Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKENING Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra ditengarai misterius. Setidaknya, Yusril tak bisa menjelaskan asal-usul dana yang masuk ke rekeningnya saat menjabat Menteri Kehakiman 2001-2004 itu ketika diverifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi, perte-ngahan tahun lalu. Menurut Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Muhammad Sigit, Kamis pekan lalu, kelima transaksi itu masing-masing nilainya di atas Rp 100 juta.
Sigit mengatakan, KPK sudah dua kali meminta klarifikasi. Saat diverifikasi pertama kali, Yusril belum memberikan jawaban. Alasannya, adik perempuannya yang mengurus administrasi keuangan. Dalam kesempatan kedua, adik perempuan Yusril membawa data. "Tapi itu pun belum bisa menjawab beberapa transaksi keuangan yang ditanyakan," kata Sigit. KPK akan menanyakan kembali soal transaksi tersebut apabila Yusril menyerahkan data kekayaan 2006.
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tanggal 28 Agustus 2001, total harta Yusril Rp 2 miliar dan US$ 110 ribu. Dalam laporan 26 November 2004, jumlahnya membengkak lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp 6,907 miliar dan US$ 110 ribu. Yusril menolak berkomentar soal lima transfer itu. "Harus ada bukti transfer dari bank, baru saya bisa menjelaskan," katanya.
Habibie Bersaksi
MANTAN Presiden B.J. Habibie dan mantan Komandan milisi Aitarak Eurico Guterres memberikan kesaksian kepada Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste. Komisi itu dibentuk untuk mengklarifikasi kerusuhan pascajajak pendapat di Timor Timur pada 1999.
Menurut Habibie, kerusuhan terjadi karena Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mempercepat pengumuman hasil jajak pendapat dari 7 September menjadi 4 September 1999. Padahal, kata Habibie yang bersaksi secara tertutup di The Habibie Center Jakarta pekan lalu, pasukan TNI masih dalam perjalanan. Akibatnya, kerusuhan itu tidak bisa segera dipadamkan. KKP juga meminta kesaksian Mayor Jenderal (Purn.) Zacky A. Makarim, Uskup Belo, dan mantan bupati Lautem Edmundo Conceicao.
Papernas Diserang
APEL akbar Partai Persatuan Pembebasan (Papernas) di Jakarta, Kamis pekan lalu, dicegat massa Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR). Bentrokan pun tak bisa dihindari.
Kedua organisasi massa itu menyerang bus-bus yang membawa aktivis Papernas di Jalan Dukuh Atas dan Jalan Sudirman, Jakarta, yang akan berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. Akibatnya sejumlah anggota Papernas terluka, 17 mobil hancur, dan empat orang yang kedapatan melempar batu ditangkap polisi.
Menurut aktivis FPI dan FBR, Papernas tidak boleh dibiarkan hidup di Indonesia karena identik dengan partai komunis. Ketua Umum Papernas, Agus Priyono, mengatakan, cap komunis muncul karena Program Tripanji yang mereka usung: nasionalisasi perusahaan tambang, penghapusan utang luar negeri, dan industrialisasi untuk kesejahteraan rakyat. Warna merah pada bendera Papernas juga dipersoalkan karena identik dengan komunis.
Serangan terhadap Papernas bukan kali ini saja terjadi. Januari lalu, organisasi itu didemo Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) saat hendak melangsungkan Kongres I di Kaliurang, Yogyakarta. Awal Maret lalu, konferensi daerah yang mereka gelar di Malang, Jawa Timur, juga dipersoalkan.
Penanggulangan Bencana Tak Reaktif
RATUSAN mawar putih menandai pengesahan Rancangan Undang-undang Penanggulangan Bencana, Senin pekan lalu. "Ini hari kemenangan penanganan penanggulangan bencana," kata Lia Anggraini, relawan Masyarakat Peduli Bencana Indonesia. Beleid 85 pasal itu mengatur kewenangan lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta institusi lain dalam menangani bencana. "Undang-undang ini memberikan perlindungan pada masyarakat sebelum, pada saat, dan setelah bencana," kata wakil ketua panitia khusus undang-undang itu, Ahmad Muqowwam.
Paling lambat enam bulan setelah disahkan, Badan Nasional Penanganan Bencana harus sudah ada menggantikan lembaga ad hoc Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. Relawan Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Hening Parlan, mengatakan, pengesahan undang-undang ini mengubah cara pikir penanggulangan bencana. "Tidak lagi reaktif, tetapi lebih menyeluruh," kata Hening.
Namun, RUU itu juga dikritik karena pasal mengenai peran Palang Merah Indonesia dalam penanggulang-an bencana dihilangkan. Menurut Hening, meski sudah diatur dalam undang-undang tersendiri, mestinya peran PMI tetap disebutkan. "Untuk memperkuat legitimasi PMI," kata dia.
Dewan Baru untuk Presiden
BELUM lagi Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi efektif bekerja, kini ada Dewan Pertimbangan Presiden. Pembentukan dewan ini ditetapkan melalui keputusan presiden, Senin pekan lalu. "Unit kerja bersifat teknis, sedangkan dewan ini diharapkan dapat memberi nasihat dalam memutuskan kebijakan fundamental dan strategis," kata Adnan Buyung Nasution, salah satu anggota dewan itu, Jumat pekan lalu.
Selain Buyung yang menjadi anggota untuk bidang hukum, anggota yang lainnya adalah Ali Alatas (hubungan internasional), Emil Salim (lingkungan), Rachmawati Soekarnoputri (politik), Sjahrir (ekonomi), Ma'ruf Amin (agama), T.B. Silalahi (pertahanan dan keamanan), Budi Santoso (sosial dan budaya), Radi A. Ganny (pertanian).
Buyung dihubungi Men-teri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dua pekan lalu. Kepada Sudi, Buyung menyampaikan keinginan untuk bertemu Presiden. Jumat pekan lalu, pengacara berambut perak itu diterima Presiden di Istana Negara. Selain menanyakan alasan pembentukan, pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini berharap Presiden segera menyediakan kantor dan tenaga agar Dewan bisa betul-betul bekerja. n
Kasus Mi-2 Ditangani KPK
Setelah menjadi perbincangan ha-ngat Komisi Pertahanan DPR, kasus dugaan korupsi pembelian helikopter jenis Mi-2 akhirnya dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan sejumlah data dan informasi kepada KPK, Senin pekan lalu. "Sekarang sedang kami pelajari," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.
Pembelian helikopter untuk Angkatan Laut ini pada awalnya mencuat dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Pertahanan dan TNI Angkatan Laut. Komisi Pertahanan mencium ada yang tak beres dalam pengadaan heli itu. Pembelian pesawat itu direncanakan pada 2002. Dari 16 pesawat yang rencananya akan dibeli dengan harga US$ 11,6 juta (Rp 100 miliar lebih), saat ini yang datang baru tiga unit. Itu pun bukan barang baru seperti yang diinginkan pemerintah.
Anggota Komisi Pertahanan Djoko Su-silo sebelumnya sudah mendesak KPK untuk bergerak. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sependapat. "Agar lebih cepat dan jelas," kata Juwono. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo