Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Obituari Mooryati Soedibyo: Dari Jamu Tradisional Botolan Menjadi Mustika Ratu

Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, meninggal pada usia 96 tahun. Pionir dalam bisnis produk kecantikan tradisional.

5 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari di tahun 1973, di garasi rumah keluarga Soedibyo, dua perempuan—Mbok Gito dan Mbok Warni—menghaluskan ramuan yang akan dipakai untuk membuat jamu beras kencur. Target mereka adalah lima botol sehari. Kadang mereka menyelesaikan pembuatan jamu itu sambil terkantuk-kantuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jamu-jamu yang dikemas dalam botol itu kemudian diantar menggunakan sepeda ke sejumlah pelanggan yang dekat. Untuk para pelanggan yang jauh, jamu akan diantar langsung oleh pemilik usaha, Mooryati Soedibyo, memakai mobil Mazda yang dia kendarai dengan sedikit kaku karena baru bisa mengemudikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jamu beras kencur yang dibuat di garasi rumah di Jalan Sawo 31, Menteng, Jakarta, itu adalah cikal bakal Mustika Ratu, perusahaan kosmetik tradisional di Indonesia. Mooryati, yang wafat pada 24 April 2024 di usia 96 tahun, berhasil menjadikan Mustika Ratu pionir dalam industri kosmetik tradisional.

Ia juga mampu mengembangkan bisnisnya ke berbagai sektor, seperti perhotelan dan perbankan. Selain selaku pebisnis, Mooryati dikenal sebagai politikus, penulis naskah film, filantrop, dan penggagas kontes Puteri Indonesia

Itu semua dimulai dari pembuatan beras kencur di garasi Jalan Sawo pada 1973 tersebut. Awalnya Mooryati merasa perlu menambah penghasilan mengingat dua tahun kemudian suaminya, Soedibyo Purbo Hadiningrat, akan pensiun, sementara anak sulung mereka baru hendak masuk perguruan tinggi. 

Niat berbisnis untuk menambah penghasilan keluarga itu ia sampaikan kepada suaminya. Soedibyo, meski mendukung, terkejut mengetahui keinginan tersebut. “Kamu mengerti bisnis dari mana? Kamu kan dilarang Eyang-eyang melakukan usaha,” ucap Soedibyo.

Yang dimaksud “Eyang-eyang” adalah para bangsawan Keraton Surakarta, Jawa Tengah. Mooryati adalah cucu Paku Buwono X. Ia lahir pada 5 Januari 1928, tepat pada pukul 02.00 dinihari, di Villa Seneng, salah satu pesanggrahan milik keraton. 

Sepekan kemudian, Paku Buwono X mengutus KRMH Sumodiningrat membawa nama pemberiannya untuk sang cucu, Mooryati. Di kemudian hari, Raja Solo itu sehari-hari memanggilnya Tatik. 

Dibesarkan dalam lingkungan keraton, Mooryati mempelajari semua adat dan tradisi di sana, termasuk cara perawatan tubuh secara tradisional. Modal pengetahuan inilah yang kemudian ia kembangkan menjadi bisnis. Namun, seperti kata Soedibyo, tradisi berbisnis kurang mendapat tempat di lingkungan keraton, bahkan dianggap tabu. 

“Sebagian besar kerabat saya bekerja sebagai birokrat atau profesional. Tidak ada yang menjadi pebisnis,” tulis Mooryati dalam otobiografinya, Menerobos Tradisi, Memasuki Dunia Baru.

Namun tekad Mooryati sudah bulat. Dia menganggap menjadi pebisnis sebagai satu dari empat terobosan yang ia buat. Terobosan pertama adalah di bidang pendidikan. Menurut tradisi keraton, para putri hanya bersekolah sampai sekolah menengah pertama, kemudian lanjut ke sekolah kerajinan putri. 

Mooryati berbeda. Dia meminta ayahnya menyekolahkannya ke Europeesche Lagere School agar bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi. 

Di kemudian hari, Mooryati melanjutkan pendidikan di Universitas Saraswati (1952) dan menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Semangat belajarnya ia teruskan di usia senja dengan meraih gelar master di Universitas Sebelas Maret, Solo, pada 2002 dan doktor di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ketika berusia 87 tahun. 

