggi menjadi juaranya. Perolehan poin Ryan saat itu 463 dan membuat namanya berada di peringkat ketiga. Dua barista yang meraih gelar juara pertama dan kedua adalah Martin Wölfl dari Austria dan Wataru Iidaka dari Jepang.
Walaupun bersaing dengan peserta dari negara lain, bagi Ryan, lawan terberatnya justru diri sendiri. Sebab, kompetisi ini tidak seperti olahraga tinju ketika pesertanya berhadapan satu lawan satu. Peserta kompetisi kopi mesti memahami strategi untuk mendapatkan poin semaksimal mungkin dari juri. “Mau tidak mau kita lebih berfokus pada persiapan diri sendiri,” tuturnya.
Untuk bisa berlaga di World Brewers Cup, peserta harus menjadi juara di tingkat nasional negara masing-masing. Ryan adalah juara utama Indonesia Brewers Cup 2024 pada Desember 2023. Seusai kemenangannya itu, ia bergegas mempersiapkan diri untuk menghadapi World Brewers Cup.
Berlaga di tingkat dunia, Ryan mengaku sangat menikmatinya. Ia bisa bertemu dengan para barista yang menjadi juara di negara masing-masing, berkenalan, dan membuka koneksi baru. Para pesertanya juga cair dan bertukar kopi yang dibawa. Situasi ini pun membuat ketegangan di antara mereka bisa diminimalkan.
“Industri kopi tuh saling menyemangati. Kita bisa terinspirasi, bisa mendapatkan suatu ide, momen, bahwa kita belajar satu hal baru,” ujarnya.
Dalam meraih prestasi ini, Ryan mendapat dukungan dari sejumlah orang, termasuk rekan kerjanya di Common Grounds, seperti Daryanto Witarsa, Aston M. Utan, dan Yoshua Tanu. Juga dukungan dari Mikael Jasin, peringkat keempat World Barista Championship 2019, serta Emi Fukahori (juara World Brewers Cup 2018), yang menjadi pelatih Ryan.
Bersama timnya, Ryan mengungkapkan, targetnya adalah masuk final. Bukan hanya karena mengincar pialanya, ia juga ingin menyampaikan pesan Bhinneka Tunggal Ika ke level lebih tinggi.
Keberhasilan Ryan mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno. Melalui akun X, Sandiaga menyampaikan ucapan selamat dan bangga terhadap prestasi Ryan.
Menurut Sandiaga, keberhasilan Ryan menjadi bukti bahwa brewer dan kopi lokal Indonesia bisa bersaing di kompetisi dunia. “Ryan berhasil menunjukkan bagaimana keragaman dalam kopi dapat bersatu secara harmonis, seperti semangat persatuan Bhinneka Tunggal Ika,” begitu cuitan Sandiaga pada 19 April 2024.
•••
LAHIR di Jakarta, 2 Mei 1992, Ryan Wibawa mengawali kariernya di industri kopi pada 2011. Dimulai dari barista, Ryan kini menjabat Head of Coffee Common Grounds. Ia tak lagi berada di balik meja bar menyuguhkan kopi kepada pelanggan. Pekerjaannya justru lebih banyak melatih barista hingga menciptakan menu sajian kopi.
Meski Ryan sudah menjadi seorang profesional di bidang ini, latar belakang pendidikannya justru tak berhubungan dengan kopi. Ia menempuh S-1 jurusan bisnis internasional di GS FAME Institute of Business, Jakarta.
Awal mula Ryan kecemplung di dunia kopi adalah ketika dia sedang mencari pengalaman kerja. Pada usia 19 tahun dan sedang kuliah, ia nekat melamar pekerjaan paruh waktu sebagai barista di kedai kopi Starbucks. Ryan memilih profesi itu karena tengah digandrungi anak muda. “Jadi muncul keinginan apply,” katanya.
Selama bekerja, Ryan mengaku banyak belajar dan bertemu dengan orang-orang yang antusias pada kopi. Maka, pada 2013, muncul keinginan dalam dirinya untuk mendalami kopi. Ia tak ragu belajar kepada barista-barista yang bekerja di kedai kopi lain hingga mengikuti sejumlah acara yang berhubungan dengan kopi.
Pada akhir 2015, Ryan memberanikan diri mengikuti kompetisi Indonesia Brewers Cup 2016. Dia menjadi juara pertama dalam kompetisi tingkat nasional pertamanya itu. Prestasi lain, Ryan menyabet gelar juara Starbucks Indonesia Barista Championship pada 2015 dan gelar juara ketiga Starbucks China and Asia Pacific Barista Championship.
Penyeduh kopi asal Indonesia, Ryan Wibawa (ketiga kanan), bersama para finalis di kontes menyeduh kopi tingkat dunia, World Brewers Cup 2024, di Chicago, Illinois. Dok. Pribadi
Selanjutnya, Ryan mewakili Indonesia untuk World Brewers Cup 2016 di Dublin, Irlandia. Namun ia belum bisa meraih gelar juara dalam kompetisi tersebut. Pada tahun berikutnya, Ryan mencoba peruntungan kembali di Indonesia Brewers Cup 2017 hingga 2019. Tapi nasib baik belum memihak. Ia gagal mempertahankan gelar juara.
Setelah mengalami serangkaian kegagalan itu, Ryan berhenti sejenak dari berbagai kompetisi untuk beristirahat. Berhubung kala itu pandemi Covid-19 merebak dan Ryan menderita Covid-19, ia memutuskan berfokus bertahan hidup. Situasi ini menjadi titik balik hidup Ryan bahwa ia tak mesti mengikuti kompetisi tiap tahun. “Bisa step back dulu,” ujarnya.
Meski begitu, dia selalu menanamkan tujuan bahwa suatu hari ia ingin masuk final dan menggondol piala dari World Brewers Cup. Impian inilah yang membuatnya selalu bersemangat dan konsisten di bidang yang digelutinya kini.
Melihat rekam jejaknya, Ryan konsisten mengikuti kompetisi brewing kopi. Dia menceritakan, awal mula ia tertarik pada manual brew adalah ketika belajar di tempat pertamanya bekerja. Apalagi akses untuk mempelajarinya mudah dan dia tidak perlu membeli alat mesin espresso.
Seiring dengan waktu, Ryan menyadari kesukaannya pada karakteristik kopi yang dihasilkan lewat proses manual brew. Dibandingkan dengan espresso yang rasanya intens dan terlalu nendang, Ryan mengatakan, kopi yang diseduh secara manual lebih dapat dinikmati dari satu seruputan ke seruputan berikutnya.
“Jadi aku cocok di kategori itu. Aku berfokus dari tahun ke tahun kompetisi di situ terus,” tuturnya.
•••
BELASAN tahun berkecimpung di dunia kopi, Ryan Wibawa melihat kopi Indonesia amat diminati hingga banyak diekspor ke berbagai negara. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, volume ekspor kopi nasional sepanjang 2023 mencapai 276.280 ton dengan nilai total US$ 915,91 juta. Indonesia paling banyak mengekspor kopi ke Amerika Serikat, Mesir, dan Malaysia.
Sebagai catatan, Indonesia salah satu produsen kopi terbesar dunia dengan jumlah produksi rata-rata mencapai 800 ribu ton. Dengan kuantitas tersebut, Ryan menyebutkan permintaan di dalam negeri masih belum tercukupi.
Bahkan, kata dia, gerai kopi dalam negeri terkadang tidak mendapat kopi lokal. Pasalnya, jumlahnya bergantung pada iklim yang mempengaruhi keberhasilan panen.
Ia menuturkan, kopi lokal dari tiap daerah memiliki ciri khas unik yang tak tergantikan. Itulah yang membuat Indonesia tak hanya kaya akan jumlah kopi, tapi juga karakteristiknya.
Ryan mencontohkan, gerai Starbucks adalah pembeli terbesar kopi Sumatera. Secara umum, kopi ini memiliki rasa lebih bold dan intens. Karakteristik ini tak bisa digantikan oleh kopi dari negara lain. Lain halnya dengan kopi Guatemala yang bila mengalami gagal panen masih bisa digantikan oleh kopi Kolombia karena rasanya masih mirip.
Sementara itu, Ryan menjelaskan, selera kopi konsumen Indonesia sangat beragam. Ada yang suka minum kopi hitam, kopi susu, hingga cappuccino. Hal ini membuat pasar kopi makin menarik. Bahkan ada pula gerai kopi yang secara khusus menyajikan kopi manual brew dan memiliki pasar tersendiri.
Indonesia juga menjadi pasar yang cukup menjanjikan buat jenama luar. Dalam beberapa tahun terakhir, Ryan melihat ada sejumlah gerai kopi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Salah satunya % Arabica dari Jepang. Di samping itu, peluang bisnisnya juga makin maju seiring dengan aktivitas minum kopi yang sudah menjadi kebutuhan di kalangan pekerja kantoran dan anak muda.
Dengan perkembangan industri kopi yang marak tersebut, Ryan justru ingin menyoroti profesi barista di Indonesia. Ia berharap pemerintah mau memperhatikan kesejahteraan para barista. Misalnya lewat layanan asuransi hingga bekal pembelajaran dan pelatihan.
Selain itu, profesi barista menjadi gerbang awal bagi seseorang untuk masuk ke industri kopi. Ini juga menjadi catatan untuk anak muda yang ingin berkarier di industri kopi. Ryan menyarankan agar mengikuti prosesnya. Dari pengalamannya, tahap awal adalah menjadi barista untuk dapat mengenali kopi.
Setelah mampu mengenali kopi, barista akan belajar cara membuatnya, mengetahui rasanya, tahu cara memperkenalkan kopi kepada pelanggan, melayani pelanggan dengan baik, dan memiliki etika bekerja.
Selanjutnya, Ryan menambahkan, jenjang kariernya bisa meningkat menjadi profesi berikutnya. Misalnya seorang roaster yang piawai menyangrai biji kopi atau Q-grader yang dapat menguji penilaian kualitas kopi.
“Atau kalau suka urusan bisnisnya bisa menjadi store manager dan konsultan. Pesan aku, pahami basic-nya dulu,” ujar Ryan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Harmoni dalam Secangkir Kopi".