“Jauh sebelum dosennya hadir, kami sudah melihat Ibu Moor menunggu di dalam ruang kelas,” tulis Rhenald Kasali, salah seorang pengajar Mooryati di Universitas Indonesia. 

Pernah suatu kali Rhenald terkejut melihat Mooryati menghadiri kuliah, padahal hari itu dia baru mendarat seusai perjalanan 24 jam dari Amerika Latin. “Dia pasti kena jet lag dua kali. Jadi kami berpikir kali ini dia pasti tidak akan hadir.”

Pendiri PT.Mustika Ratu Tbk. Mooryati Soedibyo. Antara/Teresia May

Terobosan kedua ia buat dalam memilih pendamping. Mooryati menjatuhkan pilihan pada Soedibyo yang bukan bangsawan keraton. Ia adalah pegawai negeri sipil di Institut Teknologi Tekstil, Bandung, lulusan Amerika Serikat. Mooryati mengenal Soedibyo di Bandar Udara Maguwo, Yogyakarta, karena pria itu mengantar ibunya turun dari pesawat. 

Masuk ke dunia bisnis adalah terobosannya yang ketiga. Adapun terobosan keempatnya adalah masuk dunia politik melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah. Ia pun pernah menjadi Wakil Ketua DPD. 

Bisnis rumahan itu ia mulai dengan modal yang tidak terlalu besar, hanya Rp 25 ribu. Setiap hari ia membuat lima botol beras kencur yang dijual Rp 1.000 per botol. Bisnis jamu botolan ini kemudian berkembang menjadi usaha jamu bubuk dan jamu dalam bentuk pil. Awalnya ia memakai nama Tat’s Beauty Secret untuk merek jamu-jamunya. Tat adalah kependekan Tatik, nama panggilan kecilnya. 

Produk kecantikan pertama (di luar jamu) yang ia buat adalah sampo merang. Ini adalah sampo tradisional dari tangkai padi yang sudah kering. Meski punya banyak pelanggan, ada masalah pada sampo yang masih dibuat secara tradisional ini. Saat sampo disimpan, residu merang akan mengendap di bawah botol. 

Sebenarnya masalah itu bisa diatasi dengan mengocok botol sebelum digunakan, tapi Mooryati tak ingin pelanggan repot. Dia pun mendatangi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk mencari solusinya.

Dua tahun kemudian, bisnisnya berkembang pesat dan mengharuskannya membuat badan hukum untuk menaungi usahanya. Bingung mencari nama, Mooryati meminta ibunya, GRA Kussalbiyah, memberikan nama yang terkait dengan tradisi keraton. Kussalbiyah memberikan nama Mustika Ratu yang diambil dari kata-kata mutiara berbahasa Jawa.  

Yang juga menarik adalah bagaimana Mooryati kemudian berfokus mengembangkan bisnisnya di bidang produk kecantikan dan kosmetik tradisional. Keputusan ini penting karena saat itu sudah ada sejumlah produsen jamu tradisional, seperti Sido Muncul (1940), Nyonya Meneer (1919), dan Jamu Jago (1918). 

Bertahan di industri jamu akan mengharuskan Mooryati bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang sudah established tersebut. Sedangkan di sisi lain ada ceruk bisnis yang belum banyak digarap: kosmetik dan produk kecantikan tradisional.

Di kemudian hari, keputusan ini terbukti tepat. Mustika Ratu berkembang pesat dan menjadi satu dari sedikit produsen kosmetik dan produk kecantikan tradisional. Pada 2011, di puncak keberhasilannya, Mooryati menyerahkan tampuk kepemimpinan Mustika Ratu kepada anak keduanya, Putri Kus Wisnu Wardani.

Setelah “pensiun”, Mooryati masih sangat aktif berkegiatan, dari kuliah lagi di Universitas Indonesia, menjadi anggota DPD, hingga memproduksi film Sultan Agung yang disutradarai Hanung Bramantyo. Selain berperan sebagai produser, Mooryati menjadi salah seorang penulis skenarionya. 

“Saya punya impian, dan saya ingin maju,” tutur Mooryati.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Menerobos Tradisi".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